Revolusi Mental, Bisa Merasa, dan Kepolisian
Boy Rafli Amar ;
Kepala Divisi Humas Polri
|
MEDIA INDONESIA,
01 Juli 2016
USIA 70 tahun bagi
seorang manusia tergolong usia yang sangat matang. Begitu juga dengan
institusi Kepolisian Republik Indonesia yang hari ini berulang tahun. Namun,
kematangan sebuah institusi tak lepas dari kondisi yang terjadi di
sekelilingnya. Polri jelas teruji dalam berbagai situasi dan kondisi sejak
pertama kali berdiri.
Salah satu persoalan
besar yang dihadapi Indonesia saat ini ialah merosotnya nilai-nilai jati diri
bangsa yang disebabkan perkembangan lingkungan strategis baik global,
regional, nasional, maupun lokal. Namun, apabila mampu memanfaatkan dengan
baik pengaruh-pengaruh tersebut, akan mengukuhkan karakter dan jati diri
bangsa.
Dalam rangka
mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian,
berlandaskan gotong royong, ada sembilan prioritas jalan perubahan (Nawa
Cita) yang salah satunya melalui revolusi karakter bangsa yang dijabarkan
dalam Perpres Nomor 2 Tahun 2015 untuk membangun sebuah bangsa yang maju,
modern, dan bermartabat. Untuk menindaklanjuti program pemerintah sebagaimana
tersebut di atas telah dijabarkan Kapolri dalam program Quick Wins Rencana
Strategis (Renstra) Polri 2015-2019, yaitu Polri sebagai penggerak revolusi
mental dan pelopor tertib sosial di ruang publik.
Revolusi mental
dilaksanakan melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Pendidikan harus
dimaknai tidak hanya sebagai sarana untuk melakukan transfer pengetahuan dan
keterampilan, tapi juga sebagai proses pembelajaran sepanjang hayat untuk
membangun manusia seutuhnya. Untuk mewujudkan hal tersebut sekaligus
perwujudan program Nawa Cita dan quick
wins Polri, secara jelas Polri merumuskan 'polisi sebagai penggerak
revolusi mental dan sebagai pelopor tertib sosial di ruang publik'. Namun,
Rencana Strategis Polri 2015-2019 menekankan terbangunnya postur Polri yang
profesional, bermoral, modern, dan unggul.
Mewujudkan program
tersebut memang tak mudah karena membutuhkan kerja keras yang
berkesinambungan. Anggota Polri harus kembali kepada jati diri memaknai
secara sungguh-sungguh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Untuk
itu, kiranya perlu ada pemikiran ulang (rethinking)
terhadap posisi polisi hari ini, baik dalam rangka menerjemahkan tugasnya
sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, maupun tugas-tugas lain
yang dibebankan bangsa dan negara serta kepentingan rakyat Indonesia.
Bukan tanpa makna
Kalimat Kepolisian
Negara Republik Indonesia bukanlah kalimat tanpa makna. Dalam kesempatan yang
berharga ini perlu dimulai satu rejuvenasi atau upaya untuk menghilangkan
kejenuhan dalam rangka memulihkan kebugaran mental aparatur kepolisian. Tujuannya
untuk ikut mendorong terciptanya kehadiran revolusi mental, baik dalam bentuk
yang hakiki melalui strategi dan aksi di lapangan maupun menjadikan kekuatan
moral sebagai prinsip dasar memulai revolusi mental di kepolisian.
Kekuatan moral itu
ialah kemauan bisa 'merasa' dalam perspektif luas. Merasa sebagai bhayangkara
negara yang terpanggil untuk melindungi segenap bangsa dan negara. Merasa
sebagai pejuang dan penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Merasa
sebagai pelayan publik yang senantiasa bekerja dengan derma tulus dan ikhlas.
Kemauan bisa merasa ini dapat dijadikan social
capital sekaligus arsenal yang tangguh untuk mendorong penerjemahan
revolusi mental. Konsep revolusi mental sebagaimana disampaikan Jokowi di
harian Kompas edisi 10 Mei 2014 secara singkat bisa dikatakan mengangkat
kembali gagasan Trisakti Bung Karno sebagai jiwa dan panduannya. Tridenta
atau tiga prinsip Trisakti, yaitu Indonesia yang berdaulat secara politik,
mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Dalam pandangan
Presiden Jokowi, istilah mental dipersepsikan sebagai pola pikir, sifat,
kebiasaan yang menyeluruh baik individu, kelompok, maupun masyarakat yang
dirancang untuk melakukan transformasi dari yang negatif menjadi lebih baik. Atau
dengan kata lain berkehendak melakukan perubahan sosial yang revolusioner,
menyeluruh, sampai keakarnya dengan tata laksana yang secepat-cepatnya dengan
kaidah terukur, sistematis, dan terencana.
Tidak terpisahkan dari
transformasi tersebut mengharuskan kehadiran suatu kombinasi antara
partisipasi publik dan kebijakan persuasif dan instruktif. Sifat
keterjangkauannya menyentuh level individu, golongan, dan masyarakat luas
serta dirancang dengan metode edukasi, simulasi, dan aksi (ESA).
Tindak lanjut dari konsep
tersebut dijabarkan dalam tiga program, yaitu Indonesia ramah, Indonesia
mandiri, dan Indonesia kita. Program revolusi mental Presiden Jokowi
mengandung nilai kewargaan, mandiri, gotong royong, dapat dipercaya, kreatif,
dan saling menghargai.
Pilar Utama
Bagi Polri, revolusi
mental ialah starting point untuk
menciptakan kepolisian Indonesia dengan tumbuh kembang yang lebih baik dengan
mendayagunakan segenap upaya untuk mewujudkannya.
Dengan menjadikan
'bisa merasa' sebagai kekuatan moral diharapkan seluruh insan Polri dapat
melakukan kerja-kerja extraordinary.
Bisa merasa artinya ialah suatu ungkapan atau kalimat yang akan memberikan
dorongan luar biasa kepada insan kepolisian untuk meyakini bahwa kekuatan
moral itu adalah tiang utama/pilar utama dari menyukseskan tugas-tugas dan
kewajiban sebagai aparatur bhayangkara.
Untuk itu, modal yang
sangat luar biasa ini sangat berharga jika aspek kepribadian yang meliputi
satu sikap totalitas pikir, hati, dan kaki insan kepolisian dijadikan spirit
permulaan untuk mendorong tampilan-tampilan kerja dan tugas-tugas yang prima.
Kepribadian adalah
suatu modal yang harus melengkapi tidak hanya dalam bentuk aktualisasi
pelaksanaan tugas atau atribusi seragam atau simbol-simbol kepolisian saja,
tetapi dia juga merupakan identitas utama yang harus digenggam sebagai sebuah
perilaku yang memiliki nilai-nilai kemuliaan.
Dengan keyakinan akan
manfaat kekuatan moral, bisa memberikan daya dorong maksimal terhadap
internal dan eksternal. Namun, terwujudnya dorongan tersebut tak lepas dari
perjuangan keorganisasian maupun kelembagaan yang didasari dengan kekuatan
moral untuk mencapai perilaku prima. Untuk tercapainya kondisi tersebut;
pertama, dibutuhkan strategi yang terukur tentang program dan kegiatan
revolusi mental di sektor kekuatan moral. Kedua, perlu adanya blueprint atau
landasan kerja jangka pendek, menengah, dan panjang, agar kekuatan ini
menjadi kekuatan inspirasional bagi organisasi. Ketiga, dibutuhkan landasan
operasional berupa Gugus Respons untuk Penerapan Revolusi Mental (GRUP
Revolusi Mental) di semua satuan kepolisian.
Dengan tiga konsep itu
diharapkan, sebagai permulaan dari gagasan revolusi mental, kepolisian harus
bergerak di gugusan kerja aplikatif, seperti perlu adanya penumbuhkembangan
strategi pencitraan bahwa polisi berubah itu bukan karena desakan publik,
melainkan keberhasilan autokritik internal. Dengan adanya penumbuhkembangan
tadi, kita dapat menciptakan embrio-embrio kegiatan baik internal maupun
eksternal.
Dengan kata lain 'bisa
merasa' sebagai kekuatan moral dapat mempertimbangkan penguatan kualitas yang
dapat diidentifikasi sebagai model Prima Rasa, yaitu 1) profesional, 2)
responsif, 3) integritas, 4) modern, 5) adaptif dengan cultural capital meliputi ramah, adil, santun, dan amanah.
Untuk mendorong
aplikasi Prima Rasa agar membumi, dibutuhkan tagline kerja yang mengelola optimalisasi SDM dengan moto kerja
24 jam PLUS (Pelayanan Lebih Upaya Solutif).
Semoga di hari ulang tahun
ini, kepolisian semakin solid dan profesional, juga menjadi kebanggaan
bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar