Pentas
Hukum dan Keadilan
Suparto Wijoyo ; Koordinator
Magister Sains Hukum dan Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 14 Desember
2016
SIDANG perdana kasus dugaan penistaan
agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digelar kemarin (13/12).
Ruang sidang PN Jakarta Utara menjadi panggung bagaimana hukum dipentaskan.
Publik punya kesan yang persepsionis tentang apa yang sedang dipentaskan.
Pengadilan secara terminologis bukan
wahana penegakan hukum semata, tapi juga peneguhan rasa keadilan. PN Jakarta
Utara dinisbahkan mengusung keadilan yang diunggah melalui tahapan yang
sangat legal. Bahkan di hari-hari mendatang akan terasa amat dramatis dan
menjadi persidangan yang bernuansa telenovelis untuk diikuti. Apa yang
terjadi di ruang pengadilan semakin melengkapi riuhnya gelanggang sosial
kosmologi aksi 411 maupun 212.
Bahkan, kini terpolarisasi, aksi
dengan tema keagamaan untuk mendudukkan supremasi hukum justru dijadikan
liyan, rivalitas persatuan dan keragaman. Suasana diaduk untuk menyembulkan
“siapa yang berkuasa” dan bagaimana hukum dan keadilan dibenturkan dalam
sengkurat berkepanjangan. Umat benar-benar digiring memasuki ajang kontestasi
dan pengaburan relasi antara hukum dan keadilan. Sampai pada posisi negara
yang menyeretnya berhadapan.
Apakah memang sedemikian ini adanya?
Dunia hukum sungguh memamerkan perannya yang menarik. Permasalahan yang
sangat sederhana akhirnya memuai sedemikian kompleksnya. Untuk kasus serupa
ini, secara yuridis sudah ada yurisprudensinya dan gamblang pula jalan
penegakan hukumnya.
Akankah negara peduli dengan gemuruh
tauhid yang bergerak memberikan torpedo kolektif yang menyorongkan energi
percepatan jalannya prosesi hukum kasus Ahok? Pergerakan massa itu sejatinya
menjadi permenungan para penyelenggara negara untuk berpaling pada tataran
narasi moral, bukan hukum positif belaka. Hukum positif terlihat tidak
menuangkan aspek yang bisa menjangkau esensi kaidah moral dan suara lirih
keadilan. Moralitas mengajarkan kepatutan dan keadilan yang berada dalam
wilayah “rasa hukum”, bukan “frasa hukum”.
Hukum secara konseptual memang
membangun trisula kepentingan, yaitu public interest, professional interest,
dan personal interest. Dengan demikian, setiap orang memiliki kesempatan
untuk memperbincangkan hukum, tetapi tidak semuanya punya otoritas membuat
putusan hukum. Bahwa proses peradilan yang tidak mengubah konstelasi pilkada
DKI Jakarta adalah sebuah tontonan yang sangat positivistik yang dikukuhi
negara. Inilah titik di mana hukum dalam realitasnya tidak memaknai etika
pemerintahan (tersangka-terdakwa diperkenankan melamar menduduki jabatan
publik). Pada lingkup ini langit Jakarta menorehkan labirin hukum yang
membuat jutaan rakyat berdegup dalam waspada.
Menyaksikan reality show yang
terpentaskan di persidangan, moralitas dan intelektualitas terasa
dibentur-benturkan. Jangan sampai negara hukum kehilangan maknanya yang dalam
bahasa Francis Fukuyama sedang mengalami the great disruption.
Riuhnya kasus tersebut mengkhawatirkan
lahirnya tindakan mereduksi konsepsi negara hukum tanpa keadilan yang
menggiring ke arah kritik Charles Sampford: the disorder of law. Hal ini
dalam pandangan Robert C. Ellickson merupakan cermin ajaib terbangunnya
kondisi order without law yang narsis. Mencerabut hukum dari ranah keadilan
adalah berbahaya.
Para pengadil mesti bertanggung jawab
terhadap paradigma dan praktik hukum yang mendistorsi substrat moral dan
keadilan. Sebagai kompleks kaidah, kata D.H.M. Meuwissen, hukum bukanlah
gejala netral, hukum ada dalam atmosfer sosial yang sarat interes. Hukum
jelas bukan bejana kosong. Kelas-kelas pembelajaran hukum tidak boleh hanya
sibuk mendeskripsikan pasal-pasal dan ayat-ayat secara literal dengan
mencampakkan kadar ideologisnya.
Pengadilan tidaklah elok membuat
“tarian hukum” tanpa gendang keadilan. Pengadilan mesti memahami untuk
menghadirkan hukum yang memanggul rasa keadilan umat. Saatnya hukum sebagai a
set of rule or norm dikembangkan dengan mengelaborasi hukum ke alam social
order yang bermuatan keadilan. Para penstudi hukum harus diajak mendialogkan
hukum dalam konteks moral dan keadilan. Para yuris selayaknya memiliki
sensitivitas untuk mengkaji setiap gerak hukum dalam standar good governance.
Pada konten dan konteks inilah hukum dipangku rasa keadilan yang berbasis
moralitas bangsa.
Hal itu berarti antara hukum negara
dan keadilan rakyat yang selama ini dibenturkan untuk saling menyerang harus
diakhiri dengan jalinan mengedepankan keadilan dan kepatutan, bukan sekadar
kepastian. Paradigma hukum dengan keadilan seyogianya integrated. Sebab,
meminjam kata-kata Joseph E. Pattison, keduanya sungguh sudah tidak berbatas
(breaking boundaries). Jadikanlah hukum sebagai jalan keadilan yang
menjunjung tinggi moralitas agar tidak menggelombangkan kegaduhan.
Jangan sampai ada akrobat hukum dan
pada akhirnya publik apatis pada upaya pencarian keadilan. Tampilan sidang
perdana melukiskan perjumpaan perdebatan dengan jutaan mata menonton sambil
bengong, nyaris tidak percaya akan hadirnya tradisi baru dalam menggapai
keadilan: harus penuh aksi. Isi dakwaan dan pembelaan beriringan dan hal itu
memang melahirkan gemuruh yang tidak terjangkau dalam penalaran hukum.
Keadilan diboyong satu pihak untuk ditabuh di persidangan dengan mengabaikan
kepatutan rakyat di ruang-ruang hukum dan keagamaan.
Akankah pengadilan ini menjadi pemandu
legal power dalam bincangan keadilan? Ataukah akan menambah kisah panjang
dongeng pencari keadilan yang terjerembap di ruang sidang? Persidangan
mendatang niscaya menghadirkan lakon hukum dan keadilan yang memesona.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar