Polri vs Mafia Hukum
Bambang Widodo Umar ;
Guru Besar Sosiologi Hukum
Departemen Kriminologi FISIP UI; Pengamat Kepolisian
|
MEDIA INDONESIA,
01 Juli 2016
SETAHUN yang lalu,
dalam upacara peringatan Hari Bhayangkara ke-69 2015 di Markas Brimob, Depok,
Presiden Joko Widodo memerintahkan Polri agar bertindak tegas dan profesional
dalam tugas penegakan hukum. Presiden juga memerintahkan Polri untuk
memberantas praktik mafia hukum di kepolisian. Perintah itu disambut serius
oleh pejabat Polri yang menyatakan akan segera menyelidiki dan menindak
pelakunya. Namun, setelah berjalan satu tahun, kisaran suara mengatakan bahwa
praktik itu masih ada.
Kebijakan Presiden
yang memprioritaskan pemberantasan mafia hukum sangat penting untuk
memperbaiki persepsi internasional mengenai permasalahan penegakan hukum di
Indonesia terutama di kepolisian, tetapi yang lebih substantif ialah untuk
mewujudkan keadilan di masyarakat. Apalagi saat ini perhatian publik dan
media sangat serius terhadap permasalahan hukum sehingga membuat
pemberantasan mafia hukum mendesak untuk dilakukan. Perhatian publik dan
media tersebut dapat dilihat sebagai keinginan besar masyarakat sekaligus
legitimasi atau dukungan penuh kepada Presiden untuk memberantas mafia hukum.
Mafia hukum
Dalam perkembangan
mafia hukum di Indonesia, ada kecenderungan praktik penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) di lingkungan
penegakan hukum semakin leluasa dalam proses penyelidikan, penyidikan,
pembuatan BAP, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga keputusan hakim
hampir dapat ditemui baik di lingkungan kepengacaraan, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan. Ironisnya, para saksi, ahli, atau
akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan dalam persidangan bisa
dipesan sesuai dengan keinginan terdakwa.
Bagai lingkaran setan
(the devil circle), antara oknum
satu dan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling
mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang
mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor itu terus-menerus terjadi
dan dipertahankan, akan selamanya pula rantai mafia hukum sulit diputus dan
dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga
yang memang sejak awal telah 'tersandera' oleh perilaku kelamnya, susah untuk
berani mengambil kebijakan tegas dan menjatuhkan sanksi terhadap rekan kerja
atau bawahannya.
Busyro Muqoddas (2014)
mencatat empat faktor yang menyebabkan sistem peradilan di Indonesia menjadi
terkorup. Pertama, moralitas yang rendah dari aparat penegak hukum seperti
kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya
bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik. Kedua, budaya
politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan
yang feodalistis, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari
masyarakat. Ketiga, apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan
cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut.
Keempat, kriteria dan
proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum
sepenuhnya transparan dan profesional. Kelima, rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas
praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.
Perilaku korup
Dugaan kolusi antara
mafia hukum dan aparat kepolisian terungkap dalam kasus Irjen DS sebagai
tersangka simulator SIM oleh KPK. Dari peristiwa itu, tampak terjadinya
hubungan antara Polri dan mafia hukum disebabkan lemahnya integritas moral
pejabat kepolisian. Ada peluang pertukaran 'kekuasaan' dengan kepentingan
'mafia'. Peluang itu muncul karena 'ketidaktegasan' dan 'tidak konsistennya'
pejabat dalam menerapkan aturan. Kondisi itu menjadi celah untuk melakukan
kecurangan. Apalagi pengawasan juga tidak ketat.
Penyimpangan itu
terjadi dalam lingkup tugas Polri berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) serta public service (pelayanan masyarakat).
Termasuk dalam hal ini penyalahgunaan wewenang oleh pejabat kepolisian yang
melibatkan warga masyarakat yang bukan anggota kepolisian. Dua pola perilaku
korup di lingkungan kepolisian. Pertama pada strata pimpinan, modusnya
cenderung dalam bentuk white collar
crime, sedangkan pada strata bawah dalam bentuk blue collar crime.
Keduanya dalam proses
pembelajaran yang berlangsung lama dan dalam hubungan komplementer.
Terjadinya perilaku korup dalam hubungan komplementer antara pimpinan dan
anggota karena kedua pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi yang
menjamin adanya kebebasan berpikir kritis atas tanggung jawab dan kewajiban
yang diemban (bawahan hanya mengatakan 'siap...
ndan').
Untuk mengatasi polisi
korup yang melekat pada jabatan dan seakan terlindungi oleh hukum memang
tidak mudah. Perbuatan itu mudah dilihat, tapi sulit dibuktikan karena
pelakunya tahu celah-celah hukum yang bisa untuk berkelit. Apalagi di
lingkungan Polri, upaya memberantas mafia hukum lebih bersifat menunggu
daripada inisiatif sendiri. Sejauh itu pula keberhasilan mengungkap secara
transparan dan menindak dengan sungguh-sngguh kurang didukung tekad dari
pimpinan Polri. Banyak kasus korupsi lama belum terungkap. Hal itu
mengindikasikan bahwa sesama koruptor polisi tidak boleh saling mengganggu.
Karena itu, dalam
memberantas mafia hukum, Polri perlu bekerja sama lintas sektoral dengan
organisasi profesi yang menaungi para advokat untuk membantu pengendalian
secara eksternal dalam menghadapi praktik mafia hukum. Hal serupa juga harus
dilakukan dengan Kompolnas dan Komisi Yudisial karena kedua lembaga itu
memiliki kaitan cukup erat dengan tingkah polah mafia hukum.
Mencermati timbulnya
hubungan antara aparat kepolisian dan mafia hukum disebabkan adanya peluang
'penyalahgunaan kekuasaan', dimungkinkan hal itu terkait dengan masalah
strukturisasi dari organisasi Polri. Meluasnya masalah mafia hukum di
lingkungan kepolisian berkaitan dengan besarnya organisasi, dalam upaya
penanggulangan perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekstra operasional.
Di Indonesia model ini pernah dilakukan Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam
Operasi Tertib (Opstib). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar