Menanti
Sosok Searif Aa Gym
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja
sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 07 Desember
2016
Saya punya anak, umurnya tujuh tahun,
namanya Hayun. Rambutnya panjang, karena anak-anak perempuan di Perth sini
memang sangat jarang yang berambut pendek.
Pada suatu rentang waktu, Hayun sangat
sebal dengan apa yang namanya sisiran. Sisiran jadi semacam teror untuknya.
Nyaris tak pernah ada kejadian ibunya nyisiri rambut Hayun tanpa terjadi
keributan kecil-kecilan.
Namun seribet apa pun, kami selalu
menasihatkan, agar Hayun menjaga penampilannya. Agar tampak rapi, manis,
tidak amburadul. Dasar yang kami ajarkan selalu sederhana saja, yakni kami
tidak ingin orang risih melihatnya. Kami tak mau ia mendapatkan sikap tidak
hormat dari teman-temannya, gara-gara penampilannya. Kami ingin kehadiran
Hayun menjadi kegembiraan dan keindahan bagi lingkungannya.
Lantas, dengan sikap kami yang seperti
itu, apakah artinya kami benci kepada anak kami? Apakah kami bersikap
"anti" kepada anak kami sendiri? Apakah kami... mmm...
Hayun-phobia?
Sama sekali tidak, tentu saja. Kami
"mengkritik" Hayun karena Hayun adalah bagian dari diri kami
sendiri. Kami memintanya menjaga kehormatan sikap dan penampilan, bukan untuk
menjatuhkan dia, melainkan justru untuk memuliakan dirinya. Satu saja
alasannya: sebab kami sangat mencintainya.
Cara pandang ala autokritik semacam
itu bisa kita contoh dari sosok Aa Gym. Boleh jadi Anda para haters Aa Gym
tidak sepakat, tapi mari kita coba cermati baik-baik.
Begini. Tak bisa dimungkiri, kehadiran
Aa Gym dan santri-santri beliau di Aksi 411 dan 212 menjadi fenomena
tersendiri. Mereka datang bukan sekadar untuk ikut aksi dalam rangka
"meluruskan" negara sesuai versi mereka, namun juga untuk
"meluruskan" rekan-rekan mereka sendiri di lapangan yang buang
sampah sembarangan.
Maka muncullah pasukan Daarut Tauhid
dengan senjata andalan berupa sapu dan pengki. Meski peserta aksi yang lain
bukan lantas berarti jorok, Aa Gym bersama sapu dan pengki di tangannya
adalah ikon paling mencolok dari keindahan akhlak yang satu ini: mengoreksi
kesalahan diri dan saudara sendiri, alias autokritik, alias muhasabah.
Ini berat. Yang gampang adalah
menuding dan melawan pihak lain, musuh-musuh di luar, lawan-lawan eksternal.
Yang sulit adalah melawan diri sendiri, menundukkan ego sendiri,
menghancurkan kesombongan di hati sendiri.
Itulah kenapa, simbol kegelapan dalam
Islam adalah iblis, dan dosa terbesar iblis adalah takabur, congkak, merasa
diri tinggi. Sementara, ajaran tentang jihad terbesar adalah hadis Nabi
mengenai puasa Ramadan, yakni pertempuran melawan hawa nafsu di dalam diri
kita sendiri. (Catatan: sebagian ulama ada yang menganggap lemah hadis
tersebut).
Karena itulah, Indonesia membutuhkan
"kloningan" Aa Gym, sosok-sosok muda yang mengikuti jejak Aa Gym
dan santri-santri Daarut Tauhid.
Medan perjuangan para "Aa Gym
baru" ini terbentang luas. Luas sekali.
Mereka bisa, misalnya, membawa sapu,
pengki, dan tas kresek besar-besar, untuk meluruskan rekan-rekan mereka yang
sedang mengotori citra Islam dengan egoisme klasik berupa aksi pembubaran
ibadah umat lain (sembari melangkahi wewenang pihak berwajib).
Iya, seperti yang barusan terjadi di
Bandung. Itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar