Demokrasi
dalam Hikmat Kebijaksanaan
Dimas Oky Nugroho ; Direktur
Eksekutif Akar Rumput Strategic Consulting
|
KORAN SINDO, 16 Desember
2016
SEJUMLAH aksi demonstrasi dan mobilisasi
massa yang marak saling balas beberapa waktu terakhir menjadi menyedihkan.
Terlihat bangsa ini seolah begitu rentan terhadap perbedaan.
Kita tampak seperti sebuah conflict-prone society alias
masyarakat yang rentan dan genit konflik. Dalam sebuah persepsi
ketidakpastian politik, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga stabilitas
politik tanpa mengorbankan penguatan demokrasi?
Memperkuat
Demokrasi
Pada era pemerintahan sebelumnya, kita
disebutkan telah melewati fase transisi menuju demokrasi. Artinya, mestinya
saat ini kita sudah masuk pada fase pendalaman (deepening democracy).
Dengan demokrasi, kita berharap seluruh
warga negara akan dihormati hak-hak sipil dan martabatnya, didorong
partisipasi politiknya, khususnya untuk aktif terlibat dalam berbagai proses
perumusan kebijakan publik. Institusi-institusi publik didorong untuk bekerja
dengan baik sesuai dengan prinsip pemerintahan yang responsif, profesional,
bersih, transparan, dan akuntabel.
Hukum ditegakkan secara adil dan konsisten.
Regenerasi kepemimpinan berlangsung secara terbuka, berkualitas, tanpa
kekerasan, jujur, dan melibatkan persetujuan rakyat.
Akan tetapi, demokrasi bukan hanya soal
prosedural semata. Bukan ihwal eksistensi partai politik, pilkada, pileg,
atau pilpres saja. Demokrasi apalagi, bukan pertarungan politik yang melulu
berorientasi perihal kekuasaan. Bukan!
Agar berakar, bertahan, dan berkelanjutan,
demokrasi pertama-tama harus memperhatikan aspek spiritualitas, sosiohistoris,
dan sosioantropologis warga-bangsa itu sendiri. Demokrasi harus berangkat
dari tradisi-tradisi otentik dan nilai-nilai kebajikan dasar yang kita
miliki, serta sejalan dengan visi sosioekonomi dan sosiopolitik kita sebagai
sebuah negara-bangsa merdeka yang memiliki kebutuhan untuk bersatu dan
berkembang secara sehat. Dan karena itu, kita bersyukur memiliki Pancasila.
Sebagai individu maupun sebagai komunitas
warga bangsa, prinsip berketuhanan, berkemanusiaan, dan kesatuan adalah
fondasi dasar manusia Indonesia. Terhadap perilaku berpolitik, Pancasila
memberikan prinsip-prinsip yang jelas yakni sebuah "kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Itu semua dilakukan demi mewujudkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat".
Terkesan sederhana dan normatif; namun
kenyataannya, sejarah dramatis para pemimpin nasional kita serta narasi
perpolitikan sepanjang kita merdeka adalah cerita tentang pergulatan
mewujudkan prinsip-prinsip Pancasila yang ternyata tak sesederhana yang kita
kira itu. Tak sedikit kepemimpinan nasional yang terperangkap dalam
keputusan-keputusan politik yang dinilai bergeser bahkan bertentangan dengan
semangat Pancasila.
Bagaimanapun, Pancasila adalah fondasi
sekaligus konsensus kita sebagai bangsa yang majemuk dan menginginkan
keadilan-kebajikan. Melalui Pancasila, kita memahami bahwa alasan dan tujuan
bernegara bertitik berat pada pembangunan manusia dan kemanusiaan itu
sendiri, apakah sebagai individu maupun sebagai komunitas warga bangsa. Karena
itu, demokrasi harus mementingkan aspek pembangunan manusia (human capital) yang paripurna.
Demokrasi membutuhkan strategi kebudayaan
yang meliputi aspek pendidikan, kesejahteraan sosial, dan tanggung jawab
kewarganegaraan sebagai inti kesadaran dan pergerakan sosial. Kehadiran
strategi kebudayaan ini tidak hanya akan mampu meningkatkan kualitas
demokrasi, tetapi juga akan menentukan karakter, mutu, dan proyeksi masa
depan kita sebagai sebuah negara-bangsa yang unggul dan berkeadaban.
Kita melupakan bahwa demokrasi harus
menjamin agar rakyat jangan hanya diposisikan sebagai ‘voter’ yang bisa
dibeli, diajak demo, dimobilisasi, dan disuruh tawuran. Demokrasi harus
berdampak positif pada pemberdayaan dan kemandirian seluruh rakyat. Demokrasi
membutuhkan fokus dan arah kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat harkat
kesejahteraan rakyat secara merata dan menyeluruh. Karena jika tidak,
demokrasi hanya akan mengantarkan kita pada kesenjangan, eksploitasi dan
frustrasi sosial.
Untuk itu, jangan kita lupakan bahwa
demokrasi sangat membutuhkan penegakan hukum yang berwibawa dan berkeadilan.
Keagungan negara dan efektivitas demokrasi di mata rakyat awam ditentukan
dari persoalan penegakan hukum yang konsisten. Sebagai sebuah mekanisme
politik, the only game in town, demokrasi tidak boleh mengorbankan ketahanan
nasional dan agenda-agenda nasional yang prinsipiil serta berkelanjutan.
Pemerintahan
Efektif
Mengelola demokrasi dan kebebasan sipil
adalah satu hal. Sementara mengelola efektivitas pemerintahan, menjalankan
negara, serta mengamankan kepentingan nasional adalah sesuatu hal lain.
Meskipun demikian, keduanya sesungguhnya saling terkait erat.
Mengelola negara membutuhkan apa yang
disebut sebagai sebuah kepemimpinan dan political order (tata tertib
politik). Pada tingkat mengelola tata tertib politik ini, dalam tekanan
masyarakat majemuk, kebanyakan kepemimpinan kita cenderung simplifikatif,
tidak sabar, gagal paham, dan tak sedikit yang terjebak dalam godaan
otoritarianisme.
Padahal, kunci dalam mewujudkan tata tertib
politik sekaligus institusionalisasi demokrasi adalah penyinergisan antara
fondasi sosiospiritualitas, sosiohistoris, nilai-nilai dasar dan moral
politik yang kita pegang sebagai sebuah bangsa, dan implementasinya secara kreatif
dalam sebuah keadaban politik dan praksis-praksis bernegara.
Dalam hal ini, solidaritas kebangsaan dan
persatuan nasional menjadi sangat penting. Bangsa yang terpecah akan sulit
maju satu langkah sekalipun untuk mencapai tujuan-tujuannya bernegara. Presiden
Soekarno dulu secara praksis pernah menawarkan konsensus politik bernama
nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang dipersatukan di bawah satu
kepemimpinan politik yang kukuh.
Presiden Soeharto pernah mendorong
persatuan yang didasari oleh penyederhanaan partai dan Dwifungsi ABRI. Ini
semua dilakukan demi kebutuhan menghadirkan sebuah tata tertib politik untuk
menjadi semacam solusi terhadap suatu kenyataan konstelasi sosial-politik dan
sosial-ekonomi yang dinamis-majemuk.
Pada perkembangannya, kita saksikan dua
format politik ini menghadapi cerita kegagalannya masing-masing. Di era
kekinian, globalisasi dan media sosial telah menghadirkan sebuah ‘kekuatan
politik’ baru. Ditandai dengan kemunculan berbagai gerakan sosial, ekspresi
pemikiran dan gaya hidup khususnya di kalangan anak muda, gerakan keagamaan
transnasional, serta berbagai entitas sosial-ekonomi baru yang nyata-nyata
berdampak dalam kehidupan politik kita hari ini.
Tantangannya kemudian, adalah bagaimana
mengelola demokrasi kekinian yang dinamis dan inklusif sembari tetap menjaga
stabilitas politik sebagai bangsa bersatu, serta progresivitas sosial-ekonomi
sebagai bangsa yang mandiri dan berkemajuan. Oleh karena itu, wahai pemimpin
dan juga yang dipimpin, marilah berdemokrasi secara lebih berbobot dan
bertanggung jawab, tentunya dalam sebuah ‘hikmat kebijaksanaan’, bukan dalam
‘gaduh kekeblingeran’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar