Budaya Polisi Tito
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Juni 2016
KETIKA sebuah
masyarakat, bahkan negara terlebih di masa postmodern ini termasuk
institusi-institusi yang dibentuk di dalamnya, mengalami kerumitan besar
karena meningkat dengan tajamnya jumlah masalah, sesungguhnya muncul sebuah
pemafhuman atau komprehensi umum tentang di mana letak titik pusat,
substansi, atau fundamen dari semua masalah itu.
Bukan persoalan teknis
atau teknologi, administrasi atau manajemen, bukan juga soal posisi tawar
politik bahkan soal alokasi finansial yang didapatkannya. Terserah bagaimana
bentuk, posisi, jumlah, atau kualitas dari semua hal tersebut, apa yang
menentukan semua itu berjalan baik hingga dapat menjadi roda pemercepat
pencapaian tujuan, tidak lain tidak bukan: manusia, sebagai operator atau
pelaksananya.
Itulah dasar masalah
saat kita kerap mendengar tentang adanya semacam lack, kekurangan bahkan lenyapnya 'kebaikan dan kebenaran' (yang
menjadi elemen utama dalam moralitas publik) di dalam perilaku, cara
berpikir, sikap hidup, atau penyikapan pada hak dan tanggung jawab tiap
manusia dalam melaksanakan hak dan tanggung jawabnya. Semua yang tersebut di
atas, mulai cara berpikir hingga moralitas, kita paham dengan baik, berhulu
pada sebuah pemahaman tentang satu hal yang sering kita nafikan, marginalkan,
hina atau lecehkan, yakni kebudayaan.
Acuan budaya kabur
Salah satu institusi
yang dalam amatan pribadi saya paling imun, bahkan dapat dikatakan sedikit
'bebal', dalam persoalan kebudayaan di atas, ialah institusi yang bisa
dikatakan terbesar dalam beberapa ukuran. Paling banyak menciptakan isu
miring dan kontroversi, yang menjadi bintang atau selebritis paling top di
televisi saat ini, ialah: kepolisian.
Saya pernah menyatakan
langsung hal di atas kepada salah satu pejabat kepolisian bintang tiga di
sebuah acara bincang TV swasta. Saya tidak mendapat respons, jangankan
memadai, sikap tubuh dan wajah pun dingin saja, seperti patung polisi
perempatan atau polisi jalan raya yang akting 'seram'-nya menghantui para
pengendara.
Itulah yang juga kerap
kita temui dalam hidup sehari-hari. Bukan hal yang aneh, misalnya, saat
rakyat mengalami stres dan frustrasi karena lalu lintas yang supermacet
akibat perilaku ngawur beberapa pengendara, polisi bergeming seperti
mengatakan itu bukan 'jam kerja saya' walau mereka ada tak lebih dari 5 meter
dari pusat macet, di sebuah kantor dengan tulisan jelas yang menyatakan 'siap
melayani'.
Dalam berbagai perkara
yang berkait dengan (kesenian dan) kebudayaan, kita pun menjadi saksi dari
pola tingkah polisi yang seperti tak memiliki ukuran, standar, atau acuan
yang jelas. Hanya perkara sebuah pemutaran film, dengan alasan keamanan yang
standar dan acuannya yang tidak jelas tadi, polisi datang hanya untuk
membubarkan. Belakangan kasus semacam kerap terjadi, mengingatkan kita pada
represi politik pada kebudayaan di masa Orde Baru dulu.
Bahkan belakangan di
pusat kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki, polisi menerapkan regulasi atau
norma yang melarang apa pun bentuk kesenian untuk menyinggung masalah 'ras,
suku, dan agama, hingga soal LGBT'.
Kita masih ingat kasus
bakal pentasnya Lady Gaga beberapa tahun lalu. Peristiwa kesenian dan budaya
ini akhirnya gagal karena tidak diizinkan pihak keamanan (polisi) lagi-lagi
dengan alasan normatif yang sangat kabur 'dapat mengganggu stabilitas
keamanan'. Kesimpulan itu didapat dari masukan berbagai elemen masyarakat,
terutama kalangan agama, kecuali satu: kalangan kebudayaan.
Tampaknya akan jelas,
problem akut dan kronis masyarakat dapat saja membengkak karena penanganan
oleh petugas hukumnya yang juga lebih dulu mengalami disfungsi budaya yang akut
dan kronis. Dalam sejarahnya yang hampir sama dengan republik ini, kita
bersama belum melihat titik terang masa depan kepolisian, setidaknya dalam
dimensi itu.
Harapan Jenderal Tito
Mungkin pesimisme di
atas akan dapat tereduksi ketika Presiden Joko Widodo mengambil pilihan tegas
untuk Kapolri baru dalam satu nama: Tito Karnavian. Jenderal muda dengan
prestasi dan prestise tinggi, kesederhanaan hidup, integritas intelektual
tinggi, dan (insya Allah) komitmen tinggi. Nama ini, yang dalam uji kelayakan
dan kepatutan di DPR, menegaskan program utamanya dalam melakukan pembenahan
internal dalam hal memperketat disiplin, mengurangi atau mengikis sikap hidup
yang hedonis atau perilaku koruptif.
Semua hal yang
menciptakan dekadensi, kemandekan, dan kebebalan polisi di atas sesungguhnya
pantas diamini dan dibantu ketika yang mengucapkan ialah pemimpin
tertingginya. Namun, sadarkah kita semua, tentunya terutama Kapolri baru dan
jajarannya semua, apa yang disebutkan sebagai tujuan utama reformasi internal
itu seluruhnya berakar pada satu kata: kebudayaan?
Artinya, kepolisian
sudah kehilangan argumentasi atau penyikapan apa pun, dalam berhadapan dengan
dimensi budaya dari seluruh objek serta subjek kerja kepolisian. Bukan hanya
itu, mereka sangat membutuhkan.
Akan tetapi, saya
perlu mengingatkan, ketika saya dan teman-teman Mufakat Budaya Indonesia yang
terdiri dari para cendekiawan, budayawan, hingga ulama dan tetua adat senior
Indonesia, bisa diterima semua pucuk pimpinan lembaga negara, mulai presiden,
DPD, hingga mahkamah atau MPR, Kapolri justru enggan dan mewakilkannya pada
salah satu deputi. Saya menolak tegas tawaran yang saya anggap meremehkan
itu.
Saya tidak tahu,
seberapa jauh pemahaman, sikap, atau perilaku budaya Kapolri baru yang
terekam jejaknya selama ini. Sejujurnya, saya belum pernah mendengar rekaman
itu walau sekadar bisik belaka. Apakah Jenderal Tito akan menciptakan rekam
jejak baru untuk itu, berani dan mau menyertakan pertimbangan kebudayaan di
setiap kasus keamanan?
Namun, satu hal yang
tampaknya paling mungkin terjadi, kerumitan dan kompleksitas kepolisian akan
meningkat seiring dengan ketidakpeduliannya pada dimensi budaya tadi. Karena
satu hal utama tidak akan pernah terjadi. Apa pun jargon mereka teriakkan
dengan megafon selebratikalnya: perbaikan atau pembangunan (integritas)
manusia ke arah keluhuran dan kemuliaan (polisi itu sendiri). Inilah
sesungguhnya tugas utama Kapolri: menciptakan kebudayaan dalam institusinya.
Menciptakan manusia
yang penuh integritas sebagai the
public servant atau abdi negara sehingga manusia yang penuh integritas
itu pun akan mampu mendorong tegak integritas publik. Bukankah itu tugas inti
keamanan, atau kepolisian, bukan menegakkan keteraturan dengan menciptakan
ribuan aturan, melainkan menciptakan keteraturan hidup yang ditegakkan tidak
hanya oleh petugasnya (polisi) tapi juga oleh semesta rakyat, sebagai subjek
(objek) dari keamanan itu sendiri?
Bila boleh Anda
menaruh harapan besar kepada Presiden, mari kita mencoba menaruh hal yang
sama kepada Jenderal Tito. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar