Polemik
Siaran Sidang Ahok
Sugeng Winarno ; Dosen
Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
|
JAWA POS, 13 Desember
2016
SIARAN sidang kasus dugaan penistaan
agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menuai pro dan
kontra. Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengimbau sidang yang
digelar Selasa (13/12) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu tidak
ditayangkan langsung (live). Padahal, banyak pihak menghendaki sidang perdana
Ahok tersebut digelar terbuka dan disaksikan banyak orang.
Dalam logika televisi, siaran sidang
kasus Ahok pasti akan ditunggu banyak pemirsa. Siaran itu tentu dapat
mendongkrak jumlah pemirsa (rating) dan mendatangkan pundi-pundi rupiah. Bagi
televisi, siaran sidang Ahok tersebut dilakukan juga untuk menjawab
keingintahuan masyarakat (public right to know). Namun, dalam penyiarannya,
tentu penting diperhatikan berbagai dampak yang mungkin terjadi.
Seperti dalam peliputan aksi super
damai 212 beberapa waktu lalu. Beberapa media televisi diprotes sebagian
massa karena siaran yang dilakukan dinilai tidak akurat. Liputan aksi yang
idealnya menjadi sarana menyebarkan informasi kepada publik justru mengalami
penolakan dari publik. Artinya, media peliput peristiwa harus benar-benar menjunjung
profesionalisme dan mempertimbangkan berbagai efek dari siaran yang
dilakukan.
Meredam atau Memicu Konflik?
Dewan Pers dan KPI menerbitkan surat
edaran bersama perihal siaran sidang Ahok. Edaran bersama Dewan Pers Nomor
02/SE-DP/XII/2016 dan KPI Nomor 01/SE/K/KPI/12/2016 menjelaskan potensi
negatif siaran langsung sidang Ahok di layar kaca.
Surat edaran tersebut berisi tiga
butir imbauan. Pertama, lembaga penyiaran tidak diperkenankan menyiarkan
secara langsung (live) pelaksanaan sidang secara terus-menerus. Siaran
langsung diperkenankan waktu pembacaan tuntutan dan vonis, bukan saat
pemeriksaan saksi dan sesi keterangan ahli. Kedua, siaran langsung
diperbolehkan dalam bentuk laporan situasi terkini (breaking news).
Ketiga, lembaga penyiaran televisi
diimbau tidak melakukan diskusi (talk show) langsung yang melibatkan tokoh
atau ahli yang membahas jalannya sidang. Acara perbincangan seperti itu
dikhawatirkan melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
dan terjadinya pengadilan oleh pers (trial by the press).
Keluarnya edaran Dewan Pers dan KPI
itu mungkin bisa meredam kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Namun, edaran
tersebut juga berpotensi memicu konflik karena masyarakat yang tidak puas
akan menilai proses persidangan ditutup-tutupi. Akhirnya, banyak orang yang
justru datang langsung ke lokasi sidang.
Siaran Persidangan Televisi
Filsuf Inggris Jeremy Bentham pernah
mengungkapkan bahwa keterbukaan peradilan membuat hakim diadili saat
mengadili. Pernyataan itu mengandung kebenaran dan menyiratkan makna bahwa
publik bisa terlibat mengontrol proses peradilan dan menilai kredibilitas
hakim. Intinya, masyarakat bisa turut menegakkan supremasi hukum melalui
keterbukaan yang disajikan media.
Merujuk beberapa negara lain, ada
siaran persidangan televisi yang diperbolehkan, ada juga yang dilarang.
Pemerintah Armenia, misalnya, sejak 2003 membangun kanal televisi khusus
peradilan (court TV). Enam bulan setelah beroperasi, court TV Armenia yang
bernama My Rights menduduki rating teratas stasiun televisi pilihan warga
Armenia.
Sementara itu, di Amerika, Inggris,
dan Australia, kamera foto dan televisi dilarang keras masuk ke ruang sidang.
Jangankan siaran langsung, dalam pemberitaan persidangan pun, televisi hanya
diperkenankan membuat gambar sketsa situasi persidangan sebagai visualisasi
berita audionya. Alasan pelarangan liputan langsung persidangan di tiga
negara tersebut adalah dikhawatirkan berkurangnya wibawa proses peradilan,
mengganggu atau memengaruhi saksi-saksi dalam memberikan kesaksian, dan
melanggar privasi pihak-pihak yang beperkara.
Praktik peliputan persidangan di
Indonesia sangatlah terbuka. Dalam beberapa kasus persidangan sebelumnya,
televisi juga pernah melaporkan langsung dari ruang sidang. Sebut saja pada
sidang Antasari Azhar dan Bibit-Chandra waktu itu. Juga sidang Angelina
Sondakh dan M. Nazaruddin. Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan
pilpres kubu Prabowo-Hatta juga pernah disiarkan secara “telanjang”.
Masyarakat bisa menyimak persidangan layaknya datang langsung ke ruang sidang
MK.
Di satu sisi, liputan siaran langsung
(on the spot) memang baik. Namun, tentu tidak semua persidangan yang terbuka
untuk umum bisa ditampilkan live. Untuk sidang perkara asusila, pornografi,
dan anak-anak, tentu publik tidak perlu mengetahuinya secara detail. Merujuk
pasal 153 ayat (3) KUHAP: “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Sidang Ahok bisa menjadi materi yang
layak jual. Beberapa stasiun televisi bisa saja mengusung peralatan ENG
(electronic news-gathering) ke lokasi untuk live report. Namun, media
penyiaran harus mengedepankan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Jika
sebuah tayangan televisi dirasa akan berdampak tidak baik, misalnya dapat
menginspirasi sebuah tindak kejahatan, membahayakan, dan mengakibatkan
kemarahan kelompok tertentu, media perlu menerapkan sensor dari dalam
(self-censorship) secara ketat.
Penonton televisi juga harus tetap
kritis. Mereka harus waspada bahwa media apa pun, tidak terkecuali televisi,
juga punya tendensi dalam peliputannya. Media punya beragam cara dalam
menyajikan fakta. Televisi bisa melakukan pembingkaian (framing) tertentu
dalam liputan siarannya. Untuk itu, pemirsa layar kaca perlu memiliki
kemampuan memilah mana yang layak ditonton dan dipercaya, mana pula yang
harus dicela. Maka, kemampuan melek media pemirsa harus terus diasah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar