Ketimpangan
dalam Pembangunan Inklusif
Luhur Fajar Martha ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 19 Desember
2016
Derap laju perekonomian dunia dalam lima
tahun terakhir kian lambat. Kalau masih mengandalkan ”low hanging fruit”
berupa efek menular dari lajunya perekonomian negara-negara lain, masa depan
Indonesia bakal rentan. Misi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif bisa terancam.
Beberapa tahun silam, Tiongkok dan Jepang
bisa dikatakan menjadi target yang mudah bagi Indonesia dalam meningkatkan
ekspor. Salah satu titik puncaknya terjadi pada 2011, saat nilai ekspor
Indonesia ke Tiongkok dan Jepang mencapai 55,8 miliar dollar AS. Pada tahun
itu, ekspor ke kedua negara menyumbang sekitar 6,3 persen nilai PDB
Indonesia.
Kini, perekonomian Tiongkok dan Jepang
tengah melambat. Tahun ini pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan oleh
Bank Dunia ”hanya” 6,7 persen. Ini merupakan titik terendah dalam 25 tahun
terakhir. Sementara pertumbuhan ekonomi Jepang masih tertahan di kisaran 0,5
persen. Dalam beberapa tahun mendatang, pertumbuhan ekonomi mereka
diproyeksikan belum dapat kembali ke tingkat normalnya masing-masing.
Pemerintah sebenarnya telah mulai menata
fondasi perekonomian yang lebih kokoh. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari
Rp 570 triliun belanja negara dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Tahun depan telah disiapkan Rp 387 triliun untuk keperluan ini. Harapannya,
infrastruktur dapat menciptakan stimulus kegiatan ekonomi di seluruh wilayah.
Dalam kondisi pareto optimal, alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) perlu dilakukan dengan sangat
hati-hati. Penambahan alokasi untuk pembangunan infrastruktur tidak bisa
dilakukan tanpa mengurangi alokasi untuk pembangunan di sektor lainnya.
Artinya, ada risiko penurunan pencapaian pembangunan di sektor lain.
Pertanyaan besarnya ialah apakah kebijakan
ini mampu mendorong laju perekonomian Indonesia di masa mendatang?
Tantangan
global
Dalam beberapa tahun terakhir, isu
ketimpangan telah diangkat oleh sejumlah pemimpin dan tokoh dunia. Di
antaranya ialah Presiden AS Barack Obama dan Paus Fransiskus, yang menyebut
ketimpangan distribusi ekonomi atau kesejahteraan telah menjadi tantangan
global di masa kini.
Hasil studi Pew Research Center (PRC),
sebuah lembaga penelitian di AS, pada 2014, menguatkan hal tersebut. Lebih
dari 60 persen responden dari beberapa negara yang dilibatkan dalam survei
PRC ini menyatakan bahwa ketimpangan antara ”si kaya” dan ”si miskin”
merupakan tantangan utama saat ini.
Hingga kini, tingkat ketimpangan tertinggi
umumnya terdapat di negara-negara berpenduduk banyak. Beberapa di antaranya
ialah Tiongkok, Rusia, dan Brasil. Bank Dunia mencatat indeks gini ketiga
negara tersebut masih di atas 40 dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan,
indeks gini Brasil tercatat di atas 50 sehingga masuk kelompok negara yang
paling timpang. Sementara indeks gini Indonesia tercatat sebesar 40 (BPS,
2016).
Dahulu, ketimpangan dan kemiskinan sering
dianggap sebagai hasil dari pembangunan ekonomi yang tidak berpihak pada
kepentingan masyarakat termiskin. Kini, makin banyak yang meyakini bahwa
penanganan ketimpangan dan kemiskinan justru dapat menjadi titik tolak yang
menentukan keberhasilan pembangunan.
Salah satu yang terbaru ialah hasil studi
tim peneliti Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2015. Dabla-Norris
menunjukkan adanya hubungan antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. Dari
hasil pengamatan mereka terhadap 159 negara dalam kurun waktu 1980-2012,
telah teruji bahwa jika pendapatan 20 persen orang terkaya meningkat 1 persen
(poin), pertumbuhan ekonomi justru akan turun 0,08 persen (poin) pada lima
tahun berikutnya. Sebaliknya, apabila pendapatan 20 persen orang termiskin
meningkat 1 persen (poin), pertumbuhan ekonomi akan meningkat 0,38 persen
(poin).
Di kelompok orang terkaya, peningkatan
pendapatan tersebut tidak ”menetes” karena hanya sedikit yang dibelanjakan.
Hal yang berbeda terjadi di kelompok orang termiskin. Peningkatan pendapatan
mendorong naik konsumsi mereka, yang kemudian mendorong produksi barang dan
jasa lebih banyak.
Ketimpangan
jadi instrumen
Lalu, bagaimanakah posisi ketimpangan dan
kemiskinan dalam pembangunan ekonomi? Pada tingkat atau derajat tertentu,
ketimpangan (dan kemiskinan) dapat menjadi insentif untuk berjuang atau
berkompetisi. Artinya, keluar dari kelompok masyarakat termiskin merupakan
insentif bagi mereka untuk bekerja atau melakukan kegiatan produktif.
Erdward Lazear dan Sherwin Rosen, dua
ekonom asal Amerika Serikat (AS), telah lama berpendapat bahwa ketimpangan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena adanya insentif bagi inovasi dan
kewirausahaan. Namun, Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, memberi
catatan penting bahwa ketimpangan tidak akan menjadi insentif apabila termanifestasikan
menjadi rente ekonomi.
Alih-alih mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi tinggi, yang kemudian terjadi ialah penyalahgunaan sumber daya,
korupsi dan nepotisme. Dalam kasus ini, ketimpangan akan meningkat serta
menghasilkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi bagi masyarakat.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah ingin menjaga postur perekonomian yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Artinya, pembangunan harus
inklusif, yang dapat dicapai dengan mengatasi akar persoalan dari ketimpangan
terlebih dahulu.
Kuncinya ialah kesamaan kesempatan.
Pembangunan infrastruktur perlu disertai dengan pembangunan kapabilitas
manusia agar masyarakat di kelompok terbawah memiliki kesempatan yang sama.
Selama ini, kemiskinan multidimensi telah menghambat masyarakat miskin untuk
dapat mengakses dan memanfaatkan infrastruktur yang terbangun.
Kebijakan yang menempatkan pembangunan
infrastruktur sebagai prioritas utama memang merupakan terobosan yang berani.
Kebijakan ini dapat membuahkan hasil yang baik apabila mampu menumbuhkan
geliat kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah yang selama ini masih terkunci,
atau sering disebut dengan landlocked.
Sebaliknya, infrastruktur ini tak akan
menghasilkan pembangunan yang inklusif jika hanya dapat diakses oleh
korporasi atau pelaku usaha besar. Implikasinya, ketimpangan justru
berpotensi meningkat. Hasilnya sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah
menangani persoalan kapabilitas manusia, terutama pada kelompok masyarakat
termiskin. Inilah titik krusial yang menentukan keberhasilan misi menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar