Transformasi Diri Idul Fitri
Asep Salahudin ;
Kolumnis; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasik; Dosen LB Fakultas Seni dan Sastra
Universitas Pasundan, Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juli 2016
TENTU saja bagi
seorang muslim, hari Lebaran merupakan momen-momen menggetarkan, hari raya
yang kedatangannya sangat ditunggu.
Tak ubahnya Natal bagi
umat kristiani atau Nyepi bagi kalangan Hindu di Bali. Setelah satu bulan
penuh berpuasa, kedatangan Idul Fitri seperti ulat yang keluar dari kepompong
untuk menemukan suasana baru. Sang Nabi menyebut selepas puasa Ramadan itu
seseorang menjadi suci.
Idul Fitri artinya
kembali ke kesucian. Suci karena Ramadan telah membakar dosa dan kekhilafan. Lewat
kuali Ramadan, kesalahan itu dihanguskan dan manusia dikembalikan ke titik
nol, titik awal keberangkatan. Menginjak satu Syawal dengan keinsafan dan
semangat baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada jangkar kekuatan
spiritual.
'Kebaruan' itu penting
sebab suasana seperti ini biasanya yang dapat menyuntikkan harapan gemilang
dalam meretas sejarah masa depan.
Kebaruan sebagai pandu
untuk memutus sejarah kelam masa silam. Dalam konteks sosial kebangsaan,
pemerintahan dan pejabat yang menawarkan sistem baru yang biasanya
mendapatkan respons positif dari masyarakat. Sistem dan mentalitas lama
biasanya diidentikkan dengan segala bentuk cela, cacat, dan kecurangan.
Maka kewajiban kita
itu adalah merawat kesucian. Bagaimana spirit Ramadan terus-menerus mengawal
kita agar tidak jatuh dan tersekap dalam tindakan yang dapat mengotori makna
kesucian. Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang ketika kembali ke
pangkuan Zat Yang Mahasuci, kepada Yang Kudus. Itu mengingatkan saya pada
puisi Ajip Rosidi yang berjudul Hari
Lebaran.
'Hari ini hari hati
percaya/akan arti hidup dan mati yang cuma sempat/ Direnungkan setahun
sekali. Sungguh besar maknanya/Jalan panjang menuju liang-lahat/Hari ini hari
kesadaran akan tradisi/ Menyempatkan umat sejenak bersama-sama/Menghirup
udara lega dalam kepungan derita/Sehari-hari yang bikin orang
jauh-menjauhi/Hari ini hariku pertama 'kan menjalani/Hidup antara manusia,
sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran mengerti/Kelengangan
elang di langit tinggi'.
Menebarkan maaf
Di hari raya ini
dengan lapang kita tebarkan maaf kepada sanak saudara dan handai tolan. Maka
Idul Fitri sering juga disebut Lebaran, saling melubarakan, saling memaafkan.
Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan,
permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan itu. Manusia bukan malaikat
yang tidak pernah keliru, juga bukan setan yang selamanya tersesat. Manusia
berada dalam dua pendulum, antara tarikan kebenaran dan godaan kesalahan. Antara
mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan setan-kebinatangan.
Antara dunia terang
dan terseret gelombang arus kegelapan.
Faalhamaha fujuraha wa taqwaha. Dalam diri manusia mengalir potensi fujur
(negatif) dan potensi takwa (positif). Mana di antara keduanya yang lebih
dominan? Di titik ini sesungguhnya hakikat 'jihad' itu harus diletakkan.
Jihad yang paling
besar kata Sang Nabi bukan militansi mengacungkan pentungan dengan pekik
Allahu Akbar sambil menganggap kafir mereka yang tak sama haluan pemahaman
dan kepercayaannya, melainkan pertempuran dalam jiwa di antara kedua potensi
itu. Ketika fujur yang menjadi kiblat, manusia bisa lebih setan ketimbang
setan, bisa lebih nestapa daripada satwa. Sebaliknya, saat takwa yang menjadi
landasan, manusia harkatnya dapat melampaui malaikat, naik ke takhta
spiritual yang paling puncak.
Dengan air muka cerah
penuh bahagia kita ulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan
permaafan lewat ungkapan minal aidin
wal faizin taqabbalallahu minna waminkum. Tidak saja keluarga yang masih
hidup yang dikunjungi untuk bersilaturahim, malah leluhur yang telah lama
meninggal pun kita ziarahi dan doakan untuk keselamatannya di alam baka.
Dalam konteks budaya
keindonesiaan, kunjungan demi silaturahim itu bisa jadi harus menempuh jarah
ratusan kilometer dengan kemacetan yang sudah rutin, atau apa yang kita sebut
dengan tradisi mudik itu. Ribuan pemudik bahkan lebih pada saat bersamaan
rela berjejalan dan terpanggang di jalanan demi menuntaskan kerinduan purba
ke kampung halaman, menyelesaikan kerinduan terhadap asal usul kulturalnya. 'Kampung
halaman' sebagai tempat yang dituju interaksi simbolisnya tidak saja merujuk
kepada makna geografis, tapi juga spiritual.
Di tangan kaum
pemudik, seolah jarak itu dilipat. Bagi mereka tidak ada yang abadi kecuali
kenangan terhadap 'kampung halaman'. Kenangan yang dalam fakta mentalnya
tidak bisa dikuburkan walaupun telah lama mengembara menjadi bagian dari
masyarakat urban. Sejauh apa pun mengembara, ujungnya tak lebih hanya proses
kultural-psikologis menanam kenangan itu untuk minimal satu tahun sekali
diekspresikan dalam katup wujud mudik yang heroik itu.
Mungkin secara
sosiologis hanya di kepulauan Nusantara orang pulang kampung secara serentak
bahkan negara harus ikut terlibat, ambil bagian menertibkan dengan sandi yang
bertemali dengan makanan khas Lebaran; Operasi Ketupat! Mengapa ketupat? Bisa
jadi ada benarnya apa yang dibilang Claude Levi Strauss, seorang antropolog
berkebangsaan Prancis, bahwa 'makanan' itu tidak hanya berurusan dengan perut
tapi dapat menjadi indeks kebudayaan yang lebih luas. Saya tidak tahu apakah
atas kesadaran ini jajaran kepolisian mengambil ketupat sebagai simbol dalam
mengelola lalu lintas di hari raya.
Dalam praktiknya,
ternyata bukan sekadar pulang kampung, melainkan juga narasi yang
diriwayatkannya kepada kaum kerabat dan para tetangga tentang kota yang
ditumpanginya, sering kali menebarkan daya pikat kepada masyarakat yang masih
berada di desa itu untuk ikut merantau mempertaruhkan nasibnya ke kota. Akhirnya
lewat Lebaran kota mengepung desa dan selepas Lebaran desa mengepung kota.
Atmosfer religiositas
Harus diakui bahwa
selama Ramadan biasanya indeks kesalehan seseorang meningkat. Tidak saja
puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap kebaikan ditunaikan dengan penuh
keikhlasan. Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi bagian tidak
terpisahkan dari hari-hari di Ramadan.
Bahkan selama bulan
puasa, semua stasiun televisi pun menu acaranya menyesaikan dengan spirit
Ramadan. Bukan saja kita 'dikepung' ceramah sebelum buka dan saat sahur,
malah pembawa acara dan segenap artis pun yang biasanaya mengumbar aurat dan
memanggungkan gaya hidup hedonistis, selama Ramadan mendadak menampilkan
dirinya tak ubahnya 'santri' dan bahkan 'ustaz'. Lomba dai dan tahfidz
Alquran dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi menu wajib selama
Ramadan.
Di beberapa tempat
saking semangatnya berpuasa, Satpol PP pun merasa perlu menyisir
warung-warung yang dipandang dapat mengganggu orang-orang yang berpuasa
dengan berlindung di balik perda syariah. Negara tiba-tiba merasa memiliki
kewajiban untuk mengurus ibadah seseorang yang sesungguhnya bersifat
personal.
Namun, harus juga
lekas dicatat, ritual yang dilakukan sering kali berhenti sebatas upacara. Selesai
ritual ditunaikan, selesai pula urusannya. Di persimpangan inilah fenomena
paradoksal itu mencuat. Satu Syawal seolah menjadi katup orang kembali ke
habitat aslinya yang negatif. Nyaris Ramadan itu tak berdampak baik secara
personal, kultural, terlebih sosial. Akhirnya, selamat berlebaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar