Beda
Jamiyah dengan Jamaah
Ma'mun Murod Al-Barbasy ; Direktur
Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ; Pemerhati Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
|
KORAN SINDO, 15 Desember
2016
MENJELANG Aksi Damai Jilid II 4 November
2016, yang kemudian dikenal dengan Aksi Damai 411, dua ormas besar di
Indonesia: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) secara organisatoris
(jamiyah) mengeluarkan imbauan yang hampir senada, agar warga (jamaah) yang
mengikuti aksi tersebut tidak membawa atribut organisasi. Imbauan ini juga
berlaku untuk Aksi Superdamai Jilid III pada 2 Desember 2016.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
mengimbau agar jamaah-nya tidak membawa atribut Muhammadiyah dalam aksi itu,
karena mereka (aksi) selaku warga negara. Meski demikian, Mas Haedar
menyatakan bahwa Aksi Damai 411 merupakan wujud penyampaian aspirasi dalam
berdemokrasi.
Bahkan Mas Haedar meminta agar pemerintah
dan Polri sensitif dalam merespons aspirasi umat dalam menangani kasus
penistaan agama seperti yang dituntutkan. Jika terkesan menunda, mengulur,
atau seolah mengambangkan, justru akan menambah persoalan makin meluas
(30/10/2016).
Ketua Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj
juga melarang simbol-simbol NU dipakai dalam Aksi Damai 411. Kalau ada
simbol-simbol NU, dikhawatirkan ada pihak ketiga yang memanfaatkannya. PBNU
tak ingin simbol NU dipakai untuk tujuan di luar kepentingan jamiyah NU.
Kiai Said juga meminta semua warga NU tidak
ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan provokasi dan hasutan. Karenanya, Kiai
Said meminta warga NU tidak ikutan (unjuk rasa). Kalaupun ada yang terpaksa
ikut, Kiai Said berharap tidak ada simbol-simbol NU yang dipakai
(28/10/2016).
Jamaah
Tak Patuh Lagi pada Jamiyah
Meski sama-sama mengeluarkan imbauan
terkait tidak bolehnya menggunakan simbol jamiyah, dalam menyikapi Aksi Damai
411 tampak ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU. Sikap Muhammadiyah
tampak lebih lunak, bahkan cenderung ”mendukung” Aksi Damai 411. Dalam
pandangan Muhammadiyah, Aksi Damai 411 semata hanya menyikapi penistaan
terhadap Alquran yang dilakukan oleh Ahok. Tak ada kaitannya dengan masalah
toleransi dan kebinekaan, apalagi terkait persoalan Pancasila dan NKRI.
Berbeda dengan itu, sikap NU terlihat lebih
kaku dan menampakkan ketaksetujuan. NU tidak sekadar mengimbau jamaah-nya
tidak menggunakan simbol-simbol NU, tapi juga memintanya tidak ikut aksi. Ada
nada ”penggembosan”, bahkan nada ini semakin terlihat dalam menyikapi Aksi
Superdamai 212. PBNU, misalnya, sampai harus mengeluarkan fatwa soal ketidaksahan
salat Jumat di jalanan. Padahal, PBNU tentu tahu bahwa masalah salat Jumat di
jalanan itu persoalan ikhtilaf di antara para ulama mazhab.
Lalu bagaimana jamaah Muhammadiyah dan NU
menyikapi imbauan jamiyah-nya? Dalam Aksi Damai 411, praktis jamaah Muhammadiyah
tidak mematuhi imbauan jamiyah-nya. Ketakpatuhan ini sepertinya karena jamaah
melihat sikap lunak PP Muhammadiyah.
Meski mengimbau jamaah-nya tidak memakai
simbol-simbol Muhammadiyah, PP Muhammadiyah seperti melakukan pembiaran
ketika kantor PP Muhammadiyah dijadikan sebagai posko aksi. Ketika mendapati
Kantor PW Muhammadiyah Jakarta di Kramat Raya dijadikan Posko Pusat
Keberangkatan peserta Aksi Damai 411 dari perwakilan jamaah Muhammadiyah
se-Indonesia pun PP Muhammadiyah tak bereaksi.
Beberapa PW dan banyak PD Muhammadiyah
bahkan mengoordinasikan jamaah-nya yang akan mengikuti Aksi Damai 411. Jamaah
Muhammadiyah juga membentuk kesatuan aksi yang diberi nama Kokam (Komando
Kawal Al-Maidah), nama yang dilekatkan kepada Kokam yang berada di bawah
naungan Pemuda Muhammadiyah.
Selama
berlangsungnya aksi, simbol-simbol Muhammadiyah seperti bendera Muhammadiyah
dan organisasi otonom juga berkibar di jalan. Beberapa elite Muhammadiyah
tingkat pusat, wilayah, dan daerah turun langsung, ikut Aksi Damai 411.
Begitu juga warga nahdliyin, mereka tidak
patuh menjalankan imbauan PBNU untuk tidak mengikuti Aksi Damai 411. Kalau
selama ini NU sering mengklaim sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan
jumlah anggota mencapai puluhan juta, yang salah satu klaimnya biasanya
didasarkan pada kebiasaan praktik ritual keagamaan yang mereka lakukan, maka
hampir pasti peserta terbesar Aksi Damai 411 adalah warga nahdliyin.
Muhasabah
bagi Muhammadiyah dan NU
Ketakpatuhan jamaah Muhammadiyah dan NU
terhadap imbauan jamiyah-nya patut menjadi perenungan (muhasabah) bagi
Muhammadiyah dan NU. Perenungan yang penting dilakukan setidaknya pada dua
hal.
Pertama, terkait positioning Muhammadiyah
dan NU. Selama ini Muhammadiyah dan NU kerap menyebut diri atau diposisikan
sebagai representasi muslim Indonesia. Muhammadiyah dan NU selama ini
diidentikkan sebagai organisasi yang mempunyai watak kemasyarakatan moderat
(tawasuth), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun). Secara konseptual,
tentu watak ini sejalan dengan prinsip Islam, namun dalam praktiknya justru
cenderung lebih dekat pada mentalitas yang sekadar ”mencari aman”.
Kedua, semakin berjaraknya jamiyah dengan
jamaah. Ini juga perlu jadi perenungan. Sekadar contoh, ketika beredar berita
bahwa Ahok akan datang ke Muhammadiyah untuk menjelaskan masalah terkait
Al-Maidah 51, kontan rencana ini mendapat penolakan keras dari jamaah
Muhammadiyah. Rencana pertemuan ini akhirnya dibatalkan sepihak oleh Ahok.
Kesediaan PP Muhammadiyah menerima Ahok
tentu dimaksudkan untuk menjaga jarak, atau bahkan kedekatan yang sama dengan
semua kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, menerima Ahok di kala hati
umat Islam tengah terluka karena ulahnya yang menista Alquran, justru dinilai
sebagai tidak nyambungnya jamiyah dengan jamaah.
Begitu juga NU. Hadirnya sebagian besar
nahdliyin pada Aksi Damai 411 di kala PBNU mengimbau untuk tidak mengikuti
aksi tersebut, bisa dimaknai sebagai semakin berjaraknya jamiyah NU dengan
jamaah-nya. Bahwa kebanyakan mereka yang hadir tidak membawa simbol-simbol NU
juga hendaknya tidak dimaknai sebagai bentuk kapatuhan terhadap imbauan PBNU.
Sebaliknya, mesti dipahami sebagai bentuk kemasabodohan jamaah NU terhadap
jamiyah-nya.
Realitas saat ini, di level akar rumput
sekalipun, tingkat ketergantungan jamaah NU terhadap jamiyah-nya tidak lagi
seperti ketika awal-awal NU lahir hingga 1980-an, di mana kata sami’na wa
atha’na (kami dengar, kami taat) selalu mewarnai relasi jamaah dengan
jamiyah-nya. Jamaah nyaris tanpa reserve mendengar dan taat terhadap apa pun
yang dititahkan jamiyah atau para kiainya.
Dalam perkembangannya, sekarang jamaah NU
tak lagi gampang untuk sami’na wa atha’na kepada jamiyah-nya, termasuk para
kiainya. Saat ini kesadaran jamaah untuk sami’na
wa atha’na praktis hanya dalam hal yang terkait dengan persoalan fikih.
Bahkan fikih pun ranahnya begitu sempit, sebatas fikih ibadah (mahdzah) yang
bersifat personal.
Terkait muamalah, terutama dalam soal
politik, sosial dan kemasyarakatan, jamiyah NU atau pun kiai tak lagi menjadi
sandaran atau tempat bertanya yang utama. Penyebab dominan pudarnya relasi
ini karena ketaknyambungan antara jamiyah dan jamaah atau antara kiai dan
jamaah.
Dan ketaknyambungan ini penyebabnya lebih
banyak karena perubahan perilaku kiai atau mereka yang tengah menduduki
jabatan di NU. Di awal-awal berdirinya NU, posisi kiai benar-benar dekat dan
menjadi pembela jamaah—Geertz (1960) menyebutnya sebagai makelar budaya (cultural brokers).
Sekarang sebagian (elite) kiai sudah
berubah menjadi makelar politik (political
brokers), broker pilkada, pilgub, pilpres dan kerja-kerja lainnya yang
sama sekali tak ada kaitan dengan tugas kekiaian. Kiai lebih suka bersikap
abu-abu–tentu tak lupa mencari pembenaran fikih, termasuk pembenaran
ke-tawasuth-an dan ke-tasamuh-an–di kala umat membutuhkan ketegasan sikapnya,
terutama terkait masalah akidah, sosial, dan politik.
Dengan perubahan peran kiai ini, ke depan
bisa jadi jamiyah NU tidak saja akan ditinggalkan jamaah-nya untuk sekadar
bertanya terkait masalah sosial dan politik, tapi juga dalam masalah fikih
ibadah sekalipun. Bisa jadi kiai tidak akan lagi menjadi tempat untuk
bertanya. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar