Demokrasi
Agonistik
M Arskal Salim GP ; Guru
Besar Politik Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS, 16 Desember
2016
Menyongsong perhelatan demokrasi Pemilihan
Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017, suasana politik menegang dan memanas.
Kebebasan bermanuver dan konflik politik
pada paruh akhir tahun 2016 bertambah riuh gemanya, lebih-lebih dalam ruang
media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, atau WhatsApp. Sebagian
kalangan, baik akademisi maupun politisi, pun bertanya-bertanya tentang
kualitas atau implementasi nilai-nilai demokrasi yang tengah berlangsung di
Indonesia pada hari ini.
Pesimisme terhadap masa depan demokrasi pun
tak ayal akhirnya bermunculan. Bahkan, skenario konflik terburuk seolah sudah
terbayang di depan mata. Betulkah demokrasi di Indonesia sedang mengalami
krisis?
Benarkah aksi-aksi politik yang terjadi
beberapa waktu belakangan ini menjadi ancaman bagi demokrasi? Masih bisakah
kita optimis untuk terwujudnya masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia?
Paradoks
demokrasi
Demokrasi memang menyimpan sebuah paradoks
tersendiri. Pada satu sisi, ada semacam persepsi ketidakpastian atas
mekanisme atau praktik demokrasi (Lerma and Etxabe 2013). Contohnya, hasil
pemilihan presiden di Amerika Serikat terbaru yang memunculkan Donald Trump
sebagai presiden yang menggantikan Barack Obama.
Sistem pemilihan presiden berdasarkan
electoral vote itu dianggap kurang mencerminkan fairness, apalagi calon
presiden lainnya, Hillary Clinton, ditengarai lebih unggul dalam perhitungan
suara secara individual.
Pada sisi lain, demokrasi sebagai sebuah
terma atau konsep masih menjadi mantra solusi yang memberi inspirasi perubahan
sosial, khususnya di negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki sistem
politik yang demokratis.
Paradoks semacam ini membuat sebagian
sarjana ilmu politik menempatkan demokrasi pada suatu horizon yang tidak
tertandingi oleh sistem politik mana pun. Namun, pada saat yang sama, mereka
mengakui kenyataan demokrasi yang tidak mampu menunaikan semua janji manis
yang telah telanjur dirapalkannya.
Sesungguhnya demokrasi bukanlah sekadar
sebuah pembentukan rezim pemerintahan yang begitu sekali terbangun, maka akan
berlaku demikian seterusnya. Demokrasi merupakan sebuah proses politik yang
di dalamnya berbagai macam bentuk paradoks terus berlangsung tanpa dapat
dihindari. Inilah salah satu karakter demokrasi radikal, yang sering kali
juga dikenal dengan istilah agonisme politik atau demokrasi agonistik.
Agonisme berasal dari kosakata Yunani Kuno agon.
Dalam Bahasa Inggris, sinonimnya adalah struggle yang bermakna berjuang.
Agonisme jangan dikacaukan dengan ”antagonisme”. Antagonisme memiliki arti
sikap kontra atau perlawanan yang cenderung berkonotasi negatif. Sebaliknya,
agonisme mempunyai makna yang cukup positif mencakup kompetisi atau
kontestasi.
Asal muasal agonisme dapat ditelusuri pada
pertandingan atletik pada zaman Yunani Kuno. Dalam pertandingan, tiap-tiap
perseorangan termotivasi untuk berpartisipasi disebabkan keinginan narsistik
mereka memperoleh kemenangan.
Agonisme dengan demikian adalah praktik
aristokratis yang berkesesuaian dengan salah satu prinsip penting demokrasi,
yaitu persamaan (Kalyvas 2009). Dengan prinsip persamaan ini, perlombaan atau
kompetisi menjadi lebih cair dan berubah-ubah. Dalam bingkai inilah dapat
dipahami mengapa demokrasi cenderung mengalami pasang surut dan tampak kurang
stabil.
Dalam demokrasi agonistik, konflik politik
merupakan hal yang tak dapat dielakkan. Sebab, justru konflik itulah yang
memelihara keberlanjutan demokrasi. Konflik dalam tradisi politik agonistik
berperan untuk: (1) memelihara pluralitas demi menghindari terjadinya
polarisasi dan (2) menumbuhkan rasa segan terhadap kelompok yang berlainan
identitas (Schaap 2009).
Singkatnya, demokrasi agonistik bertujuan
untuk mencapai atau melakukan transformasi dari satu relasi yang antagonistik
menjadi agonistik. Dalam ungkapan Mouffe (2000), keberhasilan demokrasi
ditentukan oleh sejauh mana kemampuannya mengubah konfrontasi yang
antagonistik menjadi relasi sosial yang agonistik.
Pandangan ini terkesan cukup optimistik.
Konflik politik dalam beberapa bentuknya diyakini justru mengandung aspek
positif.
Pesimistis
atau optimistis
Pesimisme atau optimisme sebenarnya
bergantung pada konsepsi demokrasi yang dijadikan landasan untuk mengamati
kejadian-kejadian politik mutakhir di Indonesia.
Pesimisme mungkin dialami bagi mereka yang
memahami demokrasi ala Rawls atau Habermas. Demokrasi dipahami sebagai sarana
untuk menegosiasikan berbagai kepentingan guna mencapai konsensus, dan agar
konsensus itu dimungkinkan untuk tercapai, maka para pihak perlu
mengesampingkan kepentingan- kepentingan khusus mereka masing-masing dan
mulai berpikir mencari titik temu dengan rasional obyektif.
Faktanya, dalam proses negosiasi, sering
kali para pihak sulit untuk menerima tawaran melakukan kompromi, apalagi jika
kepentingan yang diperjuangkan tersebut sudah menjadi harga mati.
Sebaliknya, optimisme dirasakan oleh mereka
yang memaknai demokrasi dalam pengertian agonisme ala Mouffe. Jadi, sembari
melakukan penyelesaian konflik politik, para pihak diminta untuk tidak hanya
bersikap pragmatis dalam menghadapi konflik, tetapi juga pada saat yang sama
bahu-membahu bekerja menciptakan sebuah ruang kompromi yang mampu mengatasi
berbagai macam perbedaan.
Dalam demokrasi agonistik, setiap pihak
yang bersaing dituntut untuk mengakui dan menghargai hak perlawanan mitra
pesaingnya. Para pihak diminta memperlakukan satu sama lain sebagai
penantang, yang secara setara (equal) bertarung untuk meraih kemenangan dalam
posisi politik dan bukannya sebagai musuh yang harus dihancurkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar