Kabar dari Bangkok
Bre Redana ;
Penulis Kolom UDAR RASA Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 03 Juli 2016
Ada kabar apa dari
Jakarta, ini pertanyaan teman-teman Indonesia yang bekerja di Bangkok, setiap
kali saya mengunjungi kota itu. Terdiri dari para profesional, ada yang
bekerja di hotel, perusahaan asing, bergerak di dunia properti dan lain-lain,
mereka mengakrabi tempat-tempat santai di Bangkok, klub-klub eksklusif,
restoran-restoran dan kafe-kafe yang tengah populer. Pendeknya, mereka sangat
"gaul".
Apa yang harus saya
ceritakan pada kalian, kata saya. Di tengah derasnya arus informasi media
sosial, terlebih bagi kalian yang teknologi dan aplikasi-aplikasinya untuk
urusan informasi selalu gres, apa yang tidak kalian ketahui? Dalam beberapa
hal saya lebih katrok dibanding sebagian besar orang.
Penjual makanan yang
nangis-nangis terkena razia; alat pendeteksi gempa yang dicuri penduduk;
pasangan saleh pembikin vaksin palsu; oknum DPR yang meminta konsulat
jenderal di luar negeri memfasilitasi anaknya; soal PKI yang tiada
habis-habis; tak ada yang mereka tidak ikuti. Semua kabar dari Tanah Air
mereka tangkap-dan terbawa sifat media di zaman ini-segera semua terlupakan.
Begitulah sifat
informasi pada era digital. Ingatan manusia kian pendek, sependek dan sesumir
informasi yang beredar di dunia maya.
Begitu pun cara orang
beropini dan mengekspresikan diri. Dulu orang menulis babad, buku dari Odyssey sampai La Galigo dan Mahabharata,
melakukan penelitian, membeberkan dalam jurnal ilmiah, terus kian pendek
sesuai perkembangan media menjadi artikel ilmiah populer. Lahir para
intelektual empat halaman.
Lalu masuk dunia
digital. Perkembangan media digital membawa konsekuensi lain lagi. Dia bukan
hanya memampatkan tulisan, tapi juga mengubah sistem respons saraf. Tulisan
berupa huruf yang tercetak di kertas bermigrasi ke piksel. Linearitas dunia
buku diganti pola pembacaan hiper-teks. Yang terbongkar dan ambrol kemudian
bukan hanya linearitas itu, tetapi juga kebiasaan kita dalam membaca buku
seperti ketenangan, konsentrasi, perhatian terhadap koherensi, serta aktivasi
logika dan rasionalitas. Yang masih hidup dalam pola itu dianggap lelet, tidak catch up dengan perubahan zaman.
Di luar keunggulannya
dalam kecepatan, media digital sejatinya juga mengakibatkan distraksi pada
otak dalam hal kecakapan otak untuk menginterpretasi teks maupun informasi.
Orang menjadi cenderung menelan apa saja. Yang lebih disentuh oleh media
tersebut adalah emosi, motivasi,
kepercayaan, dan sejenisnya. Itu sebabnya kicauan di Twitter lebih banyak
berisi anjuran moral, petuah, nasihat-semua merasa paling bijaksana sedunia.
Berkhotbah sepanjang hari. Koyo
bener-benero dewe, kata teman saya Mas Pujo. Prek, lanjutnya.
Kisah manusia selalu
menarik. Itu yang melahirkan cerita maupun tayangan-tayangan human interest. Dengan media digital
cerita human interest menemukan
kemasan baru: orang menangis-nangis, melolong-lolong, lahir berita. Semua
bahagia, baik yang nangis, yang memberitakan, yang nonton.
Tentang duduk perkara
tidak semua orang peduli. Percaya pada apa yang didengar, bukan apa yang
dilihat, tanpa kehadiran dan verifikasi, semua ditelan mentah-mentah. Maka
kalau pada ilmu komunikasi dulu dikenal istilah readers, listeners, viewers, kini muncul kosakata baru, haters. Kaum pembenci, penuh
prasangka, subo sito, gede roso.
Teman-teman dari
Bangkok mengajak saya melewatkan sore di lounge
The Siam. Mereka semua puasa, tetapi mereka justru memesankan untuk saya mojito. Itu minuman favorit di sini,
harus coba, katanya. Mereka terbiasa menjalani kekhusyukan puasa di tengah
ingar-bingar dan hedonisme Bangkok. Lolos dari rekayasa politik dan agama.
Kalau harus menulis
cerita human interest, manusia
seperti mereka inilah yang menggerakkan saya. Cerita manusia biasa, dengan
segala kebaikannya. Natural goodness of
human beings, kebaikan alami manusia, begitu istilah Rousseau. Bersama
mereka, tampak kian indah pemandangan matahari tenggelam di balik jembatan
Krung Thon di dekat situ. Selamat
merayakan Lebaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar