Heboh Brexit Guncang Dunia
Fithra Faisal Hastiadi ;
Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI;
Peneliti senior di Komite Ekonomi Nasional 2013-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Juni 2016
BRITAIN Exit atau
Brexit telah menjadi topik yang menghiasi headline
media-media besar di dunia. Betapa tidak, ini ialah salah satu peristiwa
bersejarah yang tidak hanya menentukan nasib Eropa, tetapi juga dunia. Hasil
referendum sementara ini menunjukkan bahwa pro-Brexit mengungguli yang kontra
sebesar 52% berbanding 48% dengan komposisi yang terbelah.
Jika Inggris dan Wales
memilih pro-Brexit dengan persentase 53,4% dan 52,5%, Skotlandia dan Irlandia
Utara lebih memilih untuk tetap di Uni Eropa dengan persentase 62% dan 55,8%.
Memang tidak dominan, tetapi tetap saja hal ini sangat mengejutkan banyak
pihak. Sebelum referendum, pasar sebenarnya sudah cukup yakin bahwa Brexit
ini tidak akan terjadi. Tengok saja data di London Stock Exchange dan pergerakan British pound sterling jelang referendum, semuanya menunjukkan
kecenderungan positif. Artinya pasar tidak pernah menduga bahwa referendum
akan berujung pada kubu pro-Brexit yang menang! Pasar pun gundah, beberapa
indikator utama akhirnya memerah.
Secara institusional,
Uni Eropa seharusnya menjadi pernikahan Katolik di saat cerai itu sesuatu
yang hampir mustahil. Akan tetapi, apa lacur, nasi sudah menjadi bubur.
Memang secara procedural Brexit perlu waktu. Setelah referendum, UK tetap
harus melalui proses yang panjang hingga benar-benar keluar dari Uni Eropa.
Secara institusional, setidak-tidaknya diperlukan waktu dua tahun untuk
melalui serangkaian proses di Uni Eropa. Tidak hanya itu, secara internal di
UK, ada kemungkinan parlemen akan memveto referendum ini meski kemungkinannya
cukup kecil karena hal ini merupakan bunuh diri politik bagi para anggota
parlemen. Jadi, sudah terima saja kenyataan. UK tidak akan menjadi bagian
dari Uni Eropa.
Hal ini tentu
merupakan sebuah proses anti-mainstream dari proses regionalisme yang tengah
terjadi di dunia. Beberapa wilayah Asia Pasifik dewasa ini tengah dalam usaha
yang mengebu-gebu menuju integrasi kawasan, sama seperti Uni Eropa. Lihat
saja skema ASEAN plus, FTAAP, RCEP, dan TPP yang kesemuanya menjadikan Uni
Eropa sebagai padanan untuk maju. Regionalisme dibutuhkan karena memang
proses penyatuan kawasan tidak hanya memperkuat institusi, tetapi juga
memperkuat perekonomian para anggotanya.
Integrasi kawasan
dipandang sebagai upaya efisiensi penggunaan dan alokasi sumber daya kawasan
sehingga hal tersebut bisa memfasilitasi berjalannya sistem pasar
internasional dan isyarat harga, dengan tujuan menjamin alokasi sumber daya
yang efisien, kompetisi internasional, dan menghubungkan keuntungan bagi
semua pihak. Di Uni Eropa sendiri, mobilitas tenaga kerja di dalam kawasan, foreign direct investment (FDI), dan
arus modal-finansial akan semakin terus memainkan peran penting dalam
menopang struktur perekonomian mereka.
Lebih lanjut, studi
dari Hastiadi (2011) membuktikan bahwa penyatuan kawasan menyeimbangkan
pendapatan dan kesejahteraan negara-negara anggotanya. Mekanisme distribusi
pendapatan tersebut terjadi dalam dua cara. Pertama, penyatuan kawasan
meningkatkan standar pendapatan di suatu negara ketika tenaga kerja sebagai
faktor produksi relatif melimpah. Kedua, fragmentasi produk menghasilkan
produktivitas yang tinggi melalui prinsip skala ekonomi. Perdagangan bebas
juga dipicu FDI, yang keuntungannya akan mengalir kembali sebagaimana
kembalinya modal. Walaupun begitu, persebaran ini akan meningkatkan standar
pendapatan melalui naiknya gaji dan tersedianya lebih banyak lapangan
pekerjaan.
Dengan begitu banyak
keuntungan, kenapa harus ada Brexit? Mayoritas beranggapan bahwa Uni Eropa
terlalu banyak mengatur dan UK telah membayar terlalu banyak untuk kenggotaan
mereka tanpa dampak yang nyata untuk kesejahteraan mereka. Sebuah pandangan
yang menurut hemat saya terlalu myopic.
Menurut hitung-hitungan kami di Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UI, potensi kerugian dengan UK keluar dari uni Eropa jauh
lebih besar. Beberapa di antaranya trade
diversion dan investment diversion
yang diprediksikan akan cukup signifikan. Hal ini tentunya akan sangat
mengganggu perekonomian mereka di masa mendatang. Untuk Uni Eropa sendiri,
hal ini tentu akan memantik sebuah fenomena yang disebut efek domino terbalik
(reverse domino effect).
Efek domino pertama
kali diperkenalkan Baldwin (2007) untuk menjelaskan fenomena pembentukan
integrasi kawasan secara sistemis. Di Eropa, bermula dari berdirinya European Coal and Steel Company yang
diprakarsai The Inner Six (Prancis,
Jerman, Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Italia) hingga menggelinding bak
domino memacu negara-negara lain untuk bergabung secara institusional di
dalam skema Uni Eropa. Dari proses sebelumnya yang dipacu pasar (market driven) hingga menjadi sesuatu
yang ajek yang didorong institusi (institusion
driven).
Segenap proses ini
dinamakan Baldwin sebagai efek domino. Nah, lepasnya UK dari Uni Eropa
merupakan antitesis dari itu karena Brexit akan memicu negara-negara anggota
lain berlaku serupa. Tidak percaya? Coba saja tengok berita, belum-belum kita
sudah mendengar Prancis juga akan keluar (Frexit). Layaklah dinamakan sebagai
efek domino terbalik. Habislah Uni Eropa.
Bagaimana nasib dunia
ke depan? Yang jelas di tengah kondisi yang tengah gontai, Brexit ini
alih-alih menolong, justru membuatnya semakin lunglai, lemah tidak bertenaga.
Bagaimana dengan Indonesia? Untungnya kita tidak banyak bergantung pada UK
dan Uni Eropa. Kita punya mainan sendiri, ASEAN plus. Cukuplah UK dijadikan
pelajaran, tetapi jangan sampai skema integrasi yang sedang kita usahakan
terganggu karena peristiwa ini.
Justru, ini peluang
bagi kawasan Asia untuk merengkuh dominasi di dunia, menjadi kutub
penyeimbang baru, di saat masa depan itu masih cerah. Sementara itu, dampak
jangka pendeknya untuk Indonesia dalam hal pergerakan rupiah terhadap euro
dan pound sterling. Rupiah diperkirakan memiliki kecenderungan yang menguat
terhadap kedua mata uang tersebut karena ada potensi pengalihan investasi
keluar Inggris menuju emerging markets, salah satunya Indonesia. Ke depan,
Indonesia, Asia, bisa saja menjadi semakin perkasa asalkan kita bisa
memainkan peran integrasi kawasan dengan baik.
Halo Asia, halo ASEAN,
halo Indonesia, selamat tinggal Uni Eropa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar