Mengungkit
Pertumbuhan di Tengah Kelesuan Global
Gianie ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 19 Desember
2016
Perekonomian Indonesia 2016 masih mengalami
pelambatan seperti beberapa tahun terakhir. Kondisi ekonomi global dan
kekuatan fiskal pemerintah turut menentukan sejauh mana pertumbuhan ekonomi
bisa dibawa pada tahun 2017. Kita masih sulit beranjak dari fase pertumbuhan
yang moderat.
Indonesia bersama negara-negara lain di dunia
tengah mengalami ketidakpastian yang kemudian dikenal dengan fenomena normal
baru (new normal). Kondisi sekarang bisa dianggap sebagai tak normal.
Resesi global berkepanjangan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya
perdagangan, meningkatnya pengangguran, dan sebagainya saat ini menjadi fakta
yang tidak bisa dihindari. Hal itu menjadi fakta baru dan harus dihadapi
bersama sebagai normal baru.
Di antara negara-negara berkembang,
perekonomian Indonesia terbukti masih dapat bertahan dari guncangan ekonomi
global. Diperkirakan, perekonomian Indonesia selama 2016 ini bisa tumbuh
hingga 5,1 persen. Ini angka pertumbuhan yang moderat dan realistis di tengah
perekonomian yang lesu.
Dampak lesunya perekonomian domestik bisa
dilihat dari meningkatnya angka pengangguran dan sulit tercapainya penerimaan
pajak. Tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2016 naik menjadi 5,61 persen
(7,03 juta jiwa) dibandingkan enam bulan sebelumnya (5,50 persen atau 7,02
juta jiwa). Adapun realisasi penerimaan pajak sampai akhir tahun diperkirakan
hanya mencapai 82 persen dari target penerimaan yang sudah direvisi menjadi
Rp 1.137 triliun.
Negara mengalami beban fiskal berat sejak
anggaran belanja dipatok selalu meningkat sementara pendapatan negara selalu
di bawah target. Kondisi ini membuat defisit fiskal melebar mendekati 3
persen PDB. Menyikapi persoalan ini, kebijakan memotong anggaran dan
menyesuaikan target penerimaan pajak yang dilakukan Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menjadi langkah penyelamatan, termasuk program pengampunan
pajak yang memberi tambahan bagi penerimaan negara.
Sektor manufaktur domestik yang diharapkan
menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi masih sulit diharapkan. Sementara di
tingkat global, Indonesia belum masuk dalam apa yang disebut rantai suplai
produksi.
Di dunia sekarang, produksi berada dalam satu
rantai pasokan. Kini tak ada produk yang dihasilkan hanya dari satu negara.
Setiap produk selalu ada kaitannya dengan negara atau pihak lain. Rantai
produksi ibarat gerbong kereta api dan Indonesia belum masuk dalam kereta ini
sehingga tidak bisa melaju.
Lanskap baru
Perekonomian Indonesia 2017 diprediksi tak
akan jauh berbeda dengan situasi global yang sarat risiko dan ketidakpastian
meningkat. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, meningkatnya kebijakan
proteksi di sejumlah negara, termasuk AS. Gejala proteksionalisme muncul
sangat jelas dalam kampanye presiden terpilih Donald Trump yang tegas
mengusung jargon America First. Menarik diri dari komitmen Kemitraan
Trans-Pasifik (TPP) menjadi langkah AS yang memperkuat proteksionisme dan
memperburuk inisiatif kesepakatan perdagangan.
Gejala proteksionisme juga muncul di sekitar
negosiasi Kemitraan Perdagangan dan Investasi Trans-Atlantik (TTIP), yang
direncanakan akan menjadi blok baru antara AS dan Uni Eropa. Rencana ini
menjadi salah satu pemicu keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Kedua, perekonomian Tiongkok juga melambat.
Tiongkok dengan kebijakan ekonomi ketat mengerem agresivitasnya dalam
pembangunan infrastruktur, mengurangi ketergantungan pada ekspor, dan
mendorong meningkatnya konsumsi dalam negeri. Kondisi ini mengurangi potensi
ekspor dari negara lain ke Tiongkok, termasuk ekspor produk dari Indonesia.
Dengan pertumbuhan yang kini hanya tinggal 6-7 persen, pertumbuhan dua digit
Tiongkok menjadi masa lalu.
Lanskap perekonomian dunia pun bergeser dari menggenjot
produksi ke meningkatkan konsumsi domestik. Dunia masih akan berproduksi,
masih ada permintaan. Namun, yang diminta adalah barang konsumsi. Dan,
konsumsi tertinggi masih seputar produk-produk teknologi informasi. Dalam
lima tahun terakhir, misalnya, penjualan telepon pintar di dunia meningkat
220 persen dari 107,7 juta unit (2011) menjadi 344,7 juta unit (2016).
Sayangnya, terkait dengan produk TI pun Indonesia belum masuk dalam rantai
produksinya.
Perekonomian kita ke depan akan ditumpu tiga
hal: pengeluaran pemerintah, investasi, dan konsumsi. Kegiatan ekspor dari
manufaktur stagnan, jadi sulit menyumbang untuk pertumbuhan. Pengeluaran
pemerintah masih akan bergantung pada kekuatan fiskal yang dimiliki untuk
menopang pembangunan infrastruktur. Keberlanjutan pengampunan pajak bisa
menolong penerimaan negara. Namun, yang lebih penting bagaimana aliran dana
yang masuk dari program tersebut bisa membantu perbankan atau industri jasa
keuangan membiayai infrastruktur.
Iklim investasi harus diciptakan kondusif agar
dana yang masih ada di luar negeri bisa masuk dan dimanfaatkan untuk kegiatan
yang memiliki daya pengganda. Salah satunya tentu terkait kebijakan suku
bunga rendah. Sementara konsumsi akan meningkat jika pemerintah menjaga daya
beli masyarakat melalui pengendalian inflasi dan mendukung peningkatan upah.
Jasa dan TI
Dengan lanskap perekonomian global yang
berubah, Indonesia harus mencari celah yang bisa dimanfaatkan untuk
mengungkit pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Salah satunya adalah menggenjot
ekspor jasa yang bisa menjadi keunggulan. Selama ini kita tidak tahu seberapa
besar potensi sektor jasa yang dimiliki karena lebih fokus pada sektor
manufaktur yang ternyata tidak banyak berkembang.
Potensi ekspor jasa tersebut ada pada jasa
pariwisata yang meliputi transportasi dan perjalanan, jasa telekomunikasi,
komputer, dan informasi, serta jasa bisnis lainnya. Banyak karya anak bangsa
yang sudah berkiprah dan diakui dunia internasional di bidang-bidang ini.
Ekspor ketiga bidang jasa ini meningkat hingga tiga kali lipat dalam periode
2005-2014.
Perdagangan tetap penting untuk pertumbuhan.
Hal itu karena pertumbuhan dalam perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Namun, trennya sekarang menurun. Jika dulu 2 persen pertumbuhan
perdagangan bisa menambah 1 persen pertumbuhan ekonomi, sekarang
perbandingannya 1:1. Penurunan yang lebih tajam terjadi pada perdagangan
barang dibandingkan dengan jasa-jasa.
Di zaman milenial ini, di mana semua hal
terhubung telepon pintar, tren perdagangan pun tak lepas dari inovasi
berbasis teknologi informasi. Oleh karena itu, perdagangan lewat internet
(e-dagang atau e-commerce) akan semakin marak, diikuti dengan
sistem pembiayaan yang juga berbasis TI (financial technology) dan
selanjutnya pada pemanfaatan big data.
Keseriusan menggarap potensi ekspor jasa dan
mengembangkan industri berbasis TI akan menjadi alternatif bertahan dari
gelombang krisis yang tidak pasti kapan berakhirnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar