Indonesia
Rumah Bersama
Otto Gusti ; Alumnus
Hochschule fuer Philosophie Muenchen;
Dosen Filsafat dan HAM di STFK
Ledalero, Maumere, Flores
|
MEDIA INDONESIA,
16 Desember 2016
“SELAIN Islam, Indonesia rumah bagi umat
kristiani, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.” Demikian penegasan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) yang mengangkat isu kemajemukan ketika membuka Bali
Democracy Forum (BDF), beberapa waktu lalu (Media Indonesia, 9/12/).
Konsolidasi
politik
Jokowi sadar, tanpa merawat kemajemukan
secara serius, Indonesia sebagai sebuah nation state tak akan memiliki masa
depan. Konsolidasi politik Presiden dengan para ketua partai politik,
pemimpin-pemimpin ormas, dan tokoh-tokoh agama patut mendapat apresiasi dan
harus dibaca sebagai ikhtiar untuk merekatkan soliditas guna membangun
Indonesia yang lebih baik. Demi konsolidasi, Jokowi secara mengejutkan
mendatangi massa yang berdoa di bawah guyuran hujan deras di Lapangan Monas
pada 2 Desember 2016.
Tentu saja konsolidasi politik rasional
harus mampu melampaui kepentingan sesaat demi mengamankan kursi empuk
kekuasaan. Konsolidasi politik bukan tujuan an sich, melainkan jembatan untuk
merekatkan semua elemen bangsa guna menuntaskan agenda pembangunan nasional
demi terwujudnya bonum commune.
Perspektif konsolidasi politik harus tetap
diarahkan pada penguatan sistem demokrasi substantif, menjunjung tinggi
prinsip negara hukum konstitusional dan penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia. Artinya, proses konsolidasi tidak pernah boleh memberikan ruang
toleransi terhadap praktik-praktik intoleran, membatalkan supremasi hukum
dengan tunduk pada hegemoni massa, serta berkompromi dengan para pelanggar
hak-hak asasi manusia yang kini masih bercokol dalam kekuasaan.
Penguatan
institusi
Konsolidasi politik harus bertransformasi
menuju penataan dan penguatan Indonesia sebagai sebuah institusi negara hukum
demokratis. Tanpa penguatan sistem hukum yang berbasiskan prinsip hak-hak
asasi manusia, kecemasan filsuf Prancis abad ke-18, Jean-Jacques Rousseau,
akan menjadi kenyataan di negeri kita, yaitu “Yang paling kuat sekalipun
tidak pernah cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil
menerjemahkan kekuatan itu dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban” (Der
Gesellschaftsvertrag, I,3).
Substansi wawasan Rousseau ialah tanpa
hukum dan moralitas yang diterima umum, kehidupan bersama akan diatur
berdasarkan prinsip hukum rimba. Yang kuat pemilik kebenaran, sementara yang
lemah kian terpinggirkan. Kesewenang-wenangan pun mewarnai penyelenggaraan
kekuasaan. Jika kondisi ini terus dipupuk, warga akan kehilangan kepercayaan
terhadap pemerintah, yang bermuara pada kehancuran negara.
Agar Indonesia tetap menjadi rumah bersama
yang plural seperti dicita-citakan para pendiri bangsa, semboyan Bhinneka Tunggal
Ika tidak cukup diucapkan dalam pelbagai seremoni ritual kenegaraan.
Kemajemukan harus menjadi prinsip hidup bernegara dan diaktualisasikan dalam
semua produk regulasi kehidupan berne-gara dari tingkat lokal hingga
nasional. Semua produk hukum yang membuka ruang intoleransi serta
berseberangan dengan konstitusi dan prinsip hak-hak asasi manusia sudah
semestinya dibatalkan.
Setelah melewati perdebatan yang alot, para
founding fathers menetapkan
pluralisme sebagai fundamen etis kehidupan bernegara. Kiranya masih segar
dalam memori kolektif kita tentang diskursus seputar relasi antara negara dan
agama yang secara genealogis bermula dari polemik antara Soekarno dan
Mohammad Natsir.
Soekarno merupakan representasi dari
kelompok nasionalis sekuler yang memperjuangkan pemisahan tegas antara negara
dan agama. Sementara itu, Mohammad Natsir menyuarakan aspirasi golongan
nasionalis Islami yang menghendaki pertautan yang erat antara agama dan
negara. Agama tidak hanya mengatur relasi antara manusia dan Tuhan, tetapi
juga manusia dan manusia dalam sebuah tatanan politik.
Diferensiasi
Untuk merawat kesatuan dalam suasana
kebinekaan, jalan sejarah yang diambil bangsa Indonesia ialah diferensiasi
antara agama dan negara tanpa harus bermakna privatisasi agama. Melampaui
paradigma dikotomis pemisahan agama dan negara versi sekularisme, para
pendiri bangsa Indonesia tetap melihat relevansi sosio-politis agama. Agama
bukan sekadar obat penghibur batin atau kesalehan ritualistis personal minus
keterlibatan dan pertanggungjawaban sosial. Indonesia sebagai rumah bersama
ialah sebuah civic nation, bukan ethnic nation. Titik pijak kesetiakawanan
nasional kita bukan tautan emosional kesamaan darah, etnik, dan agama,
melain-kan musuh bersama kolonialisme dan imperialisme yang telah melahirkan
idealisme kesatuan dalam kebinekaan pada 1928 dan cita-cita liberatif 1945.
Kesetiakawanan nasional serupa kembali muncul di hari-hari ini dalam bentuk
tanggapan kemanusiaan atas musibah dan derita yang mendera para korban gempa
di Pidie, Aceh. Solidaritas mengalir ke Aceh dari segala penjuru Nusantara
tanpa mengenal perbedaan latar belakang agama, etnik, dan ideologi.
Di Maumere, Flores, sekelompok
biarawan-biarawati Katolik meng-organisasi bantuan dan menggalang solidaritas
kemanusiaan untuk Aceh. Beberapa waktu terakhir di Tanah Air agama sering
menjadi ajang konflik dan arena ujaran kebencian. Namun, di hadapan realitas
penderitaan korban gempa Pidie dan dalam aksi-aksi kemanusiaan, agama-agama
bertemu dan menjadi kekuatan produktif. Kualitas moralitas agama-agama justru
diuji dalam komitmen untuk berpihak pada korban dan perjuangan melawan
penderitaan. Tanpa pengakuan akan otoritas penderitaan para korban, moralitas
agama dan kehidupan sosial pada umumnya akan rapuh dan tak bermakna sama
sekali.
Tepat apa yang ditegaskan seorang teolog
Jerman kontemporer, JB Metz: “Bukan konsensus yang menciptakan otoritas etos,
melainkan otoritas batiniah sebuah etoslah yang memungkinkan dan memberikan
pendasar-an terhadap konsensus universal. Otoritas dimaksud ialah otoritas
para penderita, penderita yang tak bersalah dan diperlakukan tidak adil”
(Metz, 2006, 173).
Namun, keterlibatan agama di ruang publik
harus tetap berpijak pada penghargaan akan prinsip pluralisme, negara hukum,
dan doktrin diferensiasi agama dan negara. Prinsip-prinsip kenegaraan modern
ini terbukti telah menyelesaikan konflik antaragama dan ideologi dalam
masyarakat plural. Jalan yang sama pun harus kita tempuh dan menjadi komitmen
bersama ke depan agar Indonesia tetap menjadi rumah multikulturalisme.
Pengakuan akan pluralisme bertolak dari
asumsi antropologis tentang gambaran manusia sebagai pribadi moral yang
otonom. Sebagai subjek otonom warga negara memiliki hak atas pembenaran atau
legitimasi. Artinya, hak norma, undang-undang, dan struktur yang harus
ditaati, mendapat legitimasi yang setara untuk semua. Tak ada satu kubu pun
boleh memproyeksikan secara sepihak kepentingan dan keyakinannya kepada yang
lain.
Di samping itu, pluralisme juga berakar
pada pemahaman tentang distingsi iman dan ilmu sebagai distingsi akal budi
yang terbatas itu sendiri sehingga terdapat ruang bagi reasonable
disagreement (J Rawls, 1998). Reasonable disagreement ialah sebuah disensus.
Dalam disensus, kedua kubu memandang posisi yang lain sebagai sesuatu yang
salah, tanpa harus serentak berpendapat yang lain itu irasional atau amoral.
Pengakuan akan kemajemukan berarti
alasan-alasan penolakan terhadap yang lain kuat, tapi tidak cukup kuat untuk
memberikan pendasaran atas penolakan tersebut. Komitmen untuk kemajemuk-an di
sini berarti melampaui diri sendiri tanpa harus berarti relativisasi diri,
menerima keberlainan yang lain tanpa harus minder.
Bali Democracy Forum berakhir dengan
titipan pesan bagi masyarakat luas tentang hubungan positif antara demokrasi,
toleransi, pluralisme, dan kehidupan beragama (Media Indonesia, 10/12). Untuk
kita artinya, merajut Indonesia sebagai sebuah rumah bersama berarti
penguatan demokrasi, pengakuan akan keberagaman dan promosi hidup religius
berwajah kemanusiaan.
Dalam pertemuan dengan Komisioner Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan sejumlah pegiat HAM di Istana Merdeka beberapa
waktu lalu, presiden berinisiatif membentuk tim penangkal kelompok dan
gerakan intoleran. Dewasa ini intoleransi tidak hanya tampil di ranah agama.
Ia sudah mengancam kebebasan asasi orang untuk berekspresi, berkesenian,
berkebudayaan, dan bahkan memasuki wilayah kebebasan akademis di kampus.
Langkah Presiden Jokowi harus didukung.
Pengalaman bangsa-bangsa beradab mengajarkan intoleransi membatasi ruang
gerak pribadi dan prestasi. Intoleransi menghancurkan pertumbuhan ekonomi,
ilmu pengetahuan, dan seni sebagai landasan peradaban manusia modern.
Sementara itu, pribadi-pribadi toleran selalu kreatif dan dapat mengembangkan
dirinya dengan baik.
Indonesia hanya mungkin bertumbuh secara
ekonomis dan kultural jika pada 2017 mampu menampilkan diri sebagai komunitas
politis yang terbuka dan toleran serta menghadapi kelompok-kelompok intoleran
dengan intoleransi. Indonesia dapat dihargai dalam pergaulan internasional
jika tanpa kompromi menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang berpijak
pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar