Gaduhnya
Demokrasi Kita
Dimas Oky Nugroho ; Pengajar
di Pascasarjana Sosiologi Politik
Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS, 17 Desember
2016
Artikel serupa telah dimuat di KORAN SINDO 16 Desember 2016
Sejumlah aksi demonstrasi dan mobilisasi
massa beberapa waktu terakhir sungguh memprihatinkan. Ternyata bangsa ini
begitu rentan terhadap perbedaan. Padahal, takdir kita, sejak dari asal
muasalnya, adalah bangsa yang berdiri di atas kemajemukan suku, bahasa,
agama, dan kepercayaan, yang dipertautkan oleh cita-cita untuk merdeka dan
perjuangan yang sama: melawan kolonialisme.
Betul bahwa kemerdekaan sosial politik yang
kita dapatkan belum mencapai kemerdekaan sosial ekonomi. Kesenjangan sosial
dan angka pengangguran tinggi, pelayanan publik buruk, dan, lebih getir lagi,
korupsi bertambah dahsyat. Kita menjadi rapuh, menjadi conflict-prone society alias masyarakat yang rentan konflik.
Persatuan dan rasa solidaritas sosial melemah.
Kebablasan
Sebagian menuduh liberalisasi politik dan
arah demokrasi kita sudah kebablasan serta elite-nya telah keblinger. Istilah
keblinger dalam kamus politik Indonesia dipopulerkan pertama kali oleh Bung
Karno menjelang kejatuhannya, dalam pidato terkait peristiwa 30 September
1965. Ia menyatakan, peristiwa traumatik itu disebabkan oleh tiga musabab:
pemimpin PKI yang keblinger, subversi neokolonialisme, dan kelakuan oknum
(militer) yang tidak bertanggung jawab.
Pada era pemerintahan sebelumnya, kita
disebutkan telah melewati fase transisi menuju demokrasi. Mestinya saat ini
kita sudah masuk fase pendalaman (deepening
democracy). Namun, demokrasi bukan hanya soal prosedural. Bukan ihwal
eksistensi partai politik, pilkada, pileg, atau pilpres. Demokrasi bukan
pertarungan politik, perimbangan kekuatan, atau permainan kuasa. Bukan!
Kita memilih demokrasi agar semakin bersatu
dan bermartabat sebagai bangsa. Harapannya, demokrasi akan melahirkan
kepemimpinan yang kompeten dan sungguh-sungguh membela kepentingan dan kesejahteraan
rakyat. Terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan demokrasi, segenap kelompok
masyarakat beserta hak-hak sipil yang menyertainya akan dihormati,
difasilitasi, dan diinstitusionalisasikan dalam berbagai proses perumusan
kebijakan publik. Namun, agar kokoh dan berkelanjutan, demokrasi pertama-tama
harus memperhatikan aspek spiritualitas dan sosio-antropologis masyarakat
kita. Demokrasi harus berangkat dari tradisi-tradisi otentik dan nilai-nilai
kebajikan dasar yang kita miliki dan sejalan dengan visi sosio-ekonomi dan
sosio-politik kita sebagai negara-bangsa yang memiliki kebutuhan untuk
bersatu dan berkembang secara sehat.
Terlebih dalam situasi seperti sekarang,
sejauh negara ini merdeka, kita justru semakin yakin bahwa Pancasila harus
menjadi satu-satunya basis landasan moral-politik kita dalam menjalankan
demokrasi. Apalagi demokrasi mewajibkan kehadiran upaya pembangunan manusia
(human capital) yang paripurna. Demokrasi membutuhkan strategi kebudayaan
yang meliputi aspek pendidikan, kesejahteraan sosial, dan tanggung jawab
kewarganegaraan sebagai inti kesadaran dan pergerakan sosial kita. Kehadiran
strategi kebudayaan ini tidak hanya meningkatkan kualitas demokrasi, tetapi
juga akan menentukan karakter, mutu, dan proyeksi masa depan sebagai
negara-bangsa.
Kita melupakan bahwa demokrasi harus
menjamin agar rakyat jangan hanya diposisikan sebagai voter yang bisa dibeli, diajak demo, dimobilisasi, dan disuruh
tawur. Agar bisa bermanfaat dan dicintai, demokrasi harus berdampak positif
pada kemaslahatan dan kemandirian seluruh rakyat. Demokrasi membutuhkan fokus
dan arah kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat harkat kesejahteraan rakyat
secara merata dan menyeluruh.
Kita melupakan bahwa demokrasi sangat
membutuhkan penegakan hukum yang berwibawa, adil, dan tegas. Keagungan negara
dan efektivitas demokrasi di mata rakyat awam ditentukan dari persoalan
penegakan hukum yang konsisten. Sebagai mekanisme politik, the only game in
town, demokrasi tidak boleh mengorbankan stabilitas politik, aspek keamanan,
dan ketahanan nasional. Demokrasi yang sehat justru harus mampu meningkatkan
kapasitas negara dalam mewujudkan, melindungi, dan menjalankan regulasi yang
adil dan berdaya guna untuk seluruh rakyat.
Kelola
demokrasi
Mengelola demokrasi dan kebebasan sipil
adalah satu hal. Sementara mengelola efektivitas pemerintahan, menjalankan
negara, serta mengamankan kepentingan nasional adalah sesuatu hal lain.
Meskipun demikian, keduanya sesungguhnya saling terkait erat.
Mengelola negara membutuhkan sebuah
political order atau tata tertib politik. Pada tingkat mengelola tata tertib
politik ini, dalam tekanan masyarakat majemuk, kebanyakan pemimpin kita
melemah, simplifikatif, tidak sabar, gagal paham, dan tak sedikit yang
terjebak dalam godaan otoritarianisme.
Padahal, kunci dalam mewujudkan tata tertib
politik sekaligus institusionalisasi demokrasi adalah penyinergian antara
fondasi sosio-spiritualitas, nilai-nilai dasar, dan moral politik yang kita
pegang teguh sebagai sebuah bangsa, dan implementasinya secara kreatif dalam
sebuah keadaban politik dan praksis-praksis dalam bernegara.
Presiden Soekarno dulu pernah menawarkan
konsensus politik bernama nasakom. Aliran dan kekuatan politik disederhanakan
menjadi nasionalis, agama, dan komunis yang disatukan di bawah satu
kepemimpinan politik. Nasakom yang kemudian gagal ini dibuat untuk
menghadirkan tata tertib politik dalam suatu konstelasi yang ekstrem.
Pelajaran dalam hal ini adalah pentingnya kombinasi kekuatan nasionalis
dengan kekuatan agama dalam mengawal kebangsaan kita.
Saat ini komunis sebagai sebuah kekuatan
politik yang eksis secara nasional sudah tiada dan tidak diperbolehkan untuk
ada. Di era kekinian mungkin singkatan ”kom” di situ bisa dimunculkan secara
sosiologis merujuk pada kekuatan ”komunitas”. Masif-nya globalisasi dan media
sosial telah menghadirkan sejumlah gerakan sosial, aneka ekspresi pemikiran,
dan gaya hidup, khususnya di kalangan anak muda, kelompok
kepercayaan/keagamaan transnasional, serta entitas-entitas sosial ekonomi baru
yang nyata berdampak dalam kehidupan politik hari ini.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana
mengelola demokrasi kekinian yang dinamis sembari tetap fokus membangun
negara-bangsa sebagai entitas ekonomi-politik yang inklusif, bersatu,
berkarakter, dan berkemajuan.
Setiap negara yang ingin menyejahterakan
rakyatnya harus memiliki visi dan arah ekonomi-politik yang jelas serta
komitmen yang teguh untuk menjadikan warga bangsanya sebagai pemenang.
Marilah kita berdemokrasi secara lebih bermutu dan bertanggung jawab, dalam
sebuah ”hikmat kebijaksanaan”, bukan yang ”gaduh kekeblingeran”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar