Kemenangan
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 03 Juli 2016
Suatu pagi, dua hari
sebelum jatuhnya tenggat tulisan ini, saya menyantap sarapan rohani seperti
biasa. Sarapan yang satu ini telah dilakukan belasan tahun lamanya. Meski
sekarang saya telah hidup puluhan tahun, sarapan macam itu baru belasan tahun
dilakoni. Kalau Anda tanya mengapa, saya cuma bisa menjawab, ”Yaaa…gitu,
deh.”
Duka lara
Pagi itu sarapan yang
disodorkan adalah sebuah ajakan untuk melihat penderitaan sebagai sebuah
sukacita. Sejujurnya bukan sebuah ajakan, melainkan pernyataan yang
menggunakan kata harus. Jadi, saya harus melihat derita sebagai sebuah
sukacita. Saya yakin, Anda tahu reaksi yang terjadi di kepala saya.
Saya protes. Tentu saya
protes di kamar kecil bak sangkar burung itu dan sedihnya protes itu hanya
didengar tembok dan rak buku. Yang protes makhluk hidup, yang mendengar benda
mati. Jadi, bisa Anda bayangkan betapa frustrasinya. Biasanya kalau di
kantor, atau kalau lagi curhat sama teman, selalu ada reaksi dari mereka yang
mendengar.
Reaksi itu lumayan
menolong saya untuk melihat sebuah keadaan dari sudut pandang yang berbeda.
Kadang membantu, kadang meringankan, kadang malah naik pitam. Namun, daripada
sama tembok atau benda mati, memang paling oke dengan sesama manusia. Apa
yang saya protes?
Saya juga yakin
sekali, dalam hal ini, Anda tahu apa yang saya protes. Terutama mereka yang
telah menjalani penderitaan bertubi-tubi dalam bentuk yang beraneka rupa.
Kehilangan orang yang dicintai, mengalami kebangkrutan dari sebuah kehidupan
yang mapan sehingga utang menumpuk, penyakit yang datang silih berganti
seperti pagi dan petang. Sembuh enggak, hidup sehat juga enggak.
Mengalami pelecehan,
penghinaan sedari kecil sampai sekarang, mengalami diskriminasi di dalam
keluarga atau dalam kehidupan sosial, mengalami pencurian, penipuan materi
dan atau penipuan hati oleh pemberi harapan palsu, hidup yang dikuasai oleh
manusia lain, tidak dapat bebas berpendapat.
Dimusuhi karena beda
pendapat dan dianggap orang edan, kesepian yang sangat. Ingin berpasangan,
kok, sampai hari ini tak dapat jodoh. Padahal, ada teman yang pernah
mengatakan kepada saya, sebaiknya manusia itu tidak hidup seorang diri.
Tabur-tuai
Suatu hari, beberapa
tahun lalu, teman saya yang tinggal di luar negeri mengirim pesan tak lama
setelah ia baru saja kehilangan barang-barangnya di dalam taksi. Ia mengirim
pesan sambil bertanya. ”Apa, ya, salahku ini? Kok, kayaknya belakangan ini
ada saja yang hilang.”
Tentu saya mencoba
memberikan balasan yang menyemangati. Tentu saya tak membalas dengan sebuah
kalimat yang memojokkannya. Meski di dalam hati, sejujurnya saya ingin sekali
mengatakan banyaknya kesalahan yang telah ia lakukan.
Maka, pagi hari
setelah sarapan rohani itu, saya memulai hari tidak dengan kekesalan, tetapi
dengan merasa, kok, otak saya enggak bisa mengerti pada penjelasan harus
bersukacita dalam penderitaan. Karena, sebagai manusia, kalau bisa, saya sama
sekali tidak mau menderita. Meski pengalaman hidup sendiri telah membuktikan
kalau itu tak bisa dihindari.
Akan tetapi, disuruh
sukacita dalam hidup yang sengsara itu saya sungguh tidak mudeng alias tidak
mengerti dengan akal saya yang, meski munafik dan enggak pinter-pinter amat,
masih lumayan sehat.
Saya sampai berpikir,
apa yang menyarankan itu adalah manusia yang kehidupan spiritualnya sudah di
langit ketujuh? Sudah dapat berkomunikasi dengan yang Ilahi sehingga mereka
mampu melihat kesengsaraan sebagai bukan hal yang menyengsarakan?
Atau saya ini terlalu
banyak membuat kesalahan seperti teman saya yang kehilangan barang-barangnya
itu? Dosa-dosa saya yang tak terhitung jumlahnya membuat kepekaan kehidupan
spiritual saya begitu amburadul sehingga tak mampu melihat yang duniawi dari
kacamata spiritual? Sehingga saya bisanya cuma protes, cuma bisa ngomong.
Terus, kalau sampai
bisa begitu, apakah itu yang disebut dengan hidup berkemenangan? Tetapi
bagaimana caranya saya bisa seperti penulis buku santapan rohani itu? Apakah
ia sendiri sudah tak punya rasa duka? Dia akan mampu senantiasa bersukacita
atas kehilangan?
Apakah artinya ia
mengharuskan saya menaklukkan keduniawian atau kemanusiaan saya? Apakah,
kalau sampai mencapai tahapan itu, saya masih bisa disebut sebagai manusia?
Apakah maksudnya bahwa penderitaan yang saya alami sekarang adalah hasil dari
kejahatan yang saya lakukan pada masa lalu? Jadi, bisa dikatakan adillah.
Sana menabur yang enggak baik, yaaa…sekarang tuailah yang tidak baik itu.
Jadi, dengan demikian,
saya bisa melihat dan menjalankan penderitaan sebagai sukacita karena itu
memang harga yang harus saya bayar. Bukan begitu? Bukan, ya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar