Hukum,
Hukuman dan Perlindungan HAM
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting Professor pada Melbourne Law School dan
Faculty of Arts, University of Melbourne
|
KOMPAS.COM, 08 Desember
2016
Ruang publik kita sedang ramai memperdebatkan
soal dugaan tindak pidana penodaan agama dan makar.
Muncul pertanyaan kenapa lama menetapkan
tersangka? Kenapa tidak ada penahanan di kasus penodaan agama? Padahal dalam
kasus makar, ada tersangka yang ditahan? Mengapa demikian?
Catatan kamisan kali ini mencoba
menjawabnya. Saya tidak akan membahas detail kedua jenis kasus pidana
tersebut, tetapi ingin berbagi hal lebih mendasar terkait konsep hukum,
hukuman hingga perlindungan hak asasi manusia (HAM), sebagaimana judul
catatan minggu ini.
Karena, konsep kehati-hatian penghukuman
dan perlindungan HAM itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Tarik-menarik antara penerapan hukum pidana di satu sisi dan
perlindungan HAM di sisi yang lain itulah yang terus menghangatkan perjalanan
suatu kasus pidana dalam praktiknya.
Hukum adalah aturan hidup mulai level diri
sendiri, keluarga, masyarakat, bernegara hingga dalam relasi dunia antar
bangsa.
Salah satu ciri utama hukum, yang
membedakannya dengan norma moral dan sopan santun adalah adanya hukuman alias
sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar hukum.
Dalam pelanggaran moral dan sopan santun,
sanksinya tidak konkrit. Tidak demikian halnya dengan pelanggaran hukum yang
jenis sanksinya beragam, dari hukuman administratif, perdata hingga
pemidanaan.
Sanksi pidana dapat berupa kurungan badan
(penjara), denda, pencabutan hak bernegara dan kerja sosial. Hukuman paling
berat—dan karenanya paling kontroversial—adalah hukuman mati.
Karena hukumannya yang berat, hingga
hukuman mati demikian, maka sanksi pidana sifatnya adalah ultimum remedium.
Artinya pemidanaan sebaiknya hanya diterapkan untuk mengembalikan neraca
keadilan dan ketertiban masyarakat jika (dan hanya jika) hukuman
administratif atau perdata sudah tidak lagi memadai sebagai sanksi kepada
pelaku pelanggaran.
Sanksi pidana adalah jalan terakhir, dan
hanya dikeluarkan sebagai senjata pamungkas.
Mengapa demikian? Salah satunya karena
proses hukum acara pidananya dan ujung penghukumannya berpotensi bertentangan
dengan perlindungan HAM.
Dalam hal kasus pidana, seorang terdakwa
akan berhadapan dengan negara sebagai penuntut, yang diwakili oleh Jaksa.
Sebelumnya, dalam proses penyelidikan hingga penyidikan tersangka kemungkinan
akan ditangkap, digeledah dan ditahan.
Semua upaya paksa itu dalam kondisi normal
menabrak hak asasi warga negara untuk mendapatkan hidup tenang, memiliki
privasi dan bergerak bebas. Semuanya terbatasi dan “dilanggar” karena upaya
hukum pidana yang sifatnya memaksa.
Oleh karena itulah, agar seorang warga
negara dapat memberikan pembelaan yang memadai di hadapan proses hukum, dia
wajib didampingi oleh advokat, yang jika dia sendiri tidak dapat
memenuhinya—misalnya karena alasan kemampuan ekonomi—maka negara wajib
menyediakannya.
Kewajiban demikian diatur dalam pasal 56
KUHAP, yang mengharuskan negara menunjuk pembela untuk terdakwa dengan
ancaman penjara lebih dari lima tahun.
Tidak hanya itu, dalam Rancangan KUHAP yang
sedang dibahas di DPR, kewenangan memaksa aparat penegak hukum itu mulai
dibatasi dengan kehadiran hakim komisaris, yang harus dimintakan persetujuan
dan dapat menolak pelaksanaan kewenangan memaksa aparat penegak hukum.
Karena sifat hukumannya yang melanggar HAM
itu pula, maka suatu proses penegakan hukum pidana dipagari dengan berbagai
asas hukum. Satu yang sering disebut adalah “presumption of innocence”, alias
asas praduga tidak bersalah. Yang maknanya, sebelum ada keputusan yang
betul-betul final dan mengikat (final and binding atau inckracht van
gewijsde), maka seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah.
Karena itu, dalam konteks pemilihan kepala
daerah, undang-undang kita mengatur, seorang tersangka yang terpilih tetap
dilantik menjadi Gubernur; jika statusnya terdakwa, maka kepala daerah
terpilih tetap dilantik, meskipun langsung diberhentikan sementara.
Hanya jika statusnya adalah terpidana yang
berkekuatan hukum tetap, maka kepala daerah terpilih, dilantik demi untuk
langsung diberhentikan tetap.
Mengapa tetap dilantik? Jawabannya agar
dapat diberhentikan, dan agar wakil kepala daerah yang ikut dilantik dapat
kemudian naik posisi menjadi kepala daerah pengganti.
Tentang, asas praduga tidak bersalah ini,
sebagaimana asas hukum pada umumnya, tetap ada pengecualiannya.
Bagi aparat penyidik dan penuntut umum,
mereka harus mempunyai keyakinan bahwa sangkaan, dakwaan dan tuntutan yang
mereka siapkan betul-betul menjerat tersangka atau terdakwa yang benar-benar
bersalah. Maka penyidik dan penunut umum bekerja dengan asas praduga bersalah
(presumption of guilty).
Keyakinan itu harus bulat, utuh tidak boleh
ada keraguan sedikitpun. Karena itu untuk menetapkan seseorang sebagai
tersangka dikenal persyaratan paling sedikit adanya dua alat bukti.
Bahkan ada prinsip hukum unus testis nullus
testis, atau one witness is no witness. Yang artinya kesaksian satu orang
saja, tanpa ada bukti pendukung lainnya, tidak bisa dijadikan alat bukti.
Masih dalam hal keyakinan pembuktian itu
pula, asas hukum pidana mengenal asas, beyond reasonable doubt. Yaitu standar
pembuktian tertinggi dalam memutus seorang terdakwa betul-betul bersalah.
Standar demikian mensyaratkan harus ada
keyakinan tanpa keraguan bahwa terdakwa memang bersalah melakukan kejahatan.
Dalam hal ada keraguan sedikit saja, maka berlaku asas hukum in dubio pro
reo, yaitu hakim yang ragu-ragu harus memberi keputusan yang menguntungkan
terdakwa.
Ada pepatah Indonesia untuk asas hukum ini,
“Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang
yang tidak bersalah”.
Karena itu hakim tidak boleh mengambil
keputusan hanya berdasarkan asumsi. Dalam hal ini berlaku asas hukum probatio
vincit praesumptionem yang artinya bukti hukum posisinya mengalahkan asumsi.
Lebih jauh, hakim tidak boleh mengambil
keputusan sebelum betul-betul mendengarkan berbagai pertimbangan serta
melihat bukti-bukti yang dihadirkan atau dikenal dengan asas prius quam
exaudias ne iudice, sebelum mendengar sidang, dilarang memutuskan.
Hanya dalam kondisi luar biasa, dimana
terdakwa tidak bisa dihadirkan karena melarikan diri, misalnya, maka persidangan
in absentia tetap dapat dijalankan—itupun masih ada negara yang tidak
mengakui sistem persidangan tanpa kehadiran terdakwa demikian.
Semua prinsip keyakinan dan kehati-hatian
hukum di atas hadir dalam proses pidana, karena pemahaman dan kekhawatiran bahwa
sanksi pidana akan membatasi, mengurangi bahkan “melanggar” HAM seseorang
yang dinyatakan bersalah.
Dalam konteks inilah derajat putusan hakim,
yang menerapkan aturan pidana, sama dengan undang-undang. Karena, hak asasi
manusia hanya dapat dibatasi oleh aturan hukum sederajat undang-undang, yang
dikeluarkan melalui proses legislasi di parlemen, yang juga melibatkan cabang
kekuasaan eksekutif.
Dalam UUD 1945, pembatasan HAM yang hanya
dimungkinkan oleh undang-undang itu diatur dalam Pasal 28J.
Namun, pembatasan itupun tidak berlaku dan
dikecualikan untuk hak-hak dasar yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan
apapun (non-derogable rights), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28i UUD
1945, yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut.
Kembali ke persoalan dugaan tindak pidana
penodaan agama dan makar. Tantangannya adalah untuk membuktikan dan
meyakinkan tanpa keraguan bahwa yang terjadi adalah betul-betul tindak
pidana, dan bukanlah bentuk perbedaan pendapat—atau bahkan hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, yang tidak dapat disimpangsi dalam keadaan apapun,
dan karenanya adalah HAM yang tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Saya serahkan kepada ahli pidana dan
majelis hakim untuk memutuskannya dengan ekstra hati-hati.
Sebagai catatan penutup, sekali lagi karena
prinsip kehati-hatian dan keyakinan, maka suatu kasus pidana tidak harus
selalu berujung dengan putusan palu hakim di persidangan.
Jika dalam proses berjalan, sebelum putusan
persidangan, timbul keraguan atau kurangnya kualitas pembuktian, maka demi
alasan hukum, suatu kasus pidana dapat dihentikan pada saat penyidikan (SP3),
penuntutan (Surat Ketetapan Penghentian Penunturan), ataupun dengan alasan
kepentingan umum, melalui deponeering yang dikeluarkan Jaksa Agung.
Mekanisme demikian adalah instrumen hukum
yang disediakan, untuk menjamin hanya pelaku kejahatan yang benar-benar
bersalah saja yang dijatuhkan hukuman, yang dibatasi, dikurangi bahkan
“dilanggar” jaminan perlindungan hak asasi manusianya.
Keep
on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar