Penegakan
Hukum Pemilu
Ramlan Surbakti ; Guru
Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Komisi
Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 16 Desember
2016
Ketika Komisi Pemilihan Umum menetapkan dan
mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum menilai legitimasi suatu
proses penyelenggaraan pemilu dari dua segi. Pertama, apakah hasil pemilu
bebas dari manipulasi. Kedua, apakah pelanggaran hukum pemilu ditegakkan
secara adil.
Karena itu, efektivitas penegakan hukum dan
penyelesaian sengketa pemilu merupakan dimensi yang sangat penting untuk
keabsahan suatu pemilu.
Tiga ketentuan yang harus ditegakkan dalam
proses penyelenggaraan pemilu adalah ketentuan administrasi pemilu (KAP),
ketentuan pidana pemilu (KPP), dan kode etik penyelenggara pemilu (KEPP).
Penegakan KEPP selama ini lebih efektif daripada penegakan KAP dan KPP.
Namun, penegakan KEPP bukan tanpa masalah karena dalam sejumlah kasus DKPP
bertindak melebihi kewenangannya.
Penegakan KAP relatif lebih efektif
daripada penegakan KPP, tetapi penegakan KAP juga mengalami banyak masalah.
Apa saja yang menjadi KPP, jauh lebih jelas terinci daripada apa saja yang
menjadi KAP, tetapi penegakan KPP merupakan yang paling tidak efektif.
Penyelesaian sengketa hasil pemilu jauh lebih efektif daripada proses
penyelesaian sengketa administrasi pemilu, baik dari segi waktu maupun dari
segi putusan. Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu sering kali
melewati jadwal tahapan pemilu. Walaupun demikian, proses penyelesaian
sengketa hasil pemilu bukan tanpa masalah. Itulah hasil evaluasi secara umum
tentang sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu pada beberapa
pemilu terakhir.
RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang
diajukan pemerintah kepada DPR sama sekali tak mengandung upaya memperbarui
(mereformasi) sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu.
Apabila sistem ini tidak diperbarui, Pemilu 2019 diperkirakan tidak akan
mampu memenuhi salah satu parameter pemilu demokratik, yaitu penegakan hukum
dan penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu. Uraian berikut
merupakan usul mengenai perubahan sistem penegakan hukum dan penyelesaian
sengketa pemilu.
KAP
dan KPP
Dalam setiap UU Pemilu selalu terdapat bab
tentang ketentuan pidana pemilu sehingga semua pihak mengetahui apa saja yang
termasuk tindak pidana pemilu, termasuk sanksinya. KAP tidak pernah
ditampilkan sebagai suatu bab dalam UU Pemilu apa pun di Indonesia. Karena
itu, semua orang mencari-cari apa saja yang termasuk pelanggaran administrasi
pemilu dan apa sanksinya.
Pada hal sebagian besar ketentuan yang
mengatur proses penyelenggaraan pemilu tak lain merupakan KAP. Namun,
tindakan apa saja yang termasuk pelanggaran administrasi pemilu dan apa saja
sanksinya belum ditegaskan dalam UU Pemilu. Rincian KAP beserta sanksinya
dapat dilihat pada Naskah Akademik dan Draf RUU Kitab Hukum Pemilu
(Kemitraan, 2015) yang sudah disampaikan kepada pemerintah, Badan Legislasi,
dan semua fraksi DPR.
Sebagian besar ketentuan mengatur dana
kampanye pemilu, termasuk KAP. Namun, ketentuan yang mengatur dana kampanye
masih banyak mengandung kekosongan hukum. Peserta pemilu diwajibkan menyimpan
sumbangan dana kampanye dalam bentuk uang di rekening khusus dana kampanye,
dan membiayai kegiatan kampanye dengan mengambil dari rekening khusus dana
kampanye. Akan tetapi, kewajiban menyimpan di dan mengambil dari rekening
khusus dana kampanye ini hanyalah sekadar imbauan karena tanpa sanksi bagi
pelanggarnya.
Oleh karena itu, tidak heran apabila
rekening khusus dana kampanye hanya berisi modal awal ditambah bunganya.
Proses penegakan ketentuan dana kampanye juga tidak dikemukakan dalam UU
Pemilu. Karena itu, ketentuan yang mengatur dana kampanye pemilu dalam UU
Pemilu selama ini sama sekali tak ada gunanya dalam menciptakan persaingan
yang adil di antara peserta pemilu.
KPP terdiri atas 51 pasal, tetapi hanya
beberapa pasal yang ditegakkan. Penegakan hanya beberapa pasal ini berkaitan
dengan beberapa hal. Pertama, proses penegakan KPP terlalu panjang karena
melibatkan lima pihak: yang melaporkan (peserta pemilu, pemantau, atau
pemilih), Bawaslu/Panwas, Polri, kejaksaan, dan pengadilan. Pemilih enggan
melaporkan, Bawaslu/Panwas tidak proaktif melainkan menunggu laporan, dan
Bawaslu/Panwas diminta mencari bukti.
Kebanyakan laporan dugaan pelanggaran
pidana pemilu terhenti di Polri karena Polri menilai laporan yang disampaikan
Bawaslu/Panwas tidak memenuhi syarat untuk diteruskan ke penyidikan. Polri
hanya menunggu laporan Bawaslu/Panwas. Mengapa tindak pidana Pemilu tidak
langsung ditangani Polri seperti dugaan tindak pidana lain? Tidaklah jelas
apakah pembuat undang-undang sudah menghitung biaya penegakan semua pasal
yang terkandung dalam KPP. Biaya yang dimaksud tidak hanya anggaran, tetapi
juga personel dan waktu.
Dua usul berikut perlu dipertimbangkan oleh
Pansus RUU Pemilu dan pemerintah. Pertama, pemisahan tindak pidana yang
berpengaruh langsung terhadap hasil pemilu dari tindak pidana yang tidak
berpengaruh langsung terhadap hasil pemilu. Yang dimaksud dengan pelanggaran
yang ”berpengaruh langsung” di sini tidak harus mengubah pemenang atau pihak
yang kalah, tetapi secara nyata akan mengubah perolehan suara di antara
peserta pemilu.
Yang disebutkan secara tersurat dalam UU
Pemilu, dan yang harus sudah tuntas ditegakkan secara adil paling lambat lima
hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu adalah tindak pidana
pemilu yang berpengaruh langsung terhadap hasil pemilu. Tindak pidana pemilu
yang tak berpengaruh langsung terhadap hasil pemilu dikategorikan sebagai
pidana umum dan tetap harus ditegakkan secara adil, tetapi tidak termasuk
yang harus ditegakkan sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu.
Kedua, penegakan terhadap tindakan
pelanggaran pemilu yang termasuk KAP dan KPP sekaligus, seperti pemberian dan
penerimaan imbalan dalam proses pencalonan, dan jual-beli suara, harus
dipisahkan. Penegakan terhadap tindakan pelanggaran KAP harus dilakukan
secara mandiri tanpa menunggu putusan pengadilan atas aspek pidana dari
pelanggaran tersebut. Pemisahan ini sudah dilakukan dalam UU No 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Yang menjadi persoalan adalah pandangan
Komisi II DPR yang menilai Bawaslu hanya dapat menegakkan KAP terhadap
jual-beli suara tersebut apabila pelanggaran tersebut memenuhi kriteria
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Seharusnya dibedakan antara
pelanggaran dengan sanksi diskualifikasi calon dari pelanggaran dengan sanksi
pemungutan suara ulang di satu atau lebih daerah pemilihan.
Tindakan seorang calon atau operator yang
ditugaskan calon tersebut yang terbukti memberikan uang atau materi lainnya
sebagai tukar atas suaranya harus dikenai sanksi administrasi berupa
pembatalan status calon (diskualifikasi calon). Pelanggaran yang bersifat TSM
harus dikenakan dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi berupa pemungutan
suara ulang di satu atau lebih daerah pemilihan, dan sanksi pidana kurungan
dan denda.
Transformasi
Bawaslu
Untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan sengketa
pemilu perlu dilakukan reformasi sistem penegakan hukum secara institusional.
Reformasi institusional yang dimaksud adalah transformasi Bawaslu menjadi
Komisi Penegak Hukum Pemilu (KPHP). Setidak-tidaknya perlu dilakukan tiga
perubahan kelembagaan. Pertama, fungsi pengawasan dan fungsi ”kantor pos”
Bawaslu dikembalikan kepada yang berwenang. Fungsi pengawasan dikembalikan
kepada pemantau pemilu, peserta pemilu, pemilih, organisasi kemasyarakatan,
media massa, lembaga survei, sukarelawan, dan organisasi masyarakat sipil
pada umumnya.
Untuk mendukung partisipasi sejumlah unsur
masyarakat ini, pemerintah dan DPR perlu membentuk dana abadi untuk
pengembangan demokrasi (democratic
endowment) yang bersumber dari APBN, donor, dan sumbangan perusahaan swasta
dalam bentuk tanggung jawab sosial korporasi (CSR). Fungsi ”kantor pos”
dikembalikan kepada kepolisian untuk dugaan pelanggaran pidana, dan kepada
pihak yang menangani pelanggaran administrasi pemilu untuk pelanggaran KAP.
Kedua, penyederhanaan sistem penegakan
hukum dan penyelesaian sengketa pemilu. Tugas dan kewenangan KPHP sebagai
transformasi Bawaslu meliputi empat hal. Menegakkan KAP, termasuk menerima
pengaduan, menyelidiki dugaan pelanggaran, menyidangkan dan menetapkan apakah
terbukti terjadi pelanggaran atau tidak, beserta menetapkan sanksinya apabila
terbukti.
Tugas kedua KPHP adalah menegakkan
ketentuan tentang dana kampanye pemilu, termasuk mengadakan pelatihan
terhadap petugas keuangan setiap peserta pemilu sehingga tidak hanya memahami
ketentuan, tetapi juga mampu menyusun laporan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Tugas ketiga KPHP adalah menjadi penyidik
dan penuntut atas dugaan pelanggaran pidana pemilu yang berdampak langsung
terhadap hasil pemilu. Untuk sementara waktu, KPHP mungkin memerlukan bantuan
Polri untuk penyidikan dan kejaksaan untuk penuntutan, tetapi untuk jangka
panjang KPHP harus memiliki tenaga penyidik dan penuntut yang andal. Akan
tetapi, pengadilan khusus pemilu yang dibentuk di setiap pengadilan negerilah
yang menetapkan apakah pihak yang diajukan kejaksaan terbukti bersalah atau
tidak.
Menyelesaikan sengketa administrasi pemilu
tak lagi melibatkan Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi menjadi tugas
keempat KPHP. Peserta pemilu yang berkeberatan atas putusan KPHP kabupaten/
kota dapat mengajukan banding ke KPHP provinsi yang putusannya bersifat
final. Peserta pemilu yang berkeberatan terhadap putusan KPHP provinsi dapat
mengajukan banding kepada KPHP nasional yang putusannya bersifat final.
Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu seperti ini diperkirakan tak
saja akan adil (karena para komisioner KPHP menguasai betul KAP) tetapi juga
tepat waktu sesuai jadwal tahapan. Sesuai ketentuan UUD, sengketa hasil
pemilu tetap harus ditangani Mahkamah Konstitusi. Apabila terjadi sengketa
antarpeserta pemilu, KPHP dapat diminta bantuan, baik sebagai mediator maupun
sebagai arbitrator.
Ketiga, perubahan kelembagaan berupa
persyaratan menjadi anggota KPHP. Karena lingkup tugas dan kewenangan seperti
itu, tujuh anggota KPHP nasional, dan masing-masing lima anggota KPHP
provinsi dan kabupaten/kota harus terdiri atas sarjana hukum (tata negara,
dan pidana) dan sarjana tata kelola pemilu. Proses seleksi keanggotaan KPHP
lebih tepat diserahkan kepada suatu tim (Presiden menunjuk suatu tim) yang
dipandang memiliki keahlian dan pengalaman mengenai tata kelola pemilu,
tetapi tetap melalui proses terbuka kepada publik (setiap pihak dapat
mengusulkan calon) dan mendapat persetujuan DPR (Komisi II tak memilih,
tetapi menyatakan setuju atau tak setuju terhadap calon yang diajukan tim).
Selain itu, KPHP harus dibantu sekumpulan
tenaga pemantau, penyidik, penuntut, dan tenaga ahli yang andal dalam tata
kelola pemilu. Tenaga yang andal inilah yang secara nyata melakukan
pengumpulan data berdasarkan pengarahan KPHP, dan menyampaikan rekomendasi
kepada KPHP. Apabila proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu
dilihat dan dinilai publik berlangsung efektif, partisipasi berbagai unsur
masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran akan meningkat. Apabila
partisipasi berbagai unsur masyarakat mengalami peningkatan dalam melaporkan
dugaan pelanggaran pemilu niscaya pihak yang berniat melanggar akan berpikir
dua kali sehingga pada gilirannya pelanggaran itu akan berkurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar