Nasionalisme Indonesia, Dulu dan Kini
Boy Anugerah ;
Staf Lemhannas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2016
MENYONGSONG 100 tahun
kemerdekaan Indonesia, konsep nasionalisme ramai dikaji. Nasionalisme
dianggap sebagai roh yang menentukan kemajuan bangsa. Upaya mendudukkan
kembali nasionalisme pada posisi yang tepat menjadi kata kunci. Nasionalisme
perlu diredefinisi sesuai konteks kekinian agar tidak menjadi jargon belaka.
Kemerdekaan Indonesia
70 tahun silam merupakan produk nasionalisme para pejuang kemerdekaan. Mereka
merefleksikannya dengan mengangkat senjata melawan penjajah, juga
berdiplomasi secara piawai di panggung internasional untuk mendapatkan
dukungan negara lain. Muara perjuangan mereka satu, yakni kemerdekaan
Indonesia. Nasionalisme yang mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan tidaklah
sama dengan nasionalisme yang muncul di Eropa. Nasionalisme Indonesia
merupakan kristalisasi keinginan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang
merdeka, dibungkus perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa tertindas.
Bung Karno menyebut
nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme Timur yang berbeda dengan
nasionalisme Barat. Nasionalisme Barat merupakan produk masyarakat peralihan,
dari agraris ke industri. Sebagai negara industri baru, mereka membutuhkan
eksistensi dan logistik untuk mendukung kepentingan nasional. Oleh sebab itu,
penjajahan menjadi metode yang dipilih. Ratusan tahun Indonesia dibelenggu
penjajahan, menjadi sisi gelap nasionalisme dengan pemahaman yang berbeda.
Pergeseran makna
Penting bagi bangsa
Indonesia saat ini untuk duduk sejenak merenung, mengapa mantra nasionalisme
pada awal kemerdekaan begitu ampuh mengantarkan Indonesia kepada tujuannya.
Bahkan setelah kemerdekaan, nasionalisme kembali menjadi mantra sakti yang
menyatukan segenap perbedaan untuk bergerak bersama mengisi pembangunan.
Seperti kunci bertemu dengan gemboknya, nasionalisme Indonesia pada masa
kemerdekaan berada pada posisi tepat, bahkan menjadi antitesis Nasionalisme
Barat yang keliru. Pertama, nasionalisme Indonesia dibungkus perasaan
tertindas sebagai bangsa terjajah.
Suka tidak suka,
perasaan tersebut mampu mengeliminasi segenap perbedaan menjadi kekuatan
dahsyat untuk mengusir penjajah. Kedua, keinginan hidup bersama dalam tatanan
yang lebih teratur secara sosial dan politik merupakan modal dasar
diperjuangkannya bentuk negara merdeka dan berdaulat. Ketiga, nasionalisme
Indonesia bergelora begitu dahsyat karena memiliki musuh bersama, yakni kaum
penjajah.
Menjelang usianya yang
ke-71 tahun, konteks nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran makna.
Pergeseran ini mensyaratkan bahwa metode yang dipilih tidak sama dengan
sebelumnya. Dari sisi politik, sistem pemerintahan belum mampu mewujudkan
cita-cita masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Parpol sebagai mesin
demokrasi masih terbelenggu oleh kepentingan oligarki. Tak mengherankan jika
produknya ialah pemimpin yang belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat. Korupsi
menjadi agama baru yang semakin masif pemeluknya, dari birokrat hingga
parlemen, kelas teri hingga kelas kakap. Dari sisi sosial budaya, generasi
muda lebih piawai menyanyikan musik ngak-ngik-ngok (mengutip istilah Bung
Karno) ketimbang lagu nasional. Ruang publik juga bergeser dari taman kota ke
mal yang begitu menggoda syahwat konsumerisme.
Nasionalisme Indonesia
semakin sulit menemukan bentuk idealnya jika dikaitkan dengan tata politik
internasional saat ini. Pascaruntuhnya Uni Soviet pada dekade 1990-an, dunia
bergerak dari sistem bipolar menjadi multipolar. Negara-negara menjadi
interdependen satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri. Perubahan besar
kembali terjadi ketika fenomena globalisasi yang dicirikan dengan kemudahan
di bidang komunikasi dan informasi semakin menihilkan batas-batas negara.
Orientasi dan tantangan
Merujuk pada kondisi
tersebut, nasionalisme Indonesia dituntut tidak hanya berorientasi ke dalam,
yakni penguatan identitas sebagai bangsa dan negara Indonesia saja seperti
halnya pada awal kemerdekaan, tapi juga berani melihat ke luar sebagai bagian
dari dunia internasional. Di sinilah titik rentan nasionalisme Indonesia.
Peran serta Indonesia
dalam berbagai badan atau organisasi supranasional menuntut Indonesia untuk
tetap mampu mempertahankan kedaulatan dan identitas nasionalnya. Kencangnya
arus globalisasi juga berpotensi menghadirkan ancaman terhadap nasionalisme
Indonesia. Nilai-nilai budaya asing dengan mudah diadopsi tanpa disaring
generasi muda melalui televisi, radio, dan beraneka ragam gawai yang semakin
canggih. Akibatnya, perilaku mereka semakin jauh dari nilai-nilai budaya
ketimuran.
Mendudukkan
nasionalisme Indonesia kini seyogianya berkiblat pada empat konsensus bangsa,
yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, begitu pendapat
beberapa kalangan. Sayangnya, bangsa ini kerap mengalami amnesia sejarah.
Nasionalisme yang dibutuhkan Indonesia ialah nasionalisme yang mampu menjawab
permasalahan saat ini yang semakin kompleks.
Pertanyaan paling
mendasar untuk merumuskan nasionalisme Indonesia hari ini ialah, apakah kita
masih merasa sebagai satu bangsa? Penindasan terhadap golongan minoritas
(Syiah, Ahmadiyah), upaya memisahkan diri dari beberapa wilayah di Indonesia
(OPM, Gafatar), banyaknya aksi terorisme dan radikalisme, merupakan
autokritik terhadap semangat kebangsaan Indonesia kini. Apakah sistem
politik, ekonomi, dan sosial budaya saat ini tidak mampu membuat rakyat
merasa bangga sebagai bangsa dan negara Indonesia? Rasanya kurang relevan
memperkukuh nasionalisme hanya melalui wacana imagined community jika sebagian masyarakat masih hidup dalam
kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
Nasionalisme merupakan
konsep yang merujuk kepada bangsa, sebagai entitas sosial dan budaya.
Berbicara mengenai bangsa berarti berbicara mengenai segenap elemen, tanpa
kecuali. Nasionalisme Indonesia begitu kuat pada masa lalu karena konsepsi
bangsa lebih banyak merujuk pada beragam suku di tanah air yang menyatukan
tekad dan semangat melawah penjajahan. Konsepsi bangsa hari ini bersifat
lebih luas dan terfragmentasi.
Ada dikotomi
masyarakat timur dan non-timur merujuk pada ketimpangan pembangunan ekonomi. Ada
terminologi kaum kaya dan kaum miskin merujuk pada stratifikasi sosial dan
ekonomi di masyarakat. Ada istilah masyarakat urban, rural, perbatasan,
terluar, terpencil merujuk pada posisi geografis dan aksesibilitas terhadap
sumber daya. Muncul istilah gerakan parlementer dan nonparlementer, penguasa
dan masyarakat madani merujuk pada perbedaan pihak yang menjalankan tata
politik dan pemerintahan di Tanah Air.
Kompleksitas
kepentingan dan fragmentasi inilah yang menjadi tantangan saat ini.
Penempatan korupsi, terorisme, dan narkoba sebagai musuh bersama dapat
menjadi engine of unity segenap
elemen bangsa yang berbeda. Nasionalisme Indonesia hari ini juga selaiknya
bersifat holistis, inward looking
dan outward looking.
Menyitir perkataan
Soekarno, nasionalisme dan internasionalisme adalah dua sisi berbeda dari
keping yang sama. Nasionalisme Indonesia harus mampu berkontribusi dalam
mewujudkan tata masyarakat yang sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan.
Kontribusi ini memiliki peran ganda bagi penguatan nasionalisme Indonesia.
Pertama, kita terhindar dari Chauvinisme yang menganggap bangsa sendiri lebih
tinggi daripada bangsa lain. Kedua, peran serta di panggung internasional
menjadi sarana untuk menyosialisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam empat konsensus bangsa Indonesia.
Tulisan ini tak hendak
menghadirkan satu obat mujarab yang dapat menyembuhkan beragam permasalahan
kompleks terkait dengan nasionalisme Indonesia hari ini. Tulisan ini juga
hanya mengajak agar kita sadar begitu pentingnya memperkukuh nasionalisme
dalam mencapai tujuan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar