Sanggupkah
Indonesia Hadapi Perubahan?
Bambang Setiawan ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 19 Desember
2016
Perubahan tata dunia yang berlangsung begitu
cepat, terutama dalam ideologi, seolah membalikkan asumsi bahwa ideologi
sudah mati. Juga, seolah berlawanan dengan kejumudan ekonomi dunia.
Rangsangan yang begitu masif, dalam mendorong kekuatan ideologi ke arah
blok-blok yang berseberangan secara diametrikal, menempatkan Indonesia dalam
posisi yang kian sulit.
Mencermati perkembangan yang terjadi
belakangan ini, tidak bisa dinafikan, Indonesia akan menjadi ajang perebutan
pengaruh bagi tiga kekuatan besar yang semakin menyulitkan. Tanpa kerja yang
sangat keras dari pemerintah, parlemen, dan semua komponen masyarakat untuk
secepatnya merumuskan langkah yang tepat, keindonesiaan sebagai wujud dari
mimpi persatuan atas keberagaman akan berada dalam titik yang kian kritis.
Tiga kekuatan yang diprediksi akan semakin
besar itu adalah kekuatan ideologi proteksionis sekuler setelah kemenangan
Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS), kekuatan
jejaring ideologi Islam transnasional, dan kekuatan ideologi pasar bebas yang
sangat mungkin dikomandani Tiongkok. Ketiganya itu jalin-menjalin dengan
kepentingan lokal yang memunculkan varian-varian baru serta membentuk
kepentingan yang tidak tunggal.
Setiap peristiwa dapat menjadi medium bagi
pembelahan biner yang sangat cepat, didorong kecepatan teknologi informasi
dan labilnya kelas menengah yang sedang mencari bentuk. Pemilihan Kepala Daerah
DKI Jakarta dengan kasus yang menyeret gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki
Tjahaja Purnama, merupakan salah satu medium yang menggambarkan dengan jelas
nuansa kegelisahan kelas menengah Indonesia. Kelas yang tadinya selalu
menjadi ujung tombak bagi perubahan politik tiba-tiba berada dalam posisi
gamang dan rentan terbelah.
Tidak mudah
Dalam benturan antarberbagai kekuatan, tidak
mudah bagi pemerintah untuk menempatkan posisi dirinya. Di satu sisi,
pemerintah seolah tampak bekerja sendirian "memadamkan kebakaran"
emosi yang meletup di sana-sini, tetapi di sisi lain ketegasan pemerintah
dipertanyakan karena sikap permisifnya tidak mampu membendung ancaman
terhadap keberagaman.
Sementara itu, elite politik di parlemen yang
terbelah juga tak mampu menjadi alat transformasi untuk merumuskan berbagai
kepentingan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat. Alih-alih bekerja
keras membentuk undang-undang yang mampu meneguhkan pilar keindonesiaan di
tengah benturan antarperadaban, kewibawaan parlemen dipertanyakan setelah
sejumlah anggotanya terbawa arus pada parlemen jalanan.
Mampukah Indonesia menghadapi perubahan?
Tampaknya perlu kerja ekstra keras dari semua pihak, terutama pemerintah dan
parlemen, untuk membentuk rumusan baru yang adil bagi semua golongan. Kelas
menengah harus membangun jembatan yang lebar bagi dua dunia yang kian
mengimpit. Tanpa itu, keretakan yang semula bersifat elitis akan merambah
menjadi perpecahan yang mengalir makin deras ke bawah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar