Inilah
"Mindset" Baru Yang Perlu Diubah
Pelaku
Usaha di Tahun "Disruption"
Rhenald Kasali ; Akademisi
dan Praktisi Bisnis;
Guru Besar bidang Ilmu manajemen
di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM, 13 Desember
2016
Setelah Amerika Serikat memilih Trump,
majalah The Economist mencatat:
“Bangsa ini telah memberikan suaranya untuk a game changing disruption.”
Old game is over. Seperti kisah tentang
akhir zaman, banyak keganjilan dan korban. Ganjil karena mereka memilih
Trump, dan ganjil karena perusahaan tanpa aset - tanpa keuntungan valuasinya
lebih besar dari perusahaan yang aset dan profitnya besar.
Disruption kreatif dan mematikan incumbent
yang takut menjalani perubahan.
Peradaban
Trump
Tahun depan, menurut majalah berpegaruh
itu, dunia akan memperingati banyak peristiwa penting: 50 tahun Asean, 100
tahun pengambilalihan Rusia oleh kaum Bolshevik, 500 tahun peringatan
reformasi Protestan (Martin Luther), dan tentu saja awal pemerintahan Trump.
Setelah Brexit, kecuali Kanada, Barat akan
semakin protektif. Trump, kita tahu akan keluar dari kesepakatan
Trans-Pacific yang membuat banyak negara pengekspor jungkir balik. Apalagi
Trump ingin investornya itu “pulang kampung."
Di lain pihak, banyak negara sudah
mempunyai platform yang lebih peaceful terhadap sharing economy sehingga
memiliki perizinan terpisah dari bisnis konvensional kendati sektor usahanya
sama dengan yang sudah ada. Polanya mengacu pada aturan mengenai bisnis
telefon, yang memisahkan perizinan kabel dengan nirkabel. Cara itu terbukti
ampuh menyelamatkan AT&T di Amerika, juga PT Telkom di Indonesia.
Akselerasi juga jadi penentu survival di
kalangan incumbent dan birokrasi. Jangan kaget bila buku baru Thomas Friedman
diberi judul: Thank You for Being Late.
Birokrasi yang masih rumit, pemimpin yang
selalu bicara mitigasi resiko (seakan lebih penting dari opportunity),
membiarkan industri highly regulated, serba pungutan (sekalipun resmi dan
masuk kas negara), hanya menghasilkan rigidity (kekakuan). Sayang bila
politisi kita ingin membongkar kembali UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
sedang menuju pada competence-based leadership.
Internal
battle
Pelajaran dari survivability incumbents
dalam industri jasa operastor telepon di masa lalu menunjukkan pentingnya
menerbitkan perijinan dan regulasi terpisah antara keduanya.
Telkom selamat dan menjadi perusahaan BUMN
penyumbang dividen yang besar bagi negara karena bisnis selulernya dikelola
perusahaan terpisah (PT Telkomsel). Sebaliknya, pertarungan terjadi dalam
industri jasa taksi--dan kelak pada industri perbankan, asuransi,
logistik dan pariwisata--karena para pelaku
disruption yang menggunakan platform sharing economy “dipaksa” berkegiatan
dengan regulasi yang lama yang dilakukan pelaku usaha konvensional.
Ketika perizinan dan regulasi diperlakukan
sama, yang akan menjadi korban justru incumbent, bukan pelaku usaha baru,
karena hukum alamiah menandaskan pertempuran internal yang mematikan.
Internal battle seperti itu pernah terjadi
di Kodak saat mereka menemukan teknologi kamera digital (1975). Inovasi itu
akhirnya diambil Sony dan para pembuat telepon genggam, karena di dalam
Kodak, terjadi battle tiada akhir.
Orang-orang lama selalu khawatir produk
baru atau business model baru selalu akan menganibal pekerjaan dan bisnis
mereka. Maka mereka kerap melempar gunjingan dan isu-isu negatif agar
perusahaan mengurungkan niatnya mengembangkan bisnis baru yang belum
menghasilkan keuntungan dalam janga pendek.
Sementara meski turun, bisnis lama masih
untung. Mereka memanipulasi mindset top leader bahwa usaha/produk lama itulah
yang harus diperkuat, di reinvestasi, di iklankan dan seterusnya. Mereka lalu
memerangkap RVP perusahaan (Resources, Process dan Values) ke dalam mindset
lama mereka.
Internal battle terbukti mematikan Kodak.
Itu sebabnya disruptive innovation tak datangdari dalam incumbent. Lemari es
tak diciptakan oleh para produsen es batu. Cellular phone tak dikembangkan
oleh perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi, demikian juga toko buku
online dan taksi online. Jawabnya karena internal battle dan mindset lama
yang mematikan.
Supply-Demand
Berubah
Teori Supply-Demand yang dulu kita pelajari
juga akan berubah. Teori lama ini bahkan telah menghambat penemu teori-teori
baru dalam membaca realita.
Christensen yang memperkenalkan teori
disruptive innovation misalnya, gagal melihat bahwa iPhone adalah karya
disruption. Pada tahun 2007 ia memprediksi iPhone akan gagal melawan Nokia
dan Blackbery karena baterainya lemah dan security-nya tak bisa mengimbangi
Blackberry.
Christensen baru mengakui iPhone beberapa
tahun kemudian setelah menyaksikan kekuatan Apps yang dikembangkan para
kolaborator indeprnden dan diakomodir Apple. Apps yang berada dalam iPhone
menjadi sumber penentu disruption yang justru amat kuat. Ia mengubah
pandangan kita tentang supply dalam theory of the firm yang kita kenal
sebagai single producer.
Tahun lalu Christensen kembali membuat
heboh ketika mengatakan Uber bukanlah disruptive innovation. Benar bahwa Uber
tidak mulai dari tarif yang murah. Teori ini memprediksi disruption akan
terjadi kalau pendatang baru menciptakan pasar baru melalui teknologi
(inovasi), atau menbidik segmen Low-end melalui produk yang simple,
accessible dan affordable.
Uber pada tahap awal tidak masuk dalam
frame itu. Seperti Iphone, pernah tarifnya lebih mahal dari incumbent. Uber
hanya mengumpulkan orang-orang yang mau cari uang tambahan dari mobilnya yang
sedang menganggur untuk menarik sewa.
Saat jumlahnya masih terbatas, Uber
datangnya lebih lama dari taksi biasa, sehingga hanya mendapatkan penumpang
konvensional yang sekedar ingin coba-coba.
Tetapi kini potensi menghancurkan bisnis
incumbent Uber begitu besar. Ini karena business model sharing economy yang
didukung teknologi aplikasi. Para kritisi mengatakan Christensen dibutakan
konsep lama mata rantai nilai supply-demand yang kini tak lagi tunggal
seperti yang kita lihat dalam owning economy.
Dulu, mindsetnya adalah beli, miliki,
kuasai, lengkapi sendiri, slow but sure, dan tanggung akibatnya kalau aset
menganggur. Mindsetnya birokratik, beli dan kuasai, mengerem dengan dalih
mitigasi resiko atau compliance.
Ini diingatkan oleh filosofer Charles Handy
dengan metafora begini. Cara berpikir (mindset) kita dibentuk oleh ruangan di
rumah. Ada ruang tamu milik kita bersama, saya dan orang lain melihat hal
yang sama. Yang kedua, ruang privat, hanya saya saja yang mengetahuinya dan
saya sangat memahaminya. Lalu ada ruang misterius yang, baik anda maupun saya
sama-sama tidak tahu.
Tapi yang berbahaya adalah ruang keempat
yang hanya diketahui orang lain, tapi kita tidak tahu dan tak menyadari itu
ada. Akibatnya kita hanya menyangkalnya saja.
Itulah bekal perubahan yang perlu anda
renungkan dan kelak akan anda temui dalam buku baru saya yang akan terbit tahun
2017: Disruption Theory dalam Peradaban Uber dan Gojek. Selamat Menjalankan
disruption. Your Mindset determines your destiny. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar