Istanbul 2016
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 03 Juli 2016
Istanbul adalah
satu-satunya kota di dunia yang berada di dua benua: Eropa dan Asia. Kota ini
dibelah oleh Selat Bosporus. Selat Bosporus tidak hanya membelah Istanbul,
tetapi celah dalam ini memisahkan dua benua di sudut barat laut Turki.
Cendekiawan Perancis,
Petrus Gyllius atau Pierre Gilles (1489-1555), menyebut Selat Bosporus
sebagai "selat yang mengungguli semua selat; dengan satu kunci membuka
dan menutup dua dunia, dua lautan". Dua dunia adalah Eropa dan Asia,
sedangkan dua lautan adalah Laut Aegea dan Laut Euxine (Laut Hitam).
Mula-mula kota ini,
Istanbul, dikenal sebagai Byzantium. Menurut cerita tradisional, Byzantium
didirikan oleh Byzas, orang Megara. Dalam salah satu versi mitos, Byzas
disebut sebagai putra Poseidon dan Keroessa, putri Zeus dan Io. Ketika
Konstantinus Agung menjadikan Byzantium sebagai ibu kota Kekaisaran Romawi
Timur pada tahun 330, kota itu disebut-sebut sudah berusia 1.000 tahun.
Sejak Konstantinus
menjadikan kota itu pusat kekuasaannya, nama Byzantium kemudian diganti
menjadi Konstantinopel atau kota Konstantinus. Orang Yunani menyebutnya
Constantinopolis. Yang artinya sama, yakni kota Konstantinus. Sejak itulah lahir
Roma Baru; sementara Roma Lama, Kekaisaran Roma di Barat ambruk pada tahun
476. Roma Baru masih bertahan hingga lebih dari 1.000 tahun kemudian.
Baru pada tahun 1453,
di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II (1451-1481), perjalanan Konstantinopel
terhenti. Sultan Mehmet II dengan tentaranya menaklukkan Kekaisaran Romawi
Timur di bawah kekuasaan Konstantinus XI; dan menjadikannya sebagai ibu kota
Kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah), sejak saat itu. Nama Konstantinopel pun
diubah menjadi Istanbul, orang sering menyebutnya sebagai Stamboul.
Sisa-sisa kejayaan
masa lalu-masa Konstantinopel dan Ottoman-masih bisa dilihat dan dinikmati.
Lihatlah betapa megahnya Masjid Biru yang berdiri anggun berhadapan dengan
Museum Hagia Sophia. Masjid Biru yang juga disebut Masjid Sultan Ahmed
berdiri megah dengan enam menara menjulang tegas ke langit. Masjid yang
dibangun di zaman Sultan Ahmed I, tahun 1609-1616, ini dirancang oleh arsitek
Mehmet Aga.
Di seberang Masjid
Biru berdiri tak kalah megahnya bangunan yang lebih tua, Hagia Sophia.
Bangunan pertama didirikan oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 360. Mula
pertama diberi nama Megale Ekklesia (Gereja Besar), tetapi kemudian diberi
nama Hagia Sophia (Kebijaksanaan Suci). Setelah Kekhalifahan Ottoman
berkuasa, selama hampir 500 tahun, Hagia Sophia dijadikan sebagai masjid
besar Istanbul. Hagia Sophia kemudian dijadikan sebagai museum hingga
sekarang ini atas perintah Mustafa Kemal Ataturk, 1935.
Andaikan Hagia Sophia
bisa bicara, maka ia bisa bercerita banyak tentang manusia pada masa lalu;
tentang budaya masa lalu; tentang agama di masa lalu; tentang bagaimana agama
dipraktikkan dalam hidup sehari-hari, dan menjiwai para pemeluknya. Hagia
Sophia melintasi zaman, dari gereja, masjid, menjadi museum. Banyak simbol,
lambang, gambar, dan lukisan serta tulisan yang menjadi bukti kesemua itu.
Sama seperti Masjid Biru, yang pada 30 November 2006 dikunjungi Paus
Benediktus XVI. Didampingi Mufti Istanbul Mustafa Cagrici dan Imam Besar
Masjid Biru Emrullah Hatipoglu, Paus selama beberapa menit berdoa di tempat
itu.
Hal yang sama
dilakukan Paus Fransiskus pada 29 November 2014. Didampingi Imam Besar Masjid
Biru Rahmi Yaran, Paus Fransiskus masuk ke dalam masjid dan berdoa menghadap
ke Mekkah. Itulah "momen adorasi pada Tuhan dalam keheningan",
demikian pernyataan Vatikan ketika itu.
Istanbul sekarang ini,
tahun 2016, tentu beda dengan Istanbul di zaman Hagia Sophia atau di zaman
Masjid Biru. Bahkan, beda dengan Istanbul di zaman Ataturk. Salah satu
warisan Atatürk adalah prinsip "negara sekuler". Prinsip ini
dikenalkannya ketika ia membentuk Republik Turki yang sekuler dan pro Barat
pada tahun 1923 setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman). Prinsip
dasar "negara sekuler" adalah pemisahan antara agama dan negara.
Agama diakui, tetapi
harus dipisahkan dari negara agar tidak dimanipulasi untuk kepentingan
politik. Demikian sebaliknya, untuk menghindarkan terjadinya manipulasi
politik untuk kepentingan agama. Yang lebih mendapat tekanan dalam prinsip
"negara sekuler" ini adalah dunia, pembangunan dunia. Tetapi, sama
sekali tidak mengabaikan agama. Ini sangat berbeda dengan sekularisme.
Sekularisme hanya mementingkan dunia (saeculum)
yang transendental tak ada, tak mendapat tempat.
Dan Istanbul di zaman
Presiden Recep Tayyip Erdogan sekarang ini terasa lain. Paling tidak di tahun
ini saja empat kali terjadi serangan teroris. Ada apa dengan Erdogan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar