G-7 dan Tatanan Regional Asia Timur
Satoru MORI ;
Profesor di Departemen Politik
Global,
Fakultas Hukum, Universitas
Hosei, Jepang
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Konferensi Tingkat
Tinggi G-7 telah terselenggara pada 26-27 Mei 2016 di Ise-Shima, Prefektur
Mie, Jepang. Apa signifikansi dari berbagai inisiatif yang dicetuskan
kelompok negara-negara industri maju ini terhadap negara-negara di Asia
Timur? Pada prinsipnya, substansi misi G-7 harus dilihat sebagai upaya
memprakarsai langkah-langkah mewujudkan tatanan masyarakat internasional yang
luhur. Misi ini harus dilihat sebagai upaya untuk mendorong pembentukan
tatanan regional yang akan menyangga pertumbuhan ekonomi Asia Timur.
Baiklah, marilah kita
pelajari terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tatanan internasional.
Tatanan internasional adalah lingkungan stabil yang tercipta dari perumusan
aturan bersama yang dianggap memiliki legitimasi oleh beberapa negara, lalu
bergerak sesuai aturan tersebut.
Norma tatanan regional
Perhimpunan Bangsa-Bangsa
Asia Tenggara (ASEAN) telah sejak lama mengupayakan kerja sama regional
antarnegara di Asia Tenggara, serta berusaha keras untuk mewujudkan
pembentukan Komunitas ASEAN pada 2020. Namun, di Asia Timur aturan yang
mengikat gerakan negara-negara Asia Timur masih sedikit bila dibandingkan
dengan Eropa dan kawasan lainnya. Jadi, tak bisa dikatakan bahwa tatanan
regional di Asia Timur telah terbangun secara memadai.
Alasan di balik hal
ini adalah langkah hati-hati yang diambil beberapa negara Asia Timur atas
aturan atau upaya yang membatasi kedaulatan negara atau yang membatasi
diskresi pemerintah. Sikap berhati-hati seperti itu memang dapat diterima.
Namun, kini Asia Timur
adalah kawasan yang paling membutuhkan tatanan dengan densitas yang tinggi
berdasarkan aturan atau sistem bersama. Sebagaimana diketahui, perekonomian
Asia Timur dan Asia Selatan memiliki prospek untuk tumbuh lebih perkasa
daripada Eropa dan kawasan lainnya. Menurut proyeksi Dana Moneter
Internasional, laju pertumbuhan ekonomi India pada 2017 diperkirakan 7,5
persen, Tiongkok sekitar 6 persen, dan lima negara ASEAN (Indonesia,
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina) sekitar 5-5,5 persen.
Dengan kata lain,
perekonomian Asia mengemban peran memimpin perekonomian dunia, dan upaya menjaga
Asia agar tetap ada di jalur pertumbuhan ekonomi memiliki arti penting bagi
negara lainnya. Berpijak pada kesadaran ini, guna menghadapi risiko
kemunduran dari prospek perekonomian dunia, G-7 telah berkomitmen untuk
memobilisasi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan reformasi struktural,
serta menegaskan kembali niat untuk mendorong perdagangan dan investasi.
Namun, tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Asia Timur tidak bisa dilakukan dengan
mengembangkan kebijakan ekonomi semata. Paralel dengan hal ini, membangun
tatanan regional yang stabil pun sangat penting. Pasalnya, pertumbuhan
ekonomi itu sendiri memang harus disambut baik, tetapi hal itu juga
menimbulkan risiko dari segi keamanan.
Pertama, perekonomian
masing-masing negara yang terintegrasi ke dalam perekonomian global akan
memicu gelombang kompetisi internasional. Kompetisi internasional ini akan
menimbulkan kesenjangan ekonomi dalam negeri masing-masing negara, dan
muncullah risiko. Kesenjangan ekonomi merupakan faktor penyebab terorisme,
radikalisme yang mengusung kekerasan, dan perompakan oleh bajak laut, yang
juga menjadi faktor yang mengancam keselamatan individu.
Kedua, kekuatan yang
terakumulasi melalui pertumbuhan ekonomi masing-masing negara sebagian akan
diinvestasikan pula untuk peningkatan kemampuan penegakan hukum dengan
memanfaatkan militer atau yurisdiksi negara tersebut. Pergeseran kekuatan
membuat ketakseimbangan kekuasaan di wilayah Asia Timur makin kentara. Ada
negara di Asia Timur yang berupaya mengubah kondisi status quo dengan
langkah-langkah koersif. Sebagaimana kita ketahui, di Laut Tiongkok Timur dan
Laut Tiongkok Selatan masalah hubungan antarnegara dalam klaim hak teritorial
dan yurisdiksi laut makin meruncing dan ketegangan makin meningkat.
Dalam kesehariannya,
para pemimpin politik masing-masing negara senantiasa terdesak untuk
mengambil keputusan mengenai bagaimana menangani sisi negatif yang mengiringi
pertumbuhan ekonomi ini. Menghasilkan sesuatu secara cepat memang penting
secara politis, tetapi lebih penting lagi adalah norma apa yang digunakan
untuk melaksanakan kebijakan.
Misalnya, diperlukan
kebijakan keamanan dalam masalah terorisme dan perompakan. Namun, bagaimana
masing-masing negara bisa secara paralel melakukan upaya menangani masalah
kemiskinan dan integrasi sosial dalam rangka melaksanakan norma dalam
keamanan masyarakat akan memengaruhi kestabilan tatanan regional dalam jangka
panjang.
Selain itu, bagaimana
sengketa mengenai hak teritorial dan yurisdiksi laut di atas bisa diselesaikan
sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa secara legal-misalnya prinsip
umum hukum internasional atau proses arbitrase (yang merupakan penyelesaian
damai sengketa)- akan memengaruhi apakah hubungan antara negara-negara di
Asia Timur ditentukan berdasarkan hak atau kewajiban yang ditetapkan dalam
aturan, atau ditentukan oleh besar kecilnya kekuasaan.
Bila kondisi minimnya
aturan atau norma di Asia Timur ini terus berlangsung, sedikitnya kewajiban
barangkali akan memudahkan negara-negara tersebut. Namun, di sisi lain,
terjadi peningkatan risiko munculnya kondisi di mana kekuatanlah yang
berbicara, atau terjadinya situasi yang mengancam pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi
Asia Timur ini menimbulkan berbagai masalah, baik dalam negeri maupun internasional.
Akan tetapi, bila dilihat dari sudut pandang pembentukan tatanan regional,
dalam menangani berbagai masalah tersebut, kita bisa melihat bahwa mendorong
upaya penyebarluasan norma yang berlaku dalam beberapa negara akan melahirkan
kesempatan untuk meningkatkan densitas tatanan regional. Makin tinggi
densitas tatanan regional, pertumbuhan ekonomi Asia akan makin stabil dan
berkesinambungan.
Perlu disebarluaskan
Tentu saja, negara
yang hendak mendorong diterapkannya berbagai norma pasti membutuhkan biaya.
Memerangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja dalam negeri bukanlah hal
mudah. Membangun berbagai kemampuan untuk menghentikan upaya mengubah kondisi
status quo dengan langkah-langkah koersif juga butuh biaya.
Kita harus memandang
serangkaian pertemuan G-7 yang telah disinggung di awal sebagai langkah
mendukung biaya yang dipikul negara-negara yang memiliki keinginan menerima
dan menerapkan norma yang mendukung tatanan regional ini. Selain hendak
memimpin pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), G-7 juga
menyatakan resolusi untuk meningkatkan langkah dukungan terkait kesehatan
internasional.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar