Kembali
ke Kodrat Pendidikan
Samsudin Adlawi ; Wartawan
Jawa Pos; Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi
|
JAWA POS, 14 Desember
2016
BENAR–BENAR antiklimaks. Harapan unas
(ujian nasional) dimoratorium yang sempat melanting ke langit tiba-tiba terbanting
kembali ke bumi. Ya, Istana resmi menolak moratorium unas.Wapres Jusuf Kalla,
sebagaimana dilansir koran ini (8/12), menegaskan bahwa unas masih
dibutuhkan. Bisa dibayangkan, siswa beserta orang tuanya dan para
pengamat-pakar pendidikan yang optimistis unas disetip pasti terpukul
mendengar keputusan itu.
Kabar moratorium unas bermula dari
pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy, beberapa kali dalam beberapa waktu
lalu. Pernyataan itu menggelinding begitu cepat. Langsung menjadi salah satu
tema diskusi paling menarik. Sebab, memang sudah lama banyak pihak
menginginkan unas ditiadakan, dengan berbagai alasan.
Masyarakat makin optimistis unas bakal
tamat setelah mendengar pidato Presiden Jokowi dalam resepsi Hari Guru
Nasional 2016 dan HUT Ke-71 PGRI di Sentul International Convention Center
(SICC). Jokowi menyatakan bahwa pembelajaran matematika, fisika, kimia,
biologi, dan sejenisnya itu penting. ”Tetapi, yang paling penting adalah
menanamkan nilai-nilai etika, kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras,”
ujarnya di hadapan belasan ribu guru yang memadati SICC (27/11).
Titik tekan pesan Jokowi dalam pidato
itu memang pada penanaman nilai-nilai etika, kejujuran, kedisiplinan, dan
kerja keras. Tapi, muncul pertanyaan, mengapa presiden ke-7 RI itu menyebut-nyebut
empat mata pelajaran eksak dalam pidatonya. Bisa jadi itu hanya sebuah
kebetulan. Yang pasti, empat mata pelajaran itu selama ini menjadi momok bagi
siswa dalam menghadapi unas.
Ok. Keputusan sudah dibuat. Unas batal
dimoratorium. Maka, muncullah pertanyaan berikut: Akan berhasilkah guru
menanamkan nilai-nilai etika, kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras?
Bukankah selama ini guru sudah sibuk menyiapkan siswanya menghadapi unas
sejak jauh sebelum unas digelar. Sekolah dan guru sudah memprogram bimbingan
belajar sejak setahun lebih. Banyak juga siswa yang memilih ikut bimbingan
belajar di luar sekolah. Pendeknya, sudah sangat padat jam pelajaran bagi
siswa.
Meski sudah diputuskan unas tidak
dijadikan faktor kelulusan, tetap saja
siswa menjadikan unas sebagai
prioritas. Bahkan, masih banyak sekolah dan guru yang bersikap sama seperti
siswa itu.
Terus terang, saya sangat setuju
model-model ujian seperti unas itu tidak dipakai lagi. Dan, saya sangat
setuju pernyataan Presiden Jokowi bahwa pengajaran nilai-nilai etika,
kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras jauh lebih penting. Nilai-nilai itu
sangat urgen. Dibutuhkan generasi muda yang sedang berproses menjadi dewasa.
Boleh dibilang, nilai-nilai ketimuran itu sangat efektif untuk menangkal virus
kebobrokan yang kini menemukan media salurannya bernama medsos.
Sebetulnya tidak sulit menjalankan
pesan Presiden Jokowi. Hanya butuh satu syarat. Yakni, para guru kembali ke
kodratnya. Kodrat itu terkait dengan nama lembaga. Mulai menteri, departemen,
sampai ke dinas di daerah semuanya menggunakan istilah ”pendidikan”. Menteri
pendidikan, departemen pendidikan, dinas pendidikan. Mari kita buka Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Silakan buka lema pendidikan. Gamblang sekali
definisinya: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Ada dua kata kunci dalam definisi itu. Yakni, pengubahan sikap dan
tata laku. Klop sekali dengan permintaan Jokowi, bukan?
Secara tidak langsung bisa dibilang,
Presiden Jokowi mengingatkan kepada para guru bahwa selama ini mereka sudah
melenceng dari kodratnya. Sebagai pendidik, seharusnya apa pun yang dilakukan
oleh guru harus bermuara pada perubahan sikap dan tata laku siswanya. Agama
(Islam) mengenal dua kata kunci itu dengan akhlak. Etika, kejujuran, dan
kedisiplinan itu juga bagian dari akhlak.
Pendidikan beda dengan pembelajaran.
KBBI mengartikan ”pembelajaran” sebagai proses, cara, perbuatan menjadikan
orang atau makhluk hidup belajar. Apa itu ”belajar”? Lema belajar dalam KBBI
punya arti: berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Kini, Anda jadi tahu,
yang dilakukan para guru di sekolah selama masuk yang mana: proses pendidikan
atau pembelajaran. Kalau saban hari guru melulu mengajarkan mata pelajaran
seperti saat ini, lalu gol yang ingin dicapai siswanya adalah prestasi
akademik (salah satu alat ukurnya adalah unas), apakah masih laik lembaga
para guru berprofesi disebut lembaga pendidikan. Apakah tidak lebih tepat
disebut sebagai lembaga pembelajaran.
Wa ba’du. Seharusnya, sesuai definisi
dalam KBBI, lembaga pendidikan formal di lingkungan dinas pendidikan
menghasilkan alumni yang berakhlak mulia. Memiliki etika, kejujuran, dan
kedisiplinan jauh di atas keilmuannya. Seperti yang diharapkan Presiden
Jokowi. Sebaliknya, jika masih mengutamakan keilmuan dan kecerdasan sebagai
golnya dan menomorduakan etika, kejujuran, dan kedisiplinan, sebaiknya
diganti saja nama dinas pendidikan menjadi dinas pembelajaran. Pun
menterinya. Bukan lagi menteri pendidikan, melainkan menteri pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar