Jalan Politik Ahok
Romanus Ndau Lendong ;
Kader Partai Golkar
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juni 2016
TEKAD Teman Ahok
mengumpulkan 1 juta KTP untuk memuluskan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok dalam Pilkada DKI 2017 dari jalur independen akhirnya terpenuhi.
Kalau saja Habiburokhman, Ketua DPP Bidang Advokasi Partai Gerindra, ialah
politikus bermutu, hari ini kita menyaksikan pemenuhan janjinya untuk terjun
bebas dari Monas, atau setidaknya meminta maaf karena telah berbohong.
Keberhasilan itu tidak
terlepas dari pencitraan Ahok sebagai pemimpin berkarakter. Meski sarat
kontroversi, Ahok memang magnet politik. Sikapnya tegas tanpa kompromi dan
terkesan garang. Ia haram bersantun ria sekadar menutup kepalsuan. Tanpa ragu
Ahok mengenalkan kultur politik baru; tampil apa adanya, blakblakan dan
berikrar total membela rakyat, bertaruh nyawa sekalipun.
Keteguhan sikap
politiknya berbuah manis. Sulit untuk tidak menyimpulkan Ahok berhasil
memimpin DKI. Pasar Tanah Abang yang kumuh dan lusuh kini menjadi rapi dan
asri. Kalijodo yang sekian lama menyimpan angker dirobohkannya. Bahaya banjir
yang sekian lama membelenggu Ibu Kota secara perlahan diatasi. Andai kata ia
kelak terpilih kembali, Jakarta akan menjadi lebih maju, aman, dan beradab.
Kemandirian masyarakat sipil
Terkumpulnya 1 juta
KTP tersebut sudah melampaui yang dibutuhkan, yakni 523 ribu KTP atau 7,5%
dari jumlah pemilih DKI, yakni 6.983.692 suara. Terkumpulnya 1 juta KTP
merupakan prestasi luar biasa. Bisa saja menjadi dukungan terbesar dalam
sejarah calon independen di negeri ini.
Prestasi itu merupakan
indikasi tumbuhnya kemandirian warga dalam mendewasakan demokrasi. Sejauh ini
demokrasi telah disandera parpol. Pencalonan presiden, gubernur, dan
bupati/wali kota didominasi parpol. Jabatan-jabatan penting seperti menteri
dan lembaga-lembaga tinggi negara juga penuh sesak oleh kader-kader parpol.
Dominasi parpol
berimplikasi luas bagi terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyelenggaraan
negara. Kepala daerah yang diusung parpol berkewajiban untuk 'setor' setelah
terpilih. Mereka tidak leluasa menjalankan tugas karena intervensi parpol.
Inilah penyebab banyak kepala daerah yang terperangkap korupsi. Alhasil,
dambaan rakyat akan pelayanan publik yang mudah, murah, dan berkualitas tak
kunjung terwujud.
Kenyataan ini yang
dilawan Ahok di DKI. Karena terlalu rewel, Partai Gerindra ditendangnya.
Kegemaran PDI Perjuangan untuk mendikte dilecehkannya. Baginya, parpol bukan
mitra yang baik dalam membangun daerah. Lebih jauh, Ahok ingin membuka mata
publik bahwa kehadiran parpol justru membuatnya sulit untuk secara total
membenahi DKI.
Perlawanannya terhadap
parpol semakin mantap ketika ia melirik jalur independen dalam Pilkada DKI
2017. Gayung bersambut, tekad tersebut disambut antusias warga DKI yang
tergabung dalam Teman Ahok. Setahun terakhir, mereka bergerak cepat, bekerja
keras, dan berkorban waktu, tenaga serta dana untuk mengumpulkan KTP warga.
Dalam kaitan ini,
kerja keras Teman Ahok telah membuka mata kita bahwa masyarakat sipil terus
berkembang di negeri ini. Larry Diamond dalam Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation (1994)
menegaskan masyarakat sipil ialah warga yang terorganisasi dan mampu
berkiprah secara sukarela (voluntary),
keswasembadaan (self-generating),
keswadayaan (self-supporting), dan
kemandirian.
Nilai-nilai tersebut
mutlak diperlukan agar masyarakat sipil bisa menjadi kekuatan mandiri,
terbebas dari ketergantungan terhadap negara atau badan lainnya. Dalam kasus
DKI, Teman Ahok sebagai representasi masyarakat sipil berhasil mengimbangi,
bahkan mencegah terjadinya dominasi parpol yang sejauh ini terbukti
menyandera demokrasi.
Pilihan Ahok
Jalan Ahok menuju DKI
1 masih panjang, jauh dari selesai. Dalam pidato perayaan terkumpulnya 1 juta
KTP, Ahok mengatakan lebih baik tidak menjadi gubernur ketimbang mengecewakan
Teman Ahok. Bagi Ahok, nama baik lebih mulia ketimbang kekuasaan. Sangat terang-benderang
di sini betapa tingginya apresiasi Ahok terhadap ketulusan dan kerja keras
warga DKI dalam memberikan dukungan terhadapnya. Ahok memang tidak bisa
jauh-jauh dari rakyat yang setiap saat membelanya dari kegenitan parpol yang
tiada henti menyerang, mencerca, dan mengusik kedudukannya.
Persoalannya, calon
independen bukan jalan mudah. Terkumpulnya 1 juta KTP sama sekali tak
menjamin mulusnya pencalonan Ahok.
Pertama, kewajiban
melakukan verifikasi faktual yang teramat rumit. KPU melakukan verifikasi
terhadap bukti dukungan independen. Jika KPU belum sukses melakukannya, bakal
calon harus menghadirkan pemilik KTP ke PPS. Ini tentu masalah serius. Warga
DKI tidak mudah dihadirkan karena rata-rata sibuk. Padahal waktu yang
diberikan KPU hanya tiga hari.
Kedua, memilih jalur
independen mengandung risiko serius bagi penyelenggaraan pemerintahan di
kemudian hari. Tanpa dukungan parpol, kekuasaan tak akan mampu bekerja secara
efektif. Memilih jalur independen berarti meneruskan konflik Ahok versus
parpol. Bisa dipastikan pembangunan dan pelayanan publik tak akan berjalan
optimal.
Ketiga, memilih jalur
independen di tengah meluasnya dukungan parpol bisa ditafsirkan sebagai
arogansi. Padahal sejak dini NasDem dan Hanura telah mendukungnya tanpa
syarat. Partai Golkar di bawah pimpinan Setya Novanto dengan segera merapat.
PDI Perjuangan harus melakukan 'pertobatan politik' dengan terus menerus
merayu agar Ahok kembali berpasangan dengan kadernya, Djarot Saiful Hidayat.
Jalan politik mana
yang ditempuh, semua berpulang pada Ahok. Jalur parpol tentu lebih realistis.
Pilihan tersebut bukan berarti mengkhianati Teman Ahok. Kekhawatiran parpol
akan menjerat Ahok dengan berbagai ketentuan menjadi tak relevan. Toh Ahok
telah melakukan perlawanan total dan menang terhadap tantangan 106 anggota
DPRD DKI. Semua ini tentu tidak terlepas dari dukungan Teman Ahok.
Di atas segalanya,
Teman Ahok harus menunjukkan kebesaran hati bahwa seluruh dukungannya
bersifat sukarela. Teman Ahok boleh memberikan saran, tapi tidak boleh
mendikte, apalagi menekannya. Dukungan parpol dan Teman Ahok ialah jalan
lapang bagi mantan bupati Belitung ini untuk kembali memimpin DKI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar