Sekolah
yang Tak Membebaskan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan;
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 12 Desember
2016
Kita banyak menyaksikan orang-orang
yang berhasil melakukan pembebasan diri dengan pendidikan. Orang-orang
miskin, dari desa terpencil. Mereka lahir dan tumbuh besar dari keluarga yang
tidak berpendidikan. Keluarga rakyat kecil, bukan priyayi. Orang-orang ini
dengan segala keterbatasannya berjuang dalam menempuh pendidikan. Hasilnya,
ia mendapat pengetahuan dan keterampilan, yang kemudian menjadi bekal baginya
untuk bekerja. Ia bekerja lebih baik dari orang tuanya, mendapat penghasilan
yang lebih baik pula. Ia membebaskan dirinya dari kemiskinan dan
keterbelakangan.
Orang-orang seperti itu, tidak hanya
membebaskan dirinya sendiri. Ia kemudian memberi inspirasi, sekaligus
membiayai adik, keponakan, atau bahkan orang lain yang sama sekali tak ada
hubungan darah dengannya. Ia membebaskan lebih banyak lagi orang.
Tapi kita juga mendengar banyak
cerita, tentang orang-orang yang mendapat kesempatan untuk menempuh
pendidikan, tapi gagal membebaskan dirinya. Ada yang gagal selama sekolah. Ia
tak mampu menyelesaikan sekolahnya. Ada pula yang sekolah sampai selesai,
tapi pendidikan yang ia tempuh tak membuatnya bisa hidup lebih baik.
Kita cukup sering mendengar
kisah-kisah tragis, tentang orang tua yang berharap anaknya "naik
kelas" dari kelas rakyat kecil, menjadi priyayi, dengan menyekolahkan
mereka. Ada yang sampai menjual sawah, untuk membiayai kuliah anaknya. Di
akhir cerita, anaknya gagal menyelesaikan sekolah, atau ia lulus tapi
kemudian menganggur. Atau ia bekerja di sektor-sektor informal, tanpa
terlihat bekas bahwa ia pernah sekolah tinggi.
Apa yang terjadi pada orang-orang itu?
Mereka adalah orang-orang yang gagal melakukan hal yang paling dasar dalam
proses pendidikan, yaitu belajar. Mereka gagal mendapatkan kompetensi yang
paling dasar, yang harus diperoleh oleh orang yang telah menempuh pendidikan,
yaitu kemampuan belajar.
Ya, ada begitu banyak orang yang
sekolah tapi tidak belajar. Mereka hanya menghafal sejumlah dalil dari
buku-buku pelajaran, tanpa memahaminya. Hafalan itu hanya menjadi serpihan
mozaik yang tak terhubung satu sama lain. Lebih penting lagi, serpihan-serpihan
itu tidak memberi petunjuk tentang bagaimana menyelesaikan
persoalan-persoalan di ruang kehidupan. Orang-orang ini tidak akan pernah
mampu bekerja. Bekerja adalah menyelesaikan persoalan. Baik itu persoalan
diri sendiri, maupun persoalan orang lain yang membayar kita. Dari sekolahnya
mereka tak belajar untuk menjadi penyelesai masalah (problem solver).
Sekolah seharusnya membentuk pola
pikir, sebelum memenuhi benak pelajar-pelajarnya dengan pengetahuan. Pola
pikir itu membangun struktur pemahaman, dan dengan struktur itu akan semakin
mudah bagi pelajar untuk belajar lebih lanjut. Ibaratnya, seperti menyiapkan
rak-rak dalam "lemari pikiran", tempat di mana pengetahuan dan
informasi kelak akan diletakkan. Pola pikir itu juga akan menentukan bagaimana
informasi dan pengetahuan diolah untuk suatu keperluan.
Sekolah juga seharusnya membangun
kebiasaan-kebiasaan positif, baik kebiasaan mental maupun fisik. Kebiasaan
mental adalah reaksi seseorang terhadap situasi yang ia hadapi. Kebiasaan
mental yang positif adalah reaksi-reaksi positif, seperti optimisme,
komitmen, tanggap, tidak mudah menyerah, dan sebagainya. Adapun kebiasaan
fisik meliputi hal-hal seperti disiplin,
Di atas itu semua, sekolah seharusnya
memberi bekal bagi pelajar-pelajarnya untuk menyelesaikan masalah. Dengan
pola pikir yang baik, kebiasaan-kebiasan yang baik, pelajar dibimbing untuk
mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi. Tidak hanya
itu. Bila saat menghadapi suatu persoalan pengetahuan yang mereka miliki
ternyata belum memadai, mereka punya kemampuan untuk belajar sendiri
pengetahuan itu. Mereka tahu di mana harus mencari informasi, dan bagaimana
memperolehnya.
Orang-orang yang gagal membebaskan
diri tadi adalah orang-orang yang tidak berhasil mendapatkan tiga hal
tersebut. Mereka gagal karena gagal
memaknai proses belajar. Kegagalan itu
bisa karena kesalahannya sendiri. Ia gagal menangkap substansi. Ia mengira
sekolah, khususnya perguruan tinggi, adalah kotak ajaib yang bisa membuat
siapa saja yang melaluinya akan menjadi orang pintar.
Dalam pengamatan saya, sekolah-sekolah
kita sekarang cenderung berkembang menjadi sekolah-sekolah yang tak akan
sanggup membebaskan. Pelajar sudah dijejali dengan berbagai informasi yang
tak sanggup mereka cerna. Ibaratnya, mereka sudah dijejali dengan sejumlah
barang, sebelum mereka menyiapkan lemari untuk menyimpannya. Mereka dipaksa
menghafal hal-hal yang tak mereka pahami. Lebih mengerikan lagi, kemampuan
menghafal dianggap sesuatu yang sangat hebat. Pelajaran menghafal diberi
prioritas tinggi. Padahal menghafal ini adalah cara belajar orang-orang yang
belum memasuki era baca tulis.
Saya khawatir pendidikan kita bergerak
menjadi pendidikan yang semakin tak mampu membebaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar