Paradoks
Negara-Masyarakat
Bestian Nainggolan ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 19 Desember
2016
Bagaimana memahami kemunculan berbagai aksi
masif ketidakpuasan massa yang terjadi justru pada saat tingginya apresiasi
positif publik terhadap citra negara, menjadi pertanyaan paradoks dalam
mencermati dinamika relasi negara dan masyarakat di pengujung tahun 2016.
Jika saja berbagai kegaduhan dan aksi unjuk
kekuatan politik yang menguras energi segenap bangsa di pengujung tahun ini
tidak berlangsung, tahun 2016 menjadi catatan paling sempurna bagi keberadaan
sebagian besar institusi negara di negeri ini.
Dikatakan paling sempurna, karena pada saat
berbagai kelabilan situasi ekonomi, sosial, dan politik global ataupun dalam
negeri yang masih kurang bersahabat, justru pada 2016 inilah sebagian besar
institusi negara mampu menorehkan apresiasi ataupun citra positif di mata
publik.
Tidak terlalu samar untuk membuktikan hal
tersebut. Bagi kelembagaan eksekutif, khususnya jajaran pemerintahan dalam
kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, berbagai
apresiasi terhadap pencapaian sisi ekonomi, sosial, dan politik diraih.
Bahkan, sepanjang tahun 2016 dapat dikatakan merupakan momen rebound, setelah
sepanjang tahun 2015 penurunan apresiasi dan citra pemerintahannya
berlangsung.
Konsisten meningkat
Hasil pencermatan terhadap survei opini publik
menunjukkan, kurun waktu satu tahun terakhir citra pemerintahan Jokowi-Kalla
secara konsisten meningkat. Survei terakhir pada Oktober 2016, sebanyak 81,9
persen responden menyatakan citra yang positif bagi pemerintahan kali ini.
Proporsi apresiasi publik tersebut semakin mendekati capaian tertinggi yang
pernah ditorehkan pemerintah pada Januari 2015, pada saat 86,5 persen
responden menyatakan positif terhadap pemerintah (Grafik 1).
Masih dalam jajaran pemerintahan, khususnya
terhadap institusi-institusi negara yang terkait dengan penegakan hukum dan
ketertiban, apresiasi publik juga tampak. Institusi kepolisian tampak
menonjol. Sekalipun peningkatan citra tidak secara drastis, kepolisian
menjadi institusi yang paling konsisten meningkatkan citra positif publik.
Sementara institusi kejaksaan, kendati juga dinilai positif oleh publik,
capaiannya masih tergolong fluktuatif. Ada saat kejaksaan diapresiasi positif
sebagian besar publik, tetapi terdapat pula era penurunan apresiasi.
Begitu pula jajaran kelembagaan negara lain
yang terkait dengan penegakan hukum di luar pemerintahan, seperti institusi
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekalipun tiap institusi negara tersebut dinilai positif oleh publik, hanya
saja laju apresiasi dan citra terhadap tiap institusi tersebut bergerak
secara fluktuatif semenjak 2015.
Di antara semua institusi negara, kini hanya
citra keberadaan kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang menjadi ganjalan publik. Kedua institusi yang
sebenarnya merupakan wujud ideal representasi masyarakat di negeri ini belum
banyak disikapi positif oleh publik.
Terhadap DPR, misalnya, tahun 2016 tidak
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Suara-suara publik yang
mengapresiasikan keberadaan lembaga ini masih kalah besar dibandingkan dengan
yang mengeluhkan kiprah institusi ini. Begitu pula DPD. Bahkan sisi yang mengkhawatirkan,
ada tren penurunan apresiasi publik terhadap citra DPD. Persoalan
eksistensial fungsi kelembagaan dan kasus dugaan keterlibatan ketua DPD dalam
kasus hukum pertengahan September 2016 semakin menjadikan lembaga ini kurang
populer di mata publik.
Dengan sebagian besar catatan prestatif di
atas, negara memiliki modal sosial yang sangat besar. Idealnya, dengan modal
sosial, kepercayaan masyarakat yang tinggi menjadi penopang kuat dalam
menghadapi berbagai gejolak yang mengancam bangsa ini. Namun, ketika sosok
negeri justru diperhadapkan oleh kian meningkatnya derajat ancaman-ancaman
konflik sosial horizontal ataupun vertikal dalam beberapa kasus belakangan
ini, tampaknya menjadi relevan mempertanyakan kualitas modal sosial yang
terbangun pada bangsa ini.
Resistensi dan
stagnasi
Gelombang masif ekspresi ketidakpuasan,
ancaman konflik horizontal antarkelompok masyarakat, ataupun konflik vertikal
antara kelompok masyarakat terhadap negara di tengah tren peningkatan
apresiasi terhadap kinerja institusi negara menjadi paradoks. Pertanyaannya,
bagaimana memahami kontradiksi semacam ini?
Terdapat beragam pandangan memahami persoalan
demikian. Namun, menarik mencermati pandangan bahwa kemunculan aksi-aksi
ketidakpuasan yang berujung konflik secara hipotetis dapat dibaca sebagai
wujud resistensi agresif dari kelompok-kelompok masyarakat yang
"terpinggirkan" di negeri ini. Pandangan demikian menganggap bahwa
terlalu dini jika konflik yang ditengarai oleh kasus-kasus individu dan
berkembang menjadi ketersinggungan identitas hingga melibatkan kolektivitas
kelompok menjadi permasalahan sesungguhnya.
Apa yang tampak tidak lebih hanya outlet dari
wujud resistensi agresif. Pangkal persoalan dapat dilekatkan pada pola
pendistribusian kuasa ataupun kapital negeri yang dinilai tidak seimbang
hingga memunculkan kalangan-kalangan yang merasa tidak menjadi subyek dari
sisi politik, sosial, ataupun ekonomi. Ketika dari waktu ke waktu gerak
pengelolaan negara menuai apresiasi dan dukungan publik, justru pada saat itu
pamor dan ruang gerak kalangan demikian kian terusik. Dalam kondisi tersebut,
aksi unjuk fisik menjadi pilihan resistensi agresif.
Di sisi lain, paradoks meningkatnya apresiasi
publik dan peningkatan ancaman konflik ini dapat pula dijelaskan sebagai
suatu sifat relativitas opini yang terekspresikan. Artinya, apa pun opini
yang diekspresikan tidak berarti mutlak yang menjadi sikap ataupun tindakan
politik individu. Dalam hal demikian, terbukti bahwa peningkatan apresiasi
publik terhadap pengelolaan negara tidak selalu berujud pada semakin
tingginya surplus legitimasi politik yang dimiliki rezim pengelolaan negara
saat ini. Dengan perkataan lain, sekalipun mendapat apresiasi, tidak berarti
dukungan politik meningkat.
Pencermatan terhadap citra yang diekspresikan
publik terhadap pemerintahan Jokowi dalam survei opini selama ini, misalnya,
menunjukkan bagaimana besar kecilnya derajat apresiasi publik terhadap
pemerintah tidak selalu sama dengan besar kecilnya derajat keterpilihan
(elektabilitas) kembali Presiden Jokowi (Grafik 2). Memang, semenjak 2015
hingga kini keterpilihan Presiden Jokowi masih tertinggi di antara
sosok-sosok lain. Akan tetapi, proporsi dukungan pemilih Presiden Jokowi dari
waktu ke waktu cenderung datar, elektabilitasnya terpaku pada proporsi di bawah
40 persen pemilih.
Kondisi demikian mengonfirmasikan ruang
politik yang terbuka dan memungkinkan gerak ke setiap arah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar