Jokowi, Susi, dan Titik Balik Kedaulatan Maritim
M Fajar Marta ;
Wartawan, Editor, Kolumnis
|
KOMPAS.COM, 02 Juli
2016
Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah lautan mencapai
3.257.483 km persegi dan luas daratan sebesar 1.922.570 km persegi. Ini
berarti, dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan. Jika zona ekonomi
eksklusif (ZEE) ikut diperhitungkan, maka luas lautan menjadi sekitar 7,9
juta km persegi atau 81 persen dari seluruh wilayah Indonesia.
Panjang pantai negeri
ini mencapai 95.181 km. Jika dibentangkan di Eropa, maka wilayah Indonesia
akan menutup wilayah Inggris hingga laut Kaspia dekat Iran. Karena luasnya
didominasi oleh lautan, maka sebagian besar perbatasan Indonesia dengan
negara lain berada di perairan.
Ada sepuluh negara
yang berbatasan laut dengan Indonesia yakni India, Malaysia, Singapura,
Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua
Nugini (PNG). Adapun yang berbatasan darat hanya sebagian kecil yakni dengan
Malaysia di Pulau Kalimantan, Papua New Guinea (PNG) di Pulau Papua, dan
Timor Leste di Pulau Timor.
Dengan modal kekayaan
maritim itulah, Nusantara pernah berjaya saat era kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit. Selama beratus-ratus tahun, keduanya menjaga dan memanfaatkan
lautan Nusantara untuk berdagang dan mensejahterakan masyarakatnya.
Pada puncak
kejayaannya di abad ke-12, Sriwijaya meliputi seluruh wilayah lautan di
sekeliling pesisir Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, pesisir timur Indocina,
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Filipina sebelah
selatan. Bahkan, dengan penguasaan atas perdagangan maritim di Lautan
Indonesia, sejak abad ke-9 banyak penduduk Nusantara bepergian ke Pulau
Madagaskar di lepas pantai timur Afrika dan menetap di sana.
Orientasi berubah
Namun, berabad-abad
setelahnya, dimulai dari masa penjajahan, bangsa ini mengubah orientasinya,
menjadikan daratan sebagai sumber kehidupan. Laut pun dipunggungi dan
cenderung diabaikan.
Hasilnya? Nusantara
tak bisa lagi merengkuh kejayaan di dunia internasional seperti layaknya
Sriwijaya dan Majapahit. Kebanggaan sebagai negeri maritim perlahan-lahan
hilang. Bahkan, kedaulatan Indonesia di laut pun diinjak-injak oleh bangsa
lain.
Selama bertahun-tahun,
laut kita dijajah. Bukan dijajah dalam arti dikuasai secara militer oleh
negara lain. Namun, dijajah dalam arti dikuasai sumber dayanya, terutama ikan
dan biota lain yang melimpah ruah di laut Nusantara. Berpuluh-puluh tahun,
kapal-kapal ikan dari negeri tetangga dengan bebasnya mencuri ikan di
perairan Indonesia. Kekayaan laut Indonesia disedot habis oleh mereka
sehingga hanya tertinggal sedikit ikan untuk para nelayan pribumi.
Tak heran, meskipun
berada di antara kekayaan laut yang melimpah ruah, sebagian besar nelayan
Indonesia justru hidup miskin. Potensi tangkapan ikan lestari di perairan
Indonesia mencapai sekitar Rp 3.000 triliun per tahun. Namun, yang
benar-benar bisa dinikmati bangsa Indonesia tak lebih dari Rp 100 triliun per
tahun. Karena itulah, kontribusi produksi perikanan rata-rata hanya 3,2
persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka yang sangat
tidak wajar untuk sebuah negeri bahari.
Adalah bangsa-bangsa
lain yang paling menikmati kekayaan laut Indonesia. Kerugian Indonesia akibat
penangkapan ikan secara ilegal (illegal
fishing) minimal mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp 240 triliun per
tahun. Satu kapal pencuri ikan dengan kapasitas 100 Gross Ton (GT) bisa
meraup untung 2-2,5 juta dollar AS per tahun karena yang mereka tangkap bukan
hanya ikan tongkol, tapi juga kerang, teripang dan lobster. Sementara, ada
sekitar 10.000 kapal di perairan Indonesia yang berpotensi melakukan illegal fishing.
Titik Balik
Berpuluh-puluh tahun,
lautan nusantara terus “dijajah” dan dikuras sumber daya alamnya oleh bangsa
asing hingga akhirnya tibalah era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berbeda
dengan presiden-presiden sebelumnya, Jokowi memiliki visi maritim yang amat
menonjol.
"Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan
teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai
pelaut pemberani, menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama
Republik Indonesia," kata Jokowi dalam pidato
kenegaraan pertamanya setelah bersumpah sebagai Presiden Indonesia periode
2014-2019 di Gedung MPR/DPR, 20 Oktober 2014.
Tak tanggung-tanggung,
Jokowi pun mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia di masa depan. Dengan
menjadi poros maritim, berarti kegiatan pelayaran, perdagangan, dan bisnis
maritim internasional akan berpusat di Indonesia.
Susi
Saat ditunjuk Presiden
Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sama sekali
tak berpikir bahwa pekerjaannya bakal berkaitan dengan upaya menjaga
kedaulatan Indonesia. Sebab, sepintas tak ada hubungannya antara
menumbuhkembangkan sektor perikanan dan masalah kedaulatan.
“Namun ternyata posisi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
merupakan pilar penting dalam menjaga kedaulatan bangsa,” kata Susi saat
memberi pengarahan kepada para peserta Rapat Koordinasi Nasional Satuan Tugas
115 atau Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal yang berlangsung
29 - 30 Juni 2016 di Jakarta.
Satgas 115 yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 merupakan
penyelenggara penegakan hukum satu atap (one
roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, Bakamla
dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong
sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai
penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.
Menurut Susi yang
merupakan komandan Satgas 115, memberantas illegal fishing bukan sekadar menyelamatkan kekayaan laut
Indonesia, namun lebih penting dari itu adalah menjaga kedaulatan dan
martabat bangsa. Sepak terjang Satgas 115 yang konsisten menangkap dan
menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan telah terdengar di seantero dunia.
Perlahan-lahan dunia
pun mulai menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Kapal-kapal asing kini
harus berpikir seribu kali untuk mencuri ikan di perairan Indonesia. Bahkan,
kini mereka bergidik dengan ketegasan Indonesia dalam menegakkan hukum di
laut. Di sisi lain, aparat dan seluruh stakeholder
yang terkait dengan keamanan maritim terangkat harga dirinya. Begitu pula
para nelayan di seluruh Nusantara. Baru kali ini mereka merasa menjadi tuan
rumah dan pemilik sesungguhnya dari perairan Indonesia.
Karena itulah, kata
Susi, pemberantasan illegal fishing
sangat penting dalam upaya menjaga kedaulatan negara.
“Kalau menjaga ikan saja kita tidak mampu, bagaimana kita mau
menjaga seluruh rakyat Indonesia?” kata Susi bersemangat.
Untuk terus
menggelorakan semangat pemberantasan illegal
fishing, Susi pun mendorong agar penegakan hukum di laut bisa menimbulkan
efek jera. Sejak didirikan pada 19 Oktober
2015, Satgas 115 telah menenggelamkan 176 kapal ikan pelaku illegal fishing. Dari kapal-kapal yang
ditenggelamkan tersebut, 162 kapal berbendera asing, yaitu Vietnam (63),
Filipina (43), Malaysia (30), dan Thailand (21) serta masing-masing satu kapal
bertanda kebangsaan Papua New Guinea, Tiongkok, Belize dan satu kapal ikan
tanpa kebangsaan.
“Sedangkan kapal berbendera Indonesia yang ditenggelamkan
berjumlah 14 kapal. Dalam bulan Juli 2016, Satgas 115 akan kembali
menenggelamkan 30 kapal ikan asing pencuri ikan,” kata Komandan Satgas
115 Susi Pudjiastuti yang juga Menteri kelautan dan Perikanan saat melaporkan
kegiatan Satgas 115 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara Rabu
(29/6/2016).
Selain menenggelamkan
kapal, Satgas 115 juga telah menangani 11 kasus tindak pidana perikanan,
yaitu kasus tindak pidana perikanan di Avona, Wanam, Benjina, Ambon, Timika,
serta tindak pidana perikanan terhadap MV Hai Fa, MV Silver Sea 2, FV Viking,
FV Jiin Horng No 106 dan FV Hua Li 8. Nakhoda FV Gui Bei Yu 10078, salah satu
dari 3 (tiga) kapal Tiongkok yang ditangkap di Natuna, telah dijatuhi hukuman
pidana oleh Pengadilan Negeri Pontianak.
Kegiatan pro yustisia
lainnya yang dilakukan Satgas 115 adalah penanganan korban perdagangan orang
di Benjina, Ambon dan Pontianak.
Jumlah korban
perdagangan orang di tiga wilayah tersebut mencapai 1.152 korban. Korban
berasal dari Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Pemerintah
Indonesia bekerjasama dengan International
Organization for Migration (IOM)
telah memulangkan seluruh korban ke negara masing-masing. Satgas 115 juga
telah membantu para korban mendapatkan pembayaran atas gaji mereka yang tidak
dibayarkan oleh perusahaan senilai total 900.000 dollar AS.
Untuk mengembalikan
kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal, Satgas 115 juga telah
bekerjasama dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Melalui kerja sama
tersebut, diperkirakan terdapat potensi pajak sebesar Rp 209,1 miliar dari
187 Wajib Pajak/pemilik kapal ikan eks-asing.
Dalam operasinya,
Satgas 115 telah membagi empat wilayah operasi berdasarkan tingkat kerawanan illegal fishing, yaitu perairan Aceh,
perairan Natuna, perairan Arafura, serta perairan Sulawesi dan Maluku bagian
Utara. Terkait itu, Satgas 115 membangun Puskodal dengan memanfaatkan
gabungan teknologi satelit dan radar pengawasan kapal perikanan yang dimiliki
TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polisi Air dan Bakamla.
Di samping itu, Satgas
115 juga bekerja-sama dengan mitra negara dan organisasi internasional seperti
Norwegia, Amerika Serikat, Australia, INTERPOL dan UNODC untuk mendapatkan
informasi intelijen mengenai kapal asing yang memasuki perairan Indonesia. Melalui
kerjasama inilah, Satgas 115 berhasil menangkap kapal FV Viking dan kapal FV
Hua Li 8 yang merupakan target pengejaran internasional.
Langkah-langkah
tersebut melengkapi sejumlah kebijakan Susi dalam memberantas penangkapan
ikan secara ilegal. Kebijakan-kebijakan itu antara lain moratorium pemberian
izin usaha perikanan tangkap terhadap kapal ikan eks-asing, pelarangan alat
tangkap yang merusak, audit kepatuhan terhadap 1.132 kapal ikan eks-asing,
serta penegakan hukum yang tegas melalui pencabutan izin, penenggelaman kapal
dan proses penegakan hukum pidana.
Menteri Susi sejauh
ini telah mencabut 291 izin terkait perikanan, membekukan 261 izin terkait
perikanan dan menerbitkan 48 surat peringatan terhadap pemegang izin
pengusahaan perikanan.
Namun, Susi menyadari
masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Pertama, kemampuan
untuk mendeteksi kapal-kapal pencuri ikan masih perlu ditingkatkan. Kedua,
membangun sinergi di antara unsur-unsur Satgas 115 dalam melakukan operasi
patroli gabungan dan penegakan hukum. Ketiga, peraturan perundang-undangan
terkait perikanan perlu disempurnakan agar penegakkan hukum dan penjatuhan
sanksi dapat dilakukan dengan lebih tegas dan mampu menumbuhkan efek jera.
Jika seluruh bangsa
bersatu padu memberantas illegal
fishing dan menegakkan kedaulatan di laut, maka yakinlah cita-cita
menjadi poros maritim dunia bukanlah sekadar mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar