Bertarung
dalam Ujian Nasional
Ardhie Raditya ; Dosen
pendidikan kritis di Sosiologi Unesa;
Sedang menempuh doktoral di KBM
UGM
|
JAWA POS, 10 Desember
2016
Akhirnya, mereka yang pro terhadap moratorium ujian
nasional (unas) terpaksa gigit jari. Pihak istana melalui rapat tertutup
memutuskan bahwa unas masih dibutuhkan. Menteri pendidikan dan kebudayaan
sebagai pengusul penghapusan unas diminta mengkaji ulang. Bukan mengkaji
ulang usul moratorium unas, melainkan bagaimana cara meningkatkan mutu
pelaksanaan unas di lapangan (Jawa Pos, 8/12).
Penolakan moratorium unas itu berarti menganulir putusan
hukum. Sebab, putusan Mahkamah Agung tahun 2009 yang memperkuat putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta 2007 secara jelas memutuskan penghentian unas. Alasannya
sederhana. Selama sumber penunjang mutu pendidikan di negeri ini belum
terpenuhi secara layak, pelaksanaan unas dapat dianggap menyalahi
Undang-Undang (UU) Pendidikan.
Berdasar UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah (PP) 19/2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional, sistem ujian pendidikan diserahkan kepada pendidik di
tingkat satuan pendidikan. Artinya, sistem ujian pendidikan memang tak
terpusat, tapi terdesentralisasi. Sebab, pihak yang paling paham progres
pendidikan peserta didiknya adalah guru bersangkutan.
Bukan hanya itu, berbagai sarana penunjang pendidikan di
setiap daerah berbeda-beda. Di luar Jawa, misalnya, infrastruktur pendidikan
sepertinya jauh dari memadai. Sebagian besar peserta didik dan pendidiknya
terpaksa melewati area perbukitan, hutan, dan sungai menuju sekolahnya (Jawa
Pos, 30/11). Apalagi, menurut Peraturan Presiden (Perpres) 131/2015, terdapat
setidaknya 122 daerah tertinggal di Indonesia.
Meskipun spirit pendidikan mereka tak pernah pudar,
keterbatasan sarana pendidikan di daerah tertinggal memantik rasa kemanusiaan
dan keadilan manusia normal. Bayangkan saja. Ketika teknologi pembelajaran
menjadi kelaziman di sekolah perkotaan, justru di sekolah pedesaan hal itu masih
menjadi barang langka dalam praktik pendidikannya.
Pendidikan Model Positivistik
Dari aspek manajemen pendidikan, unas bermanfaat bagi
upaya pemetaan kognitif peserta didiknya. Berdasar hasil unas itulah kemudian
para pendidik di sekolah bisa memahami peserta didiknya dalam menyerap bahan
ajar dalam satuan waktu pendidikan. Namun, cara evaluasi model positivistik
itu menyiratkan makna bahwa para guru dan siswa sekadar objek politik
pendidikan. Kualitas pendidikan dan potensi kemanusiaan mereka terkesan
direduksi ke dalam formulasi angka-angka yang terumus dalam kalkulasi
kuantitatif yang ditetapkan pusat kekuasaan.
Berdasar sosiologi pendidikan, unas bermakna ujian naif
pendidikan. Unas pun sering kali dipelesetkan sebagai ujian nasib (”unas”)
pendidikan. Sebab, kualitas pendidikan hanyalah dilihat dari lembaran hasil
jawaban peserta ujian. Karena itu, muncul anggapan pihak sekolah: semakin
banyak peserta unas yang tak lulus ujian, semakin rendah kualitas pendidikan
lembaga bersangkutan.
Berikutnya, semakin banyak jumlah siswa di kabupaten/kota
yang tak lulus unas, reputasi elite pemerintah daerahnya semakin tercoreng.
Sebab, mereka dianggap tak becus mengurus pendidikan di daerahnya. Unas
lantas layaknya bola panas yang bergerak liar. Karena itulah, setiap
pelaksanaan unas tak pernah sepi dari berita kebocoran, baik dalam bentuk
soal maupun jawaban. Demi keberhasilan lulus unas 100 persen, berbagai pihak
di daerah pun mencoba bermain mata dengan para pengawas unas.
Menangkal Bunuh Diri Pendidikan
Di sisi lain, pihak orang tua tak ingin anak-anaknya
menanggung risiko karena tak lulus unas. Apalagi, setiap tahun catatan kasus
bunuh diri siswa gagal unas terus berlanjut. Sebatas ingatan penulis, kurang
lebih selama periode 2013–2014, sudah belasan siswa yang nekat bunuh diri.
Bunuh diri dalam dunia pendidikan memang tergolong baru di
Indonesia. Jika dibandingkan dengan di negara lainnya, angka bunuh diri para
pelajar di Indonesia tergolong rendah sekali. Di Tiongkok, misalnya, sekitar
200.000 orang bunuh diri setiap tahun. Dari angka bunuh diri itu, sebagian
besar yang melakukannya adalah pelajar. Pelajar di sana rentan bunuh diri
karena sistem pendidikannya terkenal keras dan otoriter. Bahkan, siswa yang
gagal lulus ujian akan dimaki-maki di depan banyak orang. Itulah sebabnya,
tugas kita bersama menangkal terjadinya bunuh diri di kalangan para pelajar
bangsa ini.
Memang, unas ibarat pedang bermata ganda dalam pendidikan
kita. Bergantung di tangan siapa dan untuk kepentingan apakah senjata itu
dipergunakan. Tetapi, yang perlu dipahami bersama, pendidikan bukan ajang
unjuk kekuasaan. Orientasi pendidikan nasional adalah membentuk manusia
paripurna. Tentu tak mudah mewujudkannya.
Namun, apabila semua pihak, terutama para pemangku
kebijakan, dapat memahami makna pendidikan secara lebih komprehensif, unas
tak perlu diperdebatkan. Sebab, agenda prioritas pedagogi kita bersama ke
depan adalah bagaimana caranya memeratakan dan meningkatkan mutu pendidikan
ke berbagai pelosok negeri ini. Mungkinkah terwujud? Tanyakan kepada hatimu,
Kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar