Menanti
Musim Semi di Taman Nasionalisme
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor
Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
17 Desember 2016
HERBERT Feith dalam buku klasiknya The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia (Ithaca: Cornell
University Press, 1962) menyatakan, "Kampanye pemilihan umum yang
panjang pada Pemilu 1955 membawa rakyat Indonesia terpecah antaretnik dan
agama." Kini, 61 tahun kemudian, kampanye pilkada yang panjang selama
tiga bulan juga menyebabkan sebagian rakyat Indonesia terpecah antaretnik dan
agama, terlebih lagi di pilkada Jakarta.
Feith juga menyatakan mengapa demokrasi
konstitusional/demokrasi liberal di Indonesia saat itu kurang berjalan dengan
baik? Jawabnya ialah: pertama, kurangnya budaya demokrasi (lack of democratic culture); kedua,
kurangnya tingkat pendidikan rakyat (lack
of education), dan; ketiga, kurangnya basis ekonomi untuk demokrasi (Lack of economic base for democracy).
Apa yang terjadi 61 tahun lalu ternyata
masih terjadi pada saat ini. Kurangnya budaya demokrasi, khususnya di
kalangan elite politik, menyebabkan demokrasi kita pada tingkat nasional dan
daerah kadang masih terseok-seok. Masih ada elite politik, bahkan yang
seharusnya sudah menyandang predikat 'negarawan' sekali pun, justru ikut atau
bahkan menjadi provokator yang memecah masyarakat menjadi 'kita' dan 'mereka'
dari sisi agama. Kurangnya pendidikan rakyat, yang rata-rata orang Indonesia
bersekolah 7,8 tahun, menyebabkan rakyat dengan mudah diombang-ambing dalam
isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kurangnya dan tidak meratanya
pendapatan per kapita orang Indonesia menyebabkan orang mudah digerakkan atau
dimobilisasi melalui isu SARA tersebut.
Kita beruntung masih ada elite-elite
politik dan agama yang masih berpikiran jernih dan memberikan
pendapat-pendapat yang mendinginkan. Upaya Presiden Joko Widodo untuk turun
langsung untuk berdialog dengan tokoh-tokoh agama dan ikut berpartisipasi
pada salat Jumat 2 Desember 2016 (212) juga membawa keteduhan politik. Namun,
kita juga dikejutkan adanya penangkapan sekelompok orang yang diduga aparat
keamanan negara ingin melakukan tindakan makar, atau menggulingkan/mengganti
pimpinan nasional dengan cara tidak demokratis.
Tokoh-tokoh seniman, mantan jenderal TNI,
dan politisi sipil ini memang belum akan menggulingkan kekuasaan Presiden
Joko Widodo. Namun, rencana kegiatan mereka untuk menggiring massa pada 212
itu untuk bergerak dari Lapangan Monumen Nasional (Monas) ke Gedung DPR/MPR
di Senayan pada dasarnya ingin menggiring massa agar tumpah ruah ke dan
menduduki gedung DPR/MPR seperti yang terjadi pada 18 Mei 1998, tiga hari
sebelum Presiden Soeharto lengser.
Satu sisi yang juga memprihatinkan ialah
adanya tokoh-tokoh yang menyatakan mereka ingin agar Arab Spring yang terjadi
di Jazirah Arab pada 2010-2012 akan berimbas ke Indonesia. Mereka yang
membuat pernyataan seperti ini mungkin tidak menyadari betapa sengsaranya
rakyat bila Indonesia mengalami situasi seperti yang terjadi di negara-negara
Arab yang hingga kini masih diterjang konflik yang tidak berkesudahan atas
nama perbedaan agama, mazhab, atau kepentingan politik. Hingga kini, dari
semua negara Arab yang mengalami Arab Spring, dari Tunisia, Mesir, Libia,
Irak, dan Yaman, hanya Tunisia yang masih bertahan dengan sistem demokrasi
dan satu-satunya negara Arab yang menerapkan demokrasi di dalam sistem
politik.
Kita bersyukur di akhir tahun ini ada
kebanggaan nasional yang masih menyatukan bangsa kita, yakni lolosnya tim
sepak bola Indonesia ke final piala AFF. Menyatunya tim sepak bola nasional
PSSI yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama, mengingatkan bangsa kita
kembali bahwa Indonesia ialah satu dan kita semua memiliki negeri yang
mungkin diciptakan Sang Pencipta ketika Ia sedang tersenyum. Kita juga bangga
masih ada putra-putri yang menyebabkan Merah Putih berkibar di arena
internasional bulu tangkis, dari tingkat Olimpiade sampai ke tingkat super
series bulu tangkis Tiongkok Terbuka.
Namun, kita juga dikejutkan adanya
anak-anak bangsa yang masih berpikir dan bertindak sebagai teroris.
Ditangkapnya sekelompok jaringan teroris di Bintara, Bekasi, dan Ngawi
menunjukkan Indonesia belum terbebas dari aktivitas terorisme. Masih ada
sekelompok orang yang masih menyebar ketakutan melalui aktivitas terorisme,
sesuatu yang amat kita sayangkan. Ini yang kadang-kadang membuat hati kita
miris. Namun, kita juga harus mengakui masih besar jurang perbedaan antara
yang kaya dan yang miskin di tengah masih tingginya kesenjangan ekonomi dan
juga tingginya tingkat pengangguran di kalangan anak-anak usia muda. Jangan
heran jika masih mudahnya sekelompok anak muda ini direkrut untuk menjadi
teroris.
Tak
selamanya kelam
Apa yang terjadi pada 2016 tidaklah
semuanya kelam dan menyedihkan. Kita dapat melihat dengan mata kepala kita
sendiri betapa pemerintahan Jokowi-JK telah bekerja keras membangun
infrastruktur tol, jalan raya nontol, pelabuhan udara, pelabuhan laut, jalur
kereta api di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, serta proyek
kelistrikan yang begitu banyak hanya dalam waktu dua tahun. Bayangkan jika
itu terjadi selama lima tahun atau bahkan 10 tahun, kita akan melihat
Indonesia yang berubah ke arah perbaikan yang lebih baik. Kita juga bersyukur
hingga saat ini belum ada anggota kabinet yang diduga tersangkut korupsi,
walau Jokowi-JK pada kampanye Pemilu Presiden 2014 tidak sesumbar dengan
jargon politik 'katakan tidak pada korupsi!'
Tahun 2016 juga menjadi bukti Presiden
Jokowi telah mampu melakukan konsolidasi politik di tingkat nasional dan juga
melakukan konsolidasi di kabinetnya. Bersedianya Sri Mulyani Indrawati untuk
mundur dari jabatan prestisiusnya di Bank Dunia dan bersedia kembali
menduduki jabatan yang dulu diembannya sebagai menteri keuangan telah membawa
keberhasilan besar pada proyek amnesti pajak dan juga penggunaan anggaran
negara secara baik.
Ketegasan Presiden Jokowi yang menyatakan
ia panglima tertinggi TNI, Polri, dan juga politik di Indonesia juga telah
meningkatkan kepercayaan rakyat kepada gaya kepemimpinannya. Presiden Jokowi
kadang dipandang pengamat politik asing sebagai presiden yang memfokuskan
perhatiannya pada pembangunan, seperti awal pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, ada perbedaan yang amat besar di antara keduanya. Pemerintahan
Presiden Soeharto dikenal, dalam istilah Herbert Feith, disebut sebagai Rezim
Developmentalis Represif. Di mata saya, pemerintahan Presiden Jokowi ialah
rezim Developmentalis yang populis, pluralis dan demokratis.
Jika pada 2015 ada omongan politik bahwa
ada 'perpecahan' antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, khususnya
soal perpecahan di Partai Golkar, pada 2016 ini di mata saya ada kesamaan
pandangan antara presiden dan wakil presiden mengenai bagaimana menjaga
stabilitas politik dan keamanan di negeri ini.
Satu sisi politik yang harus diacungi
jempol, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Polisi
Tito Karnavian menunjukkan kerja sama dan visi yang sama dalam mengatasi
berbagai persoalan politik dan keamanan di Jakarta khususnya dan Indonesia
pada umumnya.
Menyatunya TNI-Polri dalam Operasi
Tinombala di Poso dalam menyelesaikan gerakan radikal/terorisme di Sulawesi
Tengah itu, dan saling kerja sama yang apik antara intelijen dan pasukan
TNI-Polri di berbagai peristiwa politik, menunjukkan dua aparat pertahanan
dan keamanan itu amat solid dan tidak ingin negeri ini tercabik-cabik akibat
perbedaan politik, agama atau etnik. Lagi-lagi di sini menunjukkan betapa
otoritas Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla masih amat kuat.
Saya juga harus memberikan acungan jempol
kepada Prabowo Subianto yang amat elegan mengubah persaingan politik dengan
Jokowi pada Pilpres 2014 menjadi persahabatan dan kerja sama yang baik demi
masa depan Indonesia setelah pilpres, khususnya pada 2015-2016 ini.
Prabowo-Jokowi telah membangun suatu budaya politik yang amat baik, yakni
lebih mendahulukan masa depan bangsa dan negara ini serta menilai persaingan
politik sebagai sesuatu yang wajar tanpa dendam kesumat. Ini amat berbeda
dalam hubungan Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan
Presiden Ketujuh Joko Widodo yang tidak pernah berada di dalam satu kabinet,
tidak pernah bersaing dalam pilpres, tapi seakan berada dalam persaingan
politik yang tidak berkesudahan. Mungkin SBY iri mengapa Presiden Jokowi dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla dapat membangun infrastruktur begitu banyak dalam
dua tahun ini, sesuatu yang mungkin melampaui era pemerintahannya yang 10
tahun.
Tantangan
2017
Kita tentunya berharap Pilkada Februari
2017 ialah sarana rakyat untuk memilih para pemimpin daerahnya tanpa
timbulnya situasi yang mencekam. Kita semua tidak ingin Indonesia seperti
pada 1965-1966 yang disebut dengan 'The Year of Living Dangerously' alias
tahun yang berbahaya bagi kehidupan kita sebagai individu, keluarga, dan
bangsa. Kita ingin agar rakyat bersukacita berangkat dari rumah ke
tempat-tempat pemungutan suara dan memberikan suara mereka secara bebas tanpa
tekanan politik, baik atas dasar apa pun.
Kita ingin melihat anak-anak Indonesia
tidak lagi terkotak-kotak antara 'kita' dan 'mereka' dalam situasi apa pun.
Persaingan politik dalam pemilu, apakah pemilu legislatif, presiden atau
pilkada adalah suatu yang biasa. Itu sarana politik untuk memilih wakil
rakyat atau pemimpin nasional dan daerah, dan bukan yang harus membawa negeri
ini tercabik-cabik karena perbedaan pilihan politik, apalagi dibumbui oleh
isu-isu SARA.
Kita harus menatap ke masa depan, bonus
demografi bagi Indonesia akan datang empat tahun lagi, 2020 sampai 2030. Kita
juga akan merayakan 100 Indonesia merdeka pada 17 Agustus 2045. Kita harusnya
bahu membahu membangun Indonesia yang adil dan sejahtera dan tak ada lagi
segregasi atau perpecahan politik yang tidak berguna akibat SARA. Kita tak
ingin Arab Spring menjadi musim gugur di negara-negara Arab dan juga Indonesia.
Namun, sebaliknya, kita ingin melihat musim semi yang indah ketika
bunga-bunga berwarna-warni dan beragam bentuk bersemi di taman
nasionalismenya Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar