Meneladani
Akhlak Rasulullah
Fathorrahman Ghufron ; Dosen
sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PW NU Jogjakarta
|
JAWA POS, 12 Desember
2016
SETIAP memasuki bulan
Rabiulawal, pikiran dan perasaan umat Islam langsung tertuju pada momen
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada semacam gestalt yang bergerak secara otomatis
dalam diri setiap orang Islam sekaligus memotivasi untuk mengenang salah satu
peristiwa penting yang terkait dengan figur yang jadi panutan dalam hidupnya.
Juga, salah satu di antara yang lazim dilakukan oleh sebagian umat Islam
adalah menggelar acara mauludan secara masif.
Dalam ritus mauludan, beragam pujian
didendangkan dalam nada salawat penuh kekhusyukan. Kemuliaan Nabi Muhammad
dimanifestasikan dalam perasaan sublimatis untuk mengingat dan mengiangkan
lagi semangat profetik yang diemban nabi dalam menyebarkan kebenaran. Peran
Nabi Muhammad dalam menyampaikan pesan ilahiah yang disandarkan pada bahasa
kemanusiaan yang membumi dan sesuai dengan karakteristik serta kemampuan
pengikutnya disitir dalam lirik syair penuh keagungan.
Kemuliaan Nabi Muhammad yang
dipersonifikasi dalam irama pujian seolah dihadirkan dalam rajutan kehidupan
masyarakat yang merindukan perdamaian di tengah kecenderungan sebagian
kelompok beragama menggunakan cara-cara takfiriah untuk menyeragamkan
keyakinan. Melalui mauludan, sebagian umat Islam ingin membumikan kemuliaan
Nabi Muhammad yang telah memperlakukan setiap orang sebagai sosok yang selalu
berproses untuk menemukan kebenaran.
Bahkan, salah satu hadis yang menyitir, ”Innama buitstu liutammima makarimal
akhlak,” yang berarti, ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak,” menjadi rujukan utama bagi siapa pun yang
akan memberikan wejangan dan nasihat di setiap acara mauludan. Dengan
berbagai corak improvisasi, hadis itu selalu populer dan meresonansi benak
tiap-tiap orang.
Namun, yang perlu kita refleksikan lebih
lanjut dari hadis tersebut, bagaimana kita memanifestasikan akhlak Rasulullah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang heterogen.
Reaktualisasi
Akhlak
Melalui buku terbaru berjudul Yang Hilang
dari Kita: Akhlak, Quraish Shihab mengingatkan kita semua bahwa moral atau
akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah mulai tergerus dalam kehidupan kita.
Akhlak di sini bukan hanya perkara menjalankan ibadah yang menjadi kewajiban
kaum beragama. Dalam kehidupan bermasyarakat yang dilingkupi aneka ragam
latar belakang dan perbedaan, sering kali akhlak hanya dilokalisasi pada
bagaimana membela sekelompok orang yang satu jenis. Bahkan, pada titik yang
lebih ironis, ada perekayasaan sosial tentang akhlak yang patut dilestarikan
hanya kepada orang maupun kelompok yang seagama sembari melakukan pembiaran
terhadap kelompok beragama lainnya.
Padahal, negara ini telah dilandasi
prinsip-prinsip kebinekaan, di mana semua golongan berhak mengekspresikan
sistem kepercayaan (system of belief) di ruang publik. Peristiwa pelarangan
umat kristiani yang akan melakukan acara kebaktian kebangunan rohani di gedung
Sabuga (Sasana Budaya Ganesa), Bandung, oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) menjadi sebuah ironi yang
sesungguhnya tidak patut terjadi. Sebab, konstitusi negara kita sudah
menjamin dan melindungi siapa pun yang akan melaksanakan peribadatan.
Mereka lupa, dalam sejarahnya, Rasulullah
pernah mempersilakan seorang Kristen Najran untuk menunaikan ibadah kebaktian
di dalam masjid. Selain itu, ketika kedatangan delegasi Kristen dari Habsyi,
Nabi Muhammad melayani mereka di masjid sebagai tamu yang harus dihormati.
Lalu, hanya karena gedung Sabuga adalah
ruang publik yang peruntukannya dianggap bukan sebagai tempat peribadatan,
dengan semena-mena kelompok PAS melarang jemaat kristiani melakukan
peribadatan. Tentu tindakan mereka bertolak belakang dengan kisah Nabi
Muhammad itu, yang mencerminkan sebuah keteladanan akhlak yang sangat luhur.
Juga, kita tentu bertanya-tanya, mengapa
perlakuan Nabi Muhammad yang sangat humanistis kepada Kristen Najran dan
Kristen Habsyi tidak digunakan sebagai landasan sikap toleransi serta
berupaya terlibat secara empati (empathic engagement) kepada setiap kelompok
yang berbeda agama sekalipun agar sama-sama bisa mengekspresikan dan
menjalankan ketaatan kepada Tuhan yang diyakini?
Dalam kaitan ini, kita harus mempelajari
lagi bagaimana Rasulullah mengekspresikan dan memanifestasikan keluhuran
akhlak ketika memperlakukan kelompok lain. Dengan nalar humanisnya,
Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas.
Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas
dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang
justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.
Berdasar pengalaman-pengalaman Rasulullah
yang dilingkupi keluhuran akhlak, seharusnya hal tersebut menjadi bahan
refleksi agar perilaku kita betul-betul bisa meneladani akhlak Rasulullah.
Hal itu penting untuk dilakukan agar kita tidak terjebak dengan sikap
superlativisme yang menganggap bahwa hanya kitalah yang paling benar. Selain
itu, agar kita tidak tersekap dalam kenaifan sikap yang justru bisa
merendahkan keberadaan kita sebagai umat beragama yang membawa kedamaian.
Meresapi, mengamalkan, dan mereaktualisasi
cara Nabi Muhammad menunjukkan akhlak yang luhur kepada semua pihak
sesungguhnya dapat menjadi sistem penangkal diri kita dari berbagai intrik
serta muslihat yang selalu berupaya memanfaatkan kelemahan umat Islam sebagai
amunisi kepentingan maupun kekuasaan diri sekelompok orang.
Semoga momentum mauludan ini menjadi sumber
inspirasi bagi kita untuk mengedepankan akhlak dalam beragama daripada
mengedepankan emosi dan egoisme keakuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar