Opsi
Pendekatan Isu Rohingya
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 14 Desember
2016
24 November 2016 beredar berita bahwa John
McKissick, wakil dari UNHCR, tentara Myanmar membunuh, menembaki orang-orang
Muslim Rohingya, memerkosa perempuan, membakar, dan merampas rumah mereka,
memaksa orang-orang tersebut untuk menyeberangi Sungai Naaf ke wilayah
Bangladesh.
Simpulan McKissick adalah Pemerintah
Myanmar menginginkan penghapusan etnis (ethnic
cleansing) Rohingya.
Apa yang dilakukan Indonesia untuk Rohingya
dan apa yang dibuat oleh ASEAN, termasuk oleh Komisi Antarpemerintah untuk
Hak Asasi Manusia ASEAN alias AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights)?
Demikian pertanyaan yang bertubi-tubi
muncul. Karena posisi saya saat ini sebagai wakil Indonesia untuk AICHR, ada
baiknya saya berbagi pandangan tentang Rohingya dan Myanmar, meskipun ini
perlu dicatat sebagai pendapat dan observasi pribadi.
Pendekatan yang diambil tidak bisa keras,
apalagi dalam konteks ASEAN, karena cara keras tidak sejalan dengan prinsip
konstruktif yang digaungkan Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia dan juga
dalam prinsip ASEAN yang mengedepankan komunikasi yang berkesinambungan demi
menjaga suasana kerja sama.
ASEAN bukan superstate seperti Uni-Eropa
yang memiliki mekanisme sanksi dan kewajiban terikat bagi anggotanya, dan
bukan pula seperti Liga Arab yang dapat mengisolasi Iran ketika terjadi
konflik di Yaman.
Di ASEAN dan AICHR cara-cara persuasif
dikedepankan agar tiap negara anggota yang dianggap 'kurang' dapat
mengembangkan kemampuan penanganan isu atau masalah yang lebih baik.
Di ASEAN, cara keras hanya bisa dipakai
dalam jalur bilateral antarnegara ASEAN seperti saat kasus asap yang
melibatkan Indonesia dengan Singapura atau kasus TKI yang melibatkan
Indonesia dan Malaysia. Ketika ada yang mau mengangkat ke forum ASEAN maka
yang terjadi adalah penolakan, bahkan Indonesia pun menolak.
Perdebatan yang dilakukan oleh ASEAN
dikotominya bukan keras atau lunak tetapi lebih dalam hubungan antara sejauh
mana kita bertindak proaktif atau pasif. Proaktif dan pasif sama-sama punya
kelebihan dan kekurangan.
Kedua pendekatan akan berjalan apabila
prinsip nonintervention pada kedaulatan masing-masing negara tetap dijunjung
tinggi. Apabila prinsip ini dilanggar, sudah pasti tidak akan ada jalan
keluar yang bisa diterima secara konstruktif. Untuk itu, baiklah saya berbagi
pengamatan terkini tentang situasi di sana.
Rakhine State, dulunya disebut Arakan,
adalah negara bagian di sisi barat Myanmar yang berbatasan langsung cukup
panjang dengan Teluk Bengal dan wilayah Bangladesh, Chittagong.
Di dekat sana ada Gunung Arakan yang
memisahkan wilayah Rakhine dari wilayah lain di Myanmar. Ada pula Sungai Naaf
yang membatasi Myanmar dan Bangladesh. Ibu kota negara bagian ini adalah
Sittwe dengan total penduduk sekitar 2,9 juta jiwa.
Statistik setempat mengatakan bahwa sekitar
42% penduduk di negara bagian ini beragama muslim walaupun tidak semuanya
tergolong Rohingya. Rohingya dikabarkan hanya sekitar 5%. Jadi ada
orang-orang muslim lain di Rakhine State, demikian pula tidak semua orang
Rohingya bermukim di Rakhine State.
Kata Rohingya punya arti orang asli Arakan,
tetapi punya konotasi negatif di Myanmar, sebagai orang-orang berkulit gelap
keturunan Indo-Aryan yang sudah bermukim di Rakhine State sejak abad 16 atau
yang bermigrasi ke Burma dari wilayah Bengal pada zaman koloni Inggris di
Myanmar.
Tidak hanya Myanmar yang menolak Rohingya.
Bangladesh pun menolak mereka, salah satunya karena jumlah mereka yang
terlalu banyak masuk ke Bangladesh, sementara mereka dikenal dengan
stereotipe berpendidikan rendah, namun mengambil pekerjaan kasar dari
orang-orang Bangladesh dan melakukan tindakan kriminal. Secara fisik, dan
warna kulit orang Rohingya mirip dengan keturunan Asia Selatan, tetapi mereka
punya bahasa sendiri.
Menurut informasi dari rekan lembaga sosial
yang sejak 2012 sudah 'turun' ke Rakhine State untuk memberi bantuan
kemanusiaan, kejadian 2016 patut menjadi perhatian bersama, karena kali ini
mereka mensinyalir sudah terjadi bentrokan senjata antara aparat Myanmar dan
kelompok-kelompok yang mengaku mewakili orang Rohingya.
Dulu benturan wilayah Rakhine lebih mirip
konflik komunal, sementara tahun ini kelihatan berbeda karena ada nuansa
penggunaan senjata. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan
kemanusiaan kali ini hanya bisa masuk sampai ke ibu kota Sittwe.
Informan ini juga menggambarkan bahwa di
Rakhine State sebenarnya ada cluster-cluster
permukiman muslim yang sukses berbisnis, mirip seperti pecinan di
Glodok Jakarta. Ada indikasi bahwa tidak semua muslim di Myanmar mengalami
diskriminasi.
Artinya kita patut bertanya, apa yang
sesungguhnya sedang terjadi di Myanmar? Mengapa Pemerintah Myanmar membatasi
komunikasi dengan pihak luar terkait Rakhine State dan Rohingya?
Indonesia, khususnya jalur Kementerian Luar
Negeri dan beberapa organisasi kemanusiaan, termasuk yang mendapatkan akses
langka untuk bisa menjawab dan mengomunikasikan jawaban atas pertanyaan
tersebut.
Hal ini karena otoritas Myanmar mau ditemui
oleh Pemerintah Indonesia terkait tudingan UNHCR. Selebihnya otoritas Myanmar
memilih bungkam. Tidak ada juga jalur masyarakat sipil Myanmar yang bersedia
diajak bicara tentang ini.
Kelompok politisi di Rakhine State bahkan
menolak bicara kepada Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB yang
mengetuai Advisory Commission on Rakhine State, yakni kerja sama Kementerian
Luar Negeri Myanmar dengan Kofi Annan Foundation untuk mengusulkan cara-cara
konkret memperbaiki kesejahteraan semua orang di Rakhine State.
Jika Indonesia memilih cara proaktif,
Indonesia akan secara gigih menggali informasi dari Myanmar tentang
dimensi-dimensi masalah kekerasan di Rakhine State, termasuk juga mengukur
besaran masalah untuk kemudian dapat diusulkan secara bilateral solusinya.
Dalam konteks proaktif, Indonesia dapat
ikut menjamin bahwa kekerasan tidak berlanjut. Cara proaktif bisa tetap
diplomatis, tidak konfrontatif dan tidak mempermalukan Myanmar.
Keuntungan cara proaktif setidaknya ada
empat. Pertama, Indonesia bisa menyampaikan kepada publik dan komunitas
internasional tentang prinsip-prinsip yang menggerakkan Indonesia untuk
terlibat. Dan langkah ini akan nyata lebih bernuansa dibandingkan sekadar
memberi bantuan kemanusiaan.
Kedua, Indonesia bisa meyakinkan Myanmar
bahwa informasi yang diberikan kepada Indonesia akan membantu mengurai segala
tudingan negatif yang makin membesar pada Pemerintah Myanmar.
Ketiga, apalagi ketika dalam
keterlibatannya mengangkat juga martabat ASEAN, akan mendapat respek yang
lebih luas di ASEAN dan dari negara-negara mitra ASEAN tentang relevansi
ASEAN dalam situasi ketegangan yang tinggi.
Keempat, Indonesia bisa menjembatani
perluasan keterlibatan masyarakat sipil di Myanmar dengan Indonesia dan
ASEAN. Karena pada prinsipnya api tidak bisa disimpan di tempat tertutup.
Jika api dikelola dengan baik oleh banyak pihak, efek merusaknya bisa lebih
dikendalikan.
Kekurangan dari cara proaktif adalah risiko
keterbatasan sumber daya jika ternyata masalah Rohingya ini lebih besar
daripada yang bisa direspons Indonesia. Selain itu, Myanmar masih dalam
posisi cenderung mengisolasi diri di bidang luar negeri dan mendekat kepada
China dalam hal pembangunan. Jika tidak direncanakan dengan baik, pendekatan
ini bisa disalahartikan sebagai menekan Myanmar.
Jika Indonesia memilih cara pasif,
Indonesia akan lebih banyak wait and see, bicara dengan otoritas Myanmar
tetapi cenderung fokus pada aspek yang ditawarkan Myanmar saja, dengan
harapan agar tiap langkah Indonesia tidak disalahartikan.
Keuntungan pendekatan pasif ini adalah
bahwa ini pendekatan aman baik dari segi persepsi, sumber daya, maupun
perencanaan. Kekurangannya adalah tidak mustahil korban masih akan terus
berjatuhan dan yang tidak sabar akan menggunakan isu ini sebagai amunisi
untuk menuding ketidakberdayaan negara dalam melindungi muslim di Myanmar.
Hari ini perang persepsi adalah keseharian
dalam politik, termasuk dalam politik luar negeri. Fakta menjadi tidak
relevan jika persepsi sudah berkembang lebih populer. Dalam hal kelompok
Rohingya, kita patut mencegah agar kekerasan tidak berlanjut dan agar
kemarahan orang-orang Rohingya yang terpinggirkan tidak dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok radikal untuk menciptakan basis-basis terorisme baru di
Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar