Manusia-manusia Malam Seribu Bulan
Achmad Faqih Mahfudz ;
Penyair; Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 02 Juli 2016
“Malam Lailatul Qadar tidak pernah lewat dalam hidupku setiap
Ramadhan. Masih mau ikut dengan aku? Menunggu yang spektakuler, Ramadhan
tahun ini Monumen Nasional itu akan merunduk, malam lebih indah dari seribu
bulan itu terwujud dalam lentur menara bingkai emas itu. Aku akan memperoleh
Lailatul Qadar Ramadhan tahun ini. Ini merupakan pengalaman keagamaanku yang
luar biasa. Anugerah Lailatul Qadar terwujud di Lapangan Monas."
Ungkapan tersebut
terlontar dari bibir Ibnu, salah seorang tokoh dalam cerpen "Malam Seribu Bulan" karya
Hamsad Rangkuti. Ibnu, lelaki penjual obat di pasar itu, meyakinkan tokoh aku
yang juga narator cerpen tersebut tentang keyakinannya bahwa Lailatul Qadar
adalah sebuah malam ketika Monumen Nasional merunduk, dan siapa pun yang
dianugerahi malam tersebut dapat mengambil emas sebanyak mungkin di pucuknya.
"Tahun ini Monas akan merunduk di depanku. Aku akan
mengikis kepingan emasnya sampai serbuknya sepanci penuh," ucapnya lagi kepada
tokoh aku, meyakinkan.
Entah mendapat ilham
dari mana, Ibnu pun benar-benar begadang dan menunggui malam Lailatul Qadar
itu di Monas di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan. Syahdan, Ibnu benar-benar mendapatkan apa yang dikatakannya.
Sepanci penuh serbuk emas di pucuk Monas berhasil ia dapatkan di malam yang
diyakininya itu sebagai malam Lailatul Qadar. Singkat cerita, ketika shalat
Idul Fitri, bertemulah Ibnu dengan tokoh aku, ia ceritakan segala apa yang
dialaminya berikut apa yang didapatkan di malam itu. Si aku yang sejak awal
tak percaya masih saja tak percaya akan apa yang dikatakan tukang obat
jalanan itu.
Bibir bolehlah
menyangkal, namun hati manusia siapa yang tahu. Dalam perjalanan ke rumah
seusai shalat Id, tokoh aku masih saja gelisah dan kepikiran dengan apa yang
dikatakan Ibnu. Kegelisahan yang menghunjam itu pun mencapai puncaknya ketika
Ibnu benar-benar datang ke rumahnya, membawa segenggam serbuk emas untuknya.
Bukannya menerima dengan bahagia bagian emas yang dijanjikan Ibnu kepadanya
itu, aku justru panik dan buru-buru bergegas ke Monas.
Aku berangkat ke Monas
untuk melihat dan membuktikan apa yang dikatakan Ibnu atau justru ingin
mengikis emas seperti apa yang dikatakan Ibnu, entahlah, tak ada kepastian.
Hamsad membiarkan hikayat dua manusia ini menggantung begitu saja di akhir cerita,
seolah ingin memberikan secelah renung bagi pembaca.
Cerpen "Malam
Seribu Bulan" karya Hamsad Rangkuti yang terkumpul dalam buku kumpulan
cerpen Panggilan Rasul (Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) ini menyuguhkan sebuah potret manusia dan keberagamaannya.
Bahwa bagi sebagian manusia, agama masih saja diukur dengan kemilau
benda-benda. Emas, misalnya. Hingga malam Lailatul Qadar yang diabadikan Al
Quran sebagai malam yang lebih agung dari malam-malam seribu bulan pun
menjadi sekadar malam pesugihan atau malam untuk mendapatkan harta kekayaan
yang diidam-idamkan.
Dalam pemahaman umum
yang sering kali diceramahkan para mubalig atau khatib Jumat di
masjid-masjid, Lailatul Qadar adalah sebuah malam yang berada di bulan
Ramadhan. Ia berada di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir di
bulan Ramadhan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, dunia akan terasa tenang,
tenteram, dan damai apabila malam ini datang. Di malam itu, konon Allah
benar-benar menumpahkan ampunan, rida, dan akan mengabulkan doa-doa apa pun
yang dimunajatkan hamba-hamba-Nya.
Tak heran kemudian
apabila banyak orang menunggu malam ini; merindukan dan mengharap-harap agar
"mendapatkan" malam ini. Mereka menitip harapan pada malam ini,
harapan yang ukhrawi berupa
keselamatan kelak di alam setelah kematian, lebih-lebih harapan duniawi
sebagaimana digambarkan Hamsad Rangkuti pada tokoh Ibnu dan aku dalam cerpen
tersebut.
Cahaya spiritual
Dalam cakrawala
tasawuf, Lailatul Qadar adalah melubernya cahaya spiritual seseorang, yaitu
ketika tabung cahaya rohani telah kebak (penuh) dengan nilai-nilai dan tajalli (manifestasi) keilahian
sehingga dapat dipastikan bahwa dari ujung rambut hingga ujung kaki orang
beruntung itu berhiaskan dengan napas hadirat-Nya.
Dari pemahaman ini,
dapat diketahui bahwa Lailatul Qadar bukan sekadar malam terkabulnya doa-doa,
melainkan malam menyatunya Tuhan dan hamba dalam sebuah getaran rasa rohani
yang tak berhingga. Ketika yang-Ilahi telah mewujud dan menubuh dalam diri
seseorang, saat itulah ia mendapatkan Lailatul Qadar. Ketika nilai-nilai
keilahian telah mengejawantah dalam perangai seseorang, pada momen itulah ia
berada di dalam sebuah ruang dan waktu yang lebih berharga nilainya daripada
malam-malam lain dalam seribu bulan.
Ibn 'Arabi, sufi
sekaligus filsuf agung itu, dalam kitabnya, Tafsir Ibn 'Arabi, memaknai
seribu dalam frasa "seribu bulan" bukan sekadar hitungan jumlah,
melainkan sebagai puncak capaian tertinggi dari sebuah karunia. Artinya,
momen ketika seorang manusia mengalami penyatuan diri dengan yang-Ilahi itu
sebagai momen tak berhingga sekaligus karunia yang tak tepermanai.
Bagaimana tidak,
martabat kemanusiaan sekaligus kehambaan seseorang yang semula imanen
tiba-tiba menjadi transenden di momen ini. Luberan cahaya dari tabung rohani
mengguyur diri seseorang tersebut sehingga laku dan perangainya semata-mata
laku dan perangai keilahian. Manusia yang semula seolah entitas profan
beralih menjadi entitas sakral karena gerak dan diamnya telah tersinari
pancaran keilahan.
Ketika luberan cahaya
rohani itu sudah menjelma perangai dari seseorang, ia tak akan melakukan apa
pun tanpa nilai-nilai keilahian. Ia akan melakukan segalanya dengan cinta dan
kasih sayang. Ketika cinta dan kasih sayang yang merupakan pancaran ilahi ini
sudah menjadi laku kesehariannya, saat itulah keberagamaan seseorang
menemukan hakikatnya, menemukan kesejatiannya, menemukan Lailatul Qadar-nya.
Saat-saat begitu, tak
akan ada lagi seseorang yang mencari kekayaan dalam agama ataupun dengan
agama sebagaimana Ibnu dan tokoh aku dalam cerita "Malam Seribu
Bulan" karya Hamsad Rangkuti di atas, tak akan ada lagi orang yang
meremehkan dan merendahkan orang lain atas nama agama, bahkan tak akan ada
lagi orang yang merasa bahwa keberagamaan dan spiritualitasnya lebih unggul
dari yang lain.
Maka, dengan cerita
"Malam Seribu Bulan", Hamsad menelanjangi keberagamaan kita
habis-habisan. Sikap kita yang masih memosisikan agama sebagai jalan untuk
mendapatkan harta atau apa pun yang bersifat duniawi dikritiknya dalam wujud
Ibnu dan tokoh aku. Hamsad menyindir cara kita dalam beragama yang masih di
wilayah wadah, tidak-sampai-pada isi.
Lailatul Qadar bukan
malam tempat seseorang mendulang peruntungan harta atau apa pun yang bersifat
bendawi, bukan pula sekadar malam yang bertabur pahala hingga mampu mengantar
siapa saja ke surga. Lebih dari sekadar itu, Lailatul Qadar adalah sebuah
suasana rohani ketika antara manusia dan Tuhan-nya menyatu dalam getaran yang
sama, yakni getaran dari melubernya cahaya rohani dari tabung cahaya yang
kebak akan cinta dan kasih sayang sebagai hakikat utama dari dimensi
keilahian.
Ketika seseorang telah
mendapatkan Lailatul Qadar, ia akan melihat segala-galanya dengan tatapan
cinta dan kasih sayang, karena dirinya telah menjadi manifestasi yang-Ilahi
di muka bumi. Jangankan kepada sesama manusia; pada tumbuhan, hewan, dan pada
tiap-tiap ciptaan di semesta raya ini ia akan senantiasa bersikap indah penuh
cinta dan kasih sayang. Tak akan ada lagi kekerasan, tak akan ada lagi
eksploitasi dan perusakan alam, karena ia telah memperoleh karunia Lailatul
Qadar.
Semoga kita,
lebih-lebih kau dan aku, menjadi manusia-manusia malam seribu bulan.
Manusia-manusia yang meraih agama sebagai hulu keindahan dari segenap
tindakan; manusia-manusia beragama yang mendapat luberan cahaya keilahian
berupa cinta dan kasih sayang: seberkas cahaya yang kemudian termanifestasi
dalam perangai keseharian, demi terwujudnya harmoni kemanusiaan di
tengah-tengah perhelatan akbar bernama kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar