Progresivitas
Memerangi Korupsi
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
|
INDONESIANA, 16 Desember
2016
Refleksi hari antikorupsi 9 Desember 2016
didorong keinginan agar ada tindakan progresif dalam memerangi korupsi. Hari
antikorupsi dunia ditetapkan dalam Konvensi Antikorupsi PBB United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) tanggal 9 Desember 2003 di Meksiko.
Betapa tidak, genderang perang melawan perilaku korup sudah ditabuh sejak
negeri ini merdeka tetapi belum membawa perbaikan signifikan.
Setiap pergantian rezim kepemimpinan negara
selalu mendesain pemberantasan korupsi melalui pencegahan dan penindakan.
Setelah era-reformasi pun dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
lantaran lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi
efektif dan efisien memberantas korupsi (Konsideran Menimbang huruf-b UU
Nomor 20/2002 tentang KPK).
Sepertinya berlaku pepatah “mati satu
tumbuh seribu”. Jika satu diberangus selalu saja ada gantinya. Wajar saja
jika perilaku korup terus terjadi dan melahirkan “talenta baru koruptor” dari
kalangan usia muda. Malah menjalar sampai melibatkan pasangan suami-istri
yang memegang kekuasaan publik karena secara bersama menjarah uang negara.
Sampai kini, ada enam pasangan suami-istri yang memegang kekuasaan terjerat
kasus korupsi. Terakhir yang kena operasi tangkap tangan (OTT) KPK Walikota
Cimahi dan suaminya di rumah pribadinya (Kompas.com, 2/12/2016).
Bukan hanya itu, tiga pejabat institusi
negara yang biasa disebut “trias politica” yang digagas John Locke
(1632-1704) paling sering ditangkap KPK. Padahal, konsep dasar trias politika
ingin memisahkan dan membagi tiga kekuasaan negara. Tidak boleh salah satu
kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif memegang kekuasaan
penuh. Harus diikat oleh konsep check
and balances agar terjadi perimbangan kekuasaan.
Tetapi fakta bicara lain, pelaksana dari
ketiga institusi negara itu belum ada yang betul-betul steril dari godaan
korupsi. Dari kalangan legislatif yang terjerat korupsi ada oknum DPR dan
oknum DPRD. Dari eksekutif ada oknum menteri aktif pada pemerintahan
sebelumnya, oknum birokrat, oknum kepala daerah dan jajarannya. Tidak jauh
beda di legislatif, ada oknum hakim dan oknum panitera pengadilan, oknum
polisi, oknum jaksa, dan oknum pengacara. Malah ada oknum dari kalangan
swasta. Masing-masing ada perwakilannya, sehingga wajar kalau publik menyebut
“korupsi trias politica” di negeri ini terjadi begitu apik.
Putusan
Hakim
Kita tidak ingin perilaku korup menimbulkan
persepsi keliru bagi generasi muda gara-gara menganggapnya “sebagai budaya”
sehingga menirunya. Ketegasan KPK, kepolisian, kejaksaan, dan hakim menangkap
dan menghukum koruptor, bahkan dibentuk Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar
(Saber Pungli) yang dibentuk Presiden Joko Widodo. Semoga tindakan tegas itu
bisa menimbulkan “efek jera”, menimbulkan “efek rasa takut” bagi calon
koruptor yang antre di berbagai institusi negara agar tidak mewujudkan
niatnya melakukan korupsi.
Beberapa putusan kasasi Mahkamah Agung (MA)
yang menambah berat putusan Pengadilan Tinggi diharapkan membawa dampak
positif menurunnya perilaku korup. Sayangnya, belum berbanding lurus dengan
putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di pengadilan tinggi dan
pengadilan negeri karena masih sering menjatuhkan putusan yang jauh di bawah
tuntutan jaksa. Itu sebabnya penuntut umum mengajukan kasasi ke MA. Malah ada
fenomena baru, sejumlah terdakwa korupsi tidak mengajukan kasasi karena takut
dipeberat hukumannya di MA.
Fenomena baru tersebut menjadi “lampu
kuning” bagi pengadilan tipikor dalam menyikapi perkara korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Kita berharap hakim-hakim pengadilan tipikor di bawah MA lebih
aktif menggali rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif) yang menjadi
korban korupsi. Para koruptor merampas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat
secara luar biasa.
Hampir semua kejahatan yang diproses hukum
berpotensi melahirkan korupsi dalam bentuk suap, gratifikasi, bahkan
pemerasan dalam jabatan. Gurita korupsi yang begitu masif menembus ruang
proses hukum, bukan tidak mungkin akan membuat publik beralih kepercayaannya
pada peradilan yang dibuatnya sendiri. Rakyat yang jadi korban korupsi bisa
saja membuat peradilan sendiri terhadap koruptor. Sesuatu yang tidak
dikehendaki karena bertentangan dengan due
process of law.
Gerakan
Progresif
Adanya wacana untuk tidak memenjarakan
koruptor melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu),
semakin menambah runyam upaya pencegahan dan penindakan. Sepertinya lupa
kalau republik ini sudah mulai dikuasai koruptor. Para calon koruptor akan
semakin berani mewujudkan niatnya akibat diberi toleransi tidak penjara.
Wacana tidak memenjara koruptor merupakan antiklimaks dari beragam toleransi
atas rencana merevisi PP Nomor 99/2012 untuk mempermudah pemberian remisi.
Perlu ada gerakan sistematis, terukur
secara juridis dan empiris dalam memerangi perilaku korup. Setidaknya ada
lima gerakan progresif yang perlu dilakukan pemerintah agar bisa memberikan
efek jera dan efek rasa takut untuk korupsi. Pertama, pada tahap pencegahan
menerapkan “pembuktian terbalik” terhadap harta kekayaan penyelenggara negara
dan aparat hukum yang dilaporkan ke KPK sebelum menjabat. Setiap tahun harta
itu dievaluasi peningkatannya.
Apabila harta yang dilaporkan itu ada
peningkatan secara signifikan, KPK diberi kewenangan untuk meminta dibuktikan
secara hukum dari mana diperoleh penambahan harta yang tidak sesuai dengan
penghasilannya. Kalau tidak mampu dibuktikan keabsahan dari mana diperoleh
disita untuk negara, atau dibawa ke proses hukum jika secara nyata ada
perbuatan melawan hukum. Tentu proses pembuktian terbalik yang dilakukan KPK
bukan bagian dari pembuktian di pengadilan tetapi pada ranah pencegahan.
Kedua, masih dalam ranah pencegahan,
revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi dilakukan secara efektif dan
sistematis. Negara harus berani melakukan langkah strategis dengan
mereformasi birokrasi, menata kembali sistem, termasuk memperbaiki integritas
penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Sebab di tangan merekalah
hukum bergerak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketiga, lantaran koruptor sangat lihai
menyembunyikan hasil korupsinya sampai di luar negeri, maka penyidik sejak
awal menerapkan UU Pencucian Uang. Apalagi penyidik diberi kewenangan untuk
mencari dan menyita semua harta yang diduga hasil korupsi yang disembunyikan.
Pada saat sidang di pengadilan, terdakwa harus membuktikan dari mana harta
itu diperoleh. Jika tidak mampu dibuktikan dianggap sebagai hasil korupsi.
Ini berguna bagi jaksa saat mengeksekusi
putusan hakim yang bekekuatan hukum tetap. Sebab selama ini, jaksa acapkali
mengalami kesulitan saat akan menyita harta terpidana sebagi konsekuensi dari
putusan denda dan pembayaran uang pengganti. Terpidana selalu menyembunyikan
hartanya sehingga sulit dieksekusi oleh jaksa.
Keempat, menjatuhkan sanksi pidana secara
maksimal. Tetapi harus dimulai dari tuntutan penuntut umum secara maskimal
sesuai ancaman hukuman pasal UU Korupsi yang terbukti dilanggar dalam sidang
pengadilan. Artinya, penuntut umum bersikap “hitam-putih” saja dalam membuat
tuntutan. Tidak boleh lagi ada “rencana tuntutan” yang harus mendapat
persetujuan atasan. Biar hakim yang mempertimbangkan berat-ringannya hukuman
yang dijatuhkan dengan memerhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
(Pasal 8 Ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman).
Kelima, mereformasi peradilan secara serius
dengan sasaran memutus mata rantai mafia peradilan. Para mafia peradilan
harus dibongkar dan menindak tegas dengan menjatuhkan putusan yang jauh lebih
berat. Di situlah dituntut sinergitas antara MA dan Komisi Yudisial untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
(Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945). Sebab di tangan hakimlah benteng terakhir hukum
dan keadilan diputuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar