Front
Pembela Bahasa Indonesia
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja
sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 13 Desember
2016
Jidat saya mengernyit, mencerna judul
berita di salah satu media nasional, "Pengacara: Ada Pertanyaan Penyidik
yang Tak Mau Dijawab Sri Bintang Pamungkas". Hmmm... ada pertanyaan yang
tak mau dijawab Sri Bintang? Jadi sebenarnya, siapa yang tidak mau? Siapa
yang menolak?
Kalau dicermati kalimatnya, jelas
pokok bahasan yang sedang dibicarakan oleh si pengacara adalah 'pertanyaan
penyidik'. Nah, ternyata pertanyaan dari penyidik itu tidak mau dijawab (oleh
Sri Bintang). Jadi yang tidak mau bukan Sri Bintang-nya, melainkan
pertanyaannya. Ia adalah sebuah pertanyaan, tetapi ia tidak mau dijawab!
Huehehehe.
Problem redaksional semacam itu memang
gampang-gampang susah. Untuk mencari alternatif kalimat yang lebih enak belum
tentu juga langsung ketemu. Namun, amburadulnya logika sebuah kalimat,
apalagi berposisi sebagai judul berita yang akan ditangkap jutaan pasang
mata, saya kira tak bisa dianggap enteng. Masih beruntung tema berita
tersebut sekadar tema politik biasa. Bagaimana jika ternyata terkait topik
sensitif yang belakangan ini begitu mudah menyulut emosi ratusan ribu orang?
Pendidikan Bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah kita tampaknya harus ditata ulang. Entah bagaimana bentuk
penataannya.
Saya sendiri tidak paham ilmu bahasa
secara formal-akademis. Namun saya bisa menempatkan diri sebagai mantan murid
sekolah yang pernah mendapatkan ratusan jam pelajaran Bahasa Indonesia.
Selama sekolah 12 tahun waktu itu, rasanya tidak pernah saya mendengar
penekanan dari guru-guru, juga dari buku-buku cap Depdikbud, bahwa Bahasa
Indonesia adalah sebuah sistem logika.
Wallahualam, apakah ingatan saya
akurat ataukah tidak. Namun, sepanjang memori saya, yang menancap di kepala
tentang pelajaran Bahasa Indonesia ya semata soal-soal subjek-predikat-objek,
anak kalimat pengganti ini pengganti itu, majas ini majas itu, juga yang
terpenting di antara segala yang penting: berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar.
Sementara, berbahasa yang baik hanya
dimaknai sebagai berbahasa sesuai tempat, konteks sosial, serta konteks
'suasana' perbincangannya, sedangkan berbahasa yang benar cuma berkhidmat
kepada kebakuan. Pertanyaan saya, kenapa rasanya dalam mantera
"berbahasa Indonesia yang baik dan benar" itu tidak terkandung
muatan apa pun tentang "berbahasa yang logis, berbahasa yang masuk
akal"?
Ini aneh. Bahasa adalah instrumen utama
dalam berkomunikasi. Komunikasi melibatkan minimal dua pihak, bisa lebih.
Agar kedua pihak atau lebih itu nyambung, nggak tulalit, memang kata-kata
yang digunakan semestinya yang sesuai dengan kesepakatan makna. Penggunaan
kata-kata yang berada di luar kesepakatan rentan memicu miskomunikasi. Pusat
Bahasa menyikapi itu dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan dengan Kamus
Besar sebagai inventarisasi untuk kata-kata yang disepakati. Kata-kata baku,
begitu istilahnya. Itu semua masuk dalam domain berbahasa yang benar.
Selanjutnya, agar komunikasi dapat
berjalan efektif dan tidak garing, para penutur yang sedang berkomunikasi
harus berbahasa yang pantas dan sesuai konteks. Itu untuk menghindari
kejadian-kejadian nggak lucu, semisal menawar harga sayur dengan bahasa resmi
kenegaraan.
Dua poin di atas, yakni kebakuan dan
kepantasan, memang penting dan merupakan penyangga utama konsep "baik
dan benar" dalam berbahasa Indonesia. Namun sekali lagi, tanpa ekspresi
berbahasa yang memenuhi tuntutan nalar, bukankah tujuan berkomunikasi tetap
mustahil mencapai hasil sempurna?
Diabaikannya aspek nalar dalam
berbahasa bukan cuma melanda judul-judul berita di media massa. Pada salah
satu peristiwa terpenting dalam sejarah NKRI, yakni kasus dugaan penistaan
agama yang disusul aksi massa jutaan orang tempo hari, kita tahu gelombang
polemik di tengah-tengah publik pun menghadirkan pula problem bahasa. Nyaris
setiap orang berbantahan tentang logika berbahasa. Muncul ribuan perdebatan,
ratusan tulisan terkait topik tersebut, dan tentu saja puluhan meme.
Sebagai stimulan agar orang kian
peduli dengan nalar berbahasa, ini tentu bagus. Namun bukan lantas berarti
(lagi-lagi) kita boleh abai jika muncul penjelasan-penjelasan yang semakin
mengacaukan tata logika.
Saya ambil contoh. Pada waktu
panas-panasnya isu tersebut, beredar satu meme lucu yang membandingkan antara
frasa "ditusuk jarum" dan "ditusuk pakai jarum".
Disebutkan pada meme tersebut bahwa keduanya bermakna sama. Maka, kesimpulan
akhirnya, dengan ataupun tanpa kata 'pakai', semua kalimat tidak akan berbeda
maksudnya.
Lhadalah. Ini berbahaya sekali. Memang
benar, bahwa ungkapan "ditusuk jarum" secara umum dipahami sebagai
ditusuk menggunakan jarum. Namun ia lebih condong ke salah kaprah, atau
merupakan majas tertentu (entah majas apa, silakan bertanya kepada akademisi
bahasa). Gejala yang sama terjadi pada frasa "ditabrak mobil",
"dilempar batu", dan "diguyur air".
Coba dinalar. Baik mobil, batu, air,
maupun jarum, semuanya merupakan benda-benda tak hidup yang tidak memiliki
kemauan dan kemampuan untuk beraktivitas. Mobil tidak bisa menabrakkan diri
sendiri tanpa digerakkan sopir. Batu tak mungkin melemparkan tubuhnya sendiri
tanpa tangan seseorang sebagai pelaku pelemparan. Air mustahil mengguyurkan
diri tanpa adanya pengguyur, entah itu manusia yang bawa gayung atau Tuhan
yang menurunkan hujan.
Demikian pula jarum. Agar bisa
menusuk, ia membutuhkan aktor penusuk. Mana ada jarum bergerak sendiri? Jarum
santet yang bisa terbang sendiri pun pada dasarnya digerakkan oleh dukun
hehehe. Frasa "ditusuk jarum", sebagaimana "ditabrak
mobil", "dilempar batu", dan "diguyur air", semua
itu tidak logis, namun sudah telanjur lazim sebagai ungkapan berbahasa kita
sehari-hari.
Maka, mengambil rumus "ditusuk
jarum = ditusuk pakai jarum" sebagai dasar kesimpulan final bahwa
atribut 'pakai' tidak mengubah arti, lantas menggeneralisasi kasus tersebut
untuk kasus-kasus kebahasaan yang lain, itu berbahaya.
Saya sih mengerti, bahwa meme jarum
tersebut pada awalnya diniatkan sebagai semacam candaan untuk membalas
opini-opini yang membela "Si Bapak Tersangka". Namun pada faktanya,
banyak orang memahami muatan meme tersebut sebagai sebuah kebenaran
linguistik, dan mempercayainya begitu saja. Mereka itulah produk riil
pendidikan Bahasa Indonesia kita.
Tak ragu lagi, perombakan ulang
pendidikan Bahasa Indonesia mendesak dijalankan. Pak Muhajir Effendi sebagai
Menteri Pendidikan semestinya bisa mulai memikirkan langkah-langkah awalnya.
Jika reformasi dalam sistem pengajaran
Bahasa Indonesia tidak segera dijalankan, para pencinta Bahasa Indonesia
harus bergerak sendiri secara swadaya. Mungkin dalam level darurat, mau tak
mau harus berdiri FPBI, Front Pembela Bahasa Indonesia. Ini agar bahasa kita
tercinta tidak semakin kacau, dan agar ia mampu menunjukkan marwah-nya
sebagai sarana komunikasi yang logis dan tidak mengaburkan nalar.
Untuk periode pertama, saya sendiri
tidak berkeberatan jika harus mengambil posisi sebagai komandan. Perkara
mobil Komandan FPBI nantinya bukan Rubicon atau Pajero atau Hummer, ah,
tolong soal itu janganlah terlalu dibesar-besarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar