Darurat
Penelitian Gempa Bumi
Irwan Meilano ; Dosen
Kelompok Keahlian Geodesi;
Wakil Ketua Pusat Penelitian
Mitigasi Bencana ITB
|
KOMPAS, 15 Desember
2016
Sesudah terjadi bencana gempa bumi yang
mengakibatkan lebih dari seratus warga menjadi korban dan ribuan rumah roboh,
tak terlalu sulit bagi peneliti kegempaan untuk memahami sumber gempa bumi di
Pidie, Aceh. Sumber gempa bumi yang baru didefinisikan ini kemudian diberi
nama sebagai Sesar Pidie (Kompas, 8/12/2016) dan menjadi bahan masukan untuk
pembaruan peta gempa bumi Indonesia 2016.
Yang menjadi persoalan adalah mengapa
pengetahuan akan sumber gempa bumi ini baru didapatkan sesudah bencana
terjadi, mengapa tidak ada hasil penelitian yang menjelaskan sumber gempa
bumi ini sebelumnya. Tentu saja kejadian gempa bumi tidak dapat diprediksi,
tetapi pemahaman akan sumber gempa bumi yang baik dapat membantu kita
melakukan mitigasi untuk mengurangi risikonya.
Hal yang sama terjadi pada saat kejadian
gempa bumi Takengon 2013, gempa bumi Samudra Hindia 2012, gempa bumi Padang
2009, gempa bumi Yogyakarta 2006, bahkan gempa bumi Aceh 2004, tidak pernah
kita mengetahui potensi ancamannya sebelum bencana terjadi. Pengetahuan kita
selalu tertinggal dari kejadian bencananya.
Dalam kerangka International Sendai 2015
untuk pengurangan risiko bencana, memahami risiko merupakan prioritas
pertama. Bagian dari memahami risiko ini adalah mengetahui musuh yang akan
mengancam kita. Tidak mungkin kita bisa melakukan upaya mitigasi atau
pengurangan risiko bencana dengan terarah tanpa mengetahui dengan baik
ancaman kita.
Pemahaman kita akan ancaman bisa berubah
seiring dengan pengetahuan yang kita miliki dan penelitian yang kita lakukan.
Karena itu, penelitian harus menjadi fondasi dalam upaya pengurangan risiko
bencana yang terarah. Apabila mitigasi digambarkan sebagai sebuah investasi
untuk mengurangi kerugian di masa depan, baik kerugian ekonomi ataupun jiwa,
tanpa pengetahuan yang benar kita bisa saja sedang melakukan investasi di
tempat dan cara yang tidak tepat.
Penelitian
gempa bumi
Infrastruktur pengurangan risiko
kebencanaan kita memang telah berkembang dengan signifikan pasca gempa bumi
Aceh 2004. Hal ini ditandai dengan pengesahan UU No 24/2007 yang diikuti
dengan berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di sejumlah daerah. Namun, perkembangan
penelitian kebencanaan tidak secepat perkembangan struktural ini.
Untuk menghasilkan produk penelitian yang
baik, selain diperlukan dana yang besar juga diperlukan kesabaran dan
konsistensi karena sering kali hasil penelitian baru bisa didapatkan
bertahun-tahun kemudian. Sebagai contoh, tidak kurang dari empat tahun bagi
penulis dalam melakukan penelitian di Sesar Lembang, untuk bisa menyimpulkan
status dan tingkat aktivitasnya sehingga bisa menjadi hasil penelitian yang
dapat dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Begitu pula sumber gempa bumi lainnya di
Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan, tetapi hanya puluhan yang telah
terkuantifikasi dengan baik. Dengan demikian, jika tidak ada upaya yang
serius dan sistematis untuk memahami sumber gempa ini, maka merupakan suatu
keniscayaan apabila gempa bumi kembali menjadi bencana di masa depan.
Persoalan lain dalam penelitian gempa bumi
karena sifat alami dari penelitiannya yang lintas keilmuan dan lintas
instansi. Untuk menghasilkan peta potensi gempa (seismic hazard map),
diperlukan penelitian geologi, seismologi, geodesi, geoteknik, dan struktur.
Dalam dunia penelitian perguruan tinggi yang hanya menekankan linieritas, hal
ini akan tidak mudah untuk dilakukan. Kemudian penelitian ini juga memerlukan
ketersediaan data pengamatan kegempaan, topografi detail, pergeseran,
struktur lapisan tanah, dan lain-lain. Data ini dikelola oleh instansi yang
berbeda di Indonesia.
Menyadari sifat alami dari penelitian
kegempaan ini, Pemerintah Jepang membentuk suatu komite nasional untuk gempa
bumi, yang terdiri dari peneliti beberapa instansi dan perguruan tinggi.
Begitu pula di Amerika, mereka membentuk suatu konsorsium penelitian gempa
yang mereka namakan Headquarters for Earthquake Research Promotion (HERP).
Dengan potensi gempa yang sangat tinggi dan
sebagian besar belum didefinisikan dengan baik, Indonesia memerlukan adanya
pusat penelitian gempa bumi dengan skala nasional. Pembentukan ini telah coba
diinisiasi oleh para peneliti dari beberapa instansi (PUPR, BNPB, BMKG, Badan
Geologi, BIG, LIPI, ITB, dan UGM) dalam satu tahun terakhir ini dengan
bergabung membentuk Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen).
Capaian dalam satu tahun terakhir dari
Pusgen yaitu terkarakterisasinya beberapa sumber gempa bumi di Indonesia dan
menjadi masukan penting dalam proses pembaruan peta gempa Indonesia 2016.
Namun, proses ini akan menjadi sia-sia apabila tidak ada upaya nasional untuk
mengembangkan Pusgen karena keanggotaannya bersifat sukarela. Sangat penting
adanya komitmen nasional yang memungkinkan dilakukannya penelitian jangka
panjang dan akses akan data beberapa instansi.
Apabila kita mengacu pada data Scopus akan
jumlah publikasi hasil penelitian gempa bumi yang dihasilkan peneliti dari
Indonesia pada kurun 2010-2016 hanya berjumlah 530 publikasi dan kita
bandingkan penelitian yang sama oleh peneliti dari Jepang yaitu 8.641, kita
sedikit lebih baik dari Singapura (negara tanpa sumber gempa) yang berjumlah
313.
Merupakan suatu ironi negara dengan jumlah
sumber gempa bumi yang salah satu terbesar di dunia memiliki penelitian yang
sangat sedikit.
Dalam kondisi darurat penelitian gempa bumi
ini, Pusgen harus didukung sehingga memiliki kapasitas penelitian sebaik
Komite Nasional Gempa Jepang atau NEHRP di Amerika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar