Penyerangan
Membabi Buta di NTT
Umbu TW Pariangu ; Dosen
FISIP Undana, Kupang, NTT
|
JAWA POS, 15 Desember
2016
SEORANG pria, IS, menyerang dengan pisau
secara membabi buta tujuh murid SD Negeri I Sabu Barat Kabupaten Sabu Raijua,
Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa pagi (13/12). Pelaku yang berprofesi
sebagai pedagang keliling itu leluasa masuk dari bagian belakang gedung
sekolah dan langsung menuju ruang kelas V serta VI. Dia lantas menyayat leher
para korban di dua kelas tersebut. Tak ada korban jiwa dalam insiden
penggorokan itu. Namun nahas, pelaku yang merupakan tersangka utama harus
tewas diserbu massa yang kalap dan merangsek masuk ke ruang tahanan Polsek
Sabu Barat.
Memang selepas peristiwa tersebut wakil
bupati Sabu, Kapolda NTT, dan Danrem 161 Wirasakti Kupang langsung terjun ke
lapangan untuk menenangkan massa yang meradang. Tak juga ketinggalan, kaum
agamawan NTT (GMIT dan MUI) mengimbau agar targedi nir kemanusiaan tersebut
diusut tuntas dan masyarakat setempat tidak mudah terprovokasi isu-isu
menyesatkan. Sayang, reaksi yang boleh dibilang agak terlambat itu seakan
membuka ruang eskalasi kekerasan yang memicu massa untuk bertindak anarkistis
hingga menewaskan pelaku.
Eskalatif
Kita mengutuk sadisme terhadap anak-anak tersebut.
Mereka adalah representasi kelompok yang rentan dan tak berdaya atau simbol
minoritas yang selalu mudah diokupasi praktik kekerasan orang dewasa.
Padahal, kekerasan terhadap mereka adalah simbol pencederaan kodrat
kemanusiaan dan peradaban. Kahlil Gibran pernah mengatakan, anak adalah anak
panah yang meluncur, sedangkan orang tua adalah busurnya. Jika diperluas
maknanya, masyarakat dan negara adalah busur yang melesakkan anak panah
(anak-anak) itu ke jantung sasaran.
Artinya, masyarakat dan negara berperan
membentuk anak-anak sehingga tumbuh menjadi generasi yang berkualitas dan
memiliki masa depan. Bukan sebaliknya, menjadi parasit destruktif yang
merampok dan meneror jiwa anak. Tidak berlebihan pula jika Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebut peristiwa itu sebagai pelecehan
terhadap pendidikan. Dunia pendidikan yang mestinya dilumuri tinta
pengetahuan, kebenaran, dan peradaban malah dijejas dengan tinta kekerasan
serta teror.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana
kemarahan masyarakat pada Selasa pagi itu begitu cepat menjalar di media
sosial (Facebook/FB). Informasi dan foto-foto yang terkait dengan
penyanderaan dan penikaman tujuh siswa yang disebarkan di FB -sebelum media
mainstream mewartakan insiden tersebut- dipenuhi bumbu provokatif dan
desas-desus yang memperkeruh keadaan. Misalnya, dikatakan salah seorang
korban telah meninggal atau leher anak salah seorang pendeta putus, termasuk
isu bahwa pembunuh adalah teroris atau bagian dari ISIS. Konten tersebut pun
memicu sahut-sahutan kemarahan di Facebook lewat hujatan, kecaman, hingga
penghakiman verbal sebelum akhirnya meletup menjadi eskalasi kemarahan di
jalanan yang anarkistis.
Imbauan agar masyarakat tetap mengendalikan
diri, tak terpancing hasutan liar, tak lagi berarti. Yang masih berpikir
jernih dan tak mau dikendalikan isu-isu liar terpaksa lebih memilih diam atau
ikut arus menghujat pelaku agar tidak terisolasi dari atmosfer kemarahan
konten di medsos, sebagaimana teori spiral of silence (spiral keheningan)
Elisabeth Noelle-Neumann (1976) bahwa seseorang akan memilih menghindari
isolasi terhadap dirinya karena mempertahankan sikap atau keyakinannya yang
dianggap baik.
Mengkritisi
Aparat
Dalam keadaan seperti itu, kita mengkritisi
ketidakcepatan aparat untuk menetralkan keadaan sekaligus menutup potensi
buncahan kemarahan massa yang menyebabkan pelaku dihajar hingga tewas.
Apalagi, Kapolsek Sabu Barat tenyata sudah dua minggu tidak berada di tempat
saat kejadian (CNN 13/12). Hal itu bisa saja menimbulkan pertanyaan tersendiri
kalau tidak mau dikatakan negara (baca: aparat) sejatinya telah abai dalam
mengantisipasi ancaman terhadap warganya. Ada semacam “eskapisme” dari aparat
dalam memprediksi akan terjadinya gerakan massa untuk menyerbu polsek pasca
penikaman. Padahal, standar sekuriti dalam konteks darurat tersebut mestinya
bisa ditempuh jika ada koordinasi yang cepat serta baik antara aparat
keamanan, tokoh pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat.
Kini kita berharap pemerintah setempat
dengan dibantu tokoh agama, masyarakat, maupun aparat secepatnya menetralkan
dan memulihkan situasi, termasuk memulihkan para siswa dari trauma sehingga
tindakan anarkistis lanjutan bisa dicegah serta geliat kehidupan masyarakat
kembali normal. Kita juga berharap semangat toleransi dan solidaritas
antarumat beragama di Sabu tidak terusik dengan memberikan keyakinan kepada
masyarakat bahwa aksi nir kemanusiaan tersebut tak terkait dengan agama,
melainkan aksi parsial dari oknum-oknum yang ingin merusak anyaman kedamaian
di masyarakat. Karena itu, kita percayakan sepenuhnya kepada aparat untuk
menguak pelaku insiden, motif, dan jaringannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar