Keputusan Arbitrase soal LTS
Arif Havas Oegroseno ;
Deputi Kedaulatan Maritim,
Kemenko Maritim dan Sumber Daya
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Sidang arbitrase Laut
Tiongkok Selatan yang digelar di Permanent
Court of Arbitration, Den Haag, adalah salah satu kasus yang menyita
banyak perhatian berbagai kalangan dunia. Berbeda dengan kasus-kasus hukum
laut internasional lainnya, seperti penetapan batas maritim atau penahanan
kapal, kasus ini terkait langsung dengan suatu kawasan yang akhir-akhir ini mengalami
eskalasi ketegangan dan pihak yang bersengketa adalah negara berkembang.
Filipina yang memiliki
produk domestik bruto (PDB) 272 miliar dollar AS dengan Tiongkok, negara
nuklir dengan PDB 9,4 triliun dollar AS yang memiliki anggaran pertahanan terbesar
kedua di dunia dan memiliki hak veto sebagai anggota tetap Dewan Keamanan
PBB.
Pro dan kontra tentang
yurisdiksi arbitrase, substansi, dan prediksi hasil keputusan kasus ini terus
berkembang, terlebih lagi menjelang hari pemberian keputusannya. Memang
sangat sulit menebak, meramal, memperkirakan, atau memprediksi hasil
keputusan arbitrase.
Prediksi keputusan arbitrase
Bagi Indonesia,
keputusan arbitrase memiliki makna penting karena Indonesia adalah salah satu
negara kawasan yang menghendaki perdamaian, bukan eskalasi ketegangan. Selain
itu, akan terdapat berbagai implikasi keputusan terhadap kepentingan
Indonesia. Dalam konteks inilah, tulisan ini mencoba memberikan prediksi atas
dasar educated guess terhadap hasil
keputusan arbitrase.
Pertama, kapan
keputusan akan diberikan. Sesuai prosedur arbitrase yang dimulai pada Januari
2013 dan adanya keputusan sela tentang yurisdiksi pada Oktober 2015 serta
dimulainya hearing substantif pada
November 2015, keputusan diperkirakan akan diberikan pada Juni atau Juli
2016. Mengingat Juni berakhir dan libur musim panas akan dimulai pertengahan
Juli 2016, kemungkinan besar keputusan akan diberikan pada 10-15 Juli 2016.
Tanggal ini bisa salah, tetapi paling tidak keputusan akan diberikan pada
Juli ini.
Kedua, proses
pemberian keputusan. Arbitrase tak memiliki "ritual" sama dengan
Mahkamah Peradilan Internasional (International Court of Justice) atau
Tribunal Hukum Laut Internasional (International
Tribunal on the Law of the Sea) yang memberikan keputusan melalui persidangan.
Arbitrase diperkirakan hanya akan memberikan keputusan kepada pihak secara
langsung dan kemudian mengumumkannya melalui laman Permanent Court of Arbitration (PCA).
Ketiga, elaborasi
argumen para hakim. Mengingat dalam keputusan sela tentang yurisdiksi telah
dinyatakan secara tegas bahwa yurisdiksi sejumlah permintaan Filipina akan
disatukan dengan masalah substansi gugatan, arbitrase diperkirakan akan
memberikan argumentasi hukum yang sangat komprehensif. Hal ini akan berdampak
terhadap tebalnya keputusan yang mungkin saja berkisar 300-500 halaman.
Keempat, substansi
keputusan. Sangat sulit memprediksi isinya. Namun, apabila dilihat dari
permintaan atau gugatan Filipina, terdapat beberapa hal yang dapat
diprediksikan. Apabila dilakukan dekonstruksi gugatan Filipina, terdapat tiga
gugatan umum dan 15 gugatan spesifik. Ruang editorial ini tentunya tidak
cukup untuk membahas secara rinci 18 gugatan Filipina. Meski demikian,
terdapat beberapa gugatan yang perlu diketahui kita bersama.
Gugatan tersebut
adalah: (a) menyatakan agar hak-hak dan kewajiban negara terkait perairan,
dasar laut, dan fitur maritim di Laut Tiongkok Selatan (LTS) diatur oleh
UNCLOS 1982 dan klaim Tiongkok atas dasar "sembilan garis
putus-putus" (nine-dash line) dinyatakan inconsistent and invalid; (b)
menentukan apakah atas dasar Pasal 121 UNCLOS beberapa fitur maritim yang
diklaim Tiongkok dan Filipina adalah pulau, low tide elevations atau yang
lainnya seperti karang atau beting, dan apakah fitur ini dapat memberikan hak
zona maritim lebih dari 12 mil laut; (c) bahwa klaim Tiongkok atas kedaulatan
dan yurisdiksi dan "historic rights" terhadap wilayah maritim di
dalam nine-dash line adalah bertentangan dengan UNCLOS dan tidak memiliki
efek yang sah terhadap klaim Tiongkok sesuai UNCLOS.
Arbitrase tentunya
akan secara tegas menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban para pihak yang
bersengketa dan juga semua negara pihak UNCLOS 1982 yang terkait zona
maritim, landas kontinen dan berbagai fitur maritim, seperti pulau, karang,
batu, dan terumbu karang, adalah berdasarkan UNCLOS 1982. Hal ini akan
dilakukan arbitrase sebagai suatu restatement prinsip hukum laut
internasional.
Arbitrase tampaknya
akan memberikan interpretasi atas Pasal 121.3 UNCLOS yang mengatur status
batuan dengan rumusan "Rocks which
cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no
exclusive economic zone or continental shelf." Langkah ini diambil karena hingga kini
tidak terdapat suatu kejelasan tentang arti "rocks" atau bebatuan.
Prof Hasyim Djalal pernah memberikan definisi Pasal 121.3 dengan adanya
populasi minimal 50 orang, adanya air tawar, tanah untuk pertanian, dan area
cukup untuk perikanan. Namun, definisi tataran akademis ini perlu mendapatkan
konfirmasi melalui suatu keputusan hukum yang mengikat. Interpretasi tentang
batu yang masuk kategori Pasal 121.3 ini akan memberikan kepastian hukum arti
Pasal 121.3.
Arbitrase diperkirakan
akan memberikan penjelasan, persyaratan, dan penerapan tentang apa yang
dimaksud historic rights dan kaitannya dengan UNCLOS 1982 yang tidak mengenal
apa yang diklaim sebagai historic rights. Hal ini penting bagi kepastian
hukum laut internasional. Arbitrase kiranya akan memberikan penilaian hukum
atas nine-dash line dari sisi legalitas peta dalam sengketa antarnegara serta
keterkaitannya dengan UNCLOS. Yang perlu disimak adalah sikap arbitrase
terhadap status nine-dash line
dalam klaim zona maritim dan apakah arbitrase akan menyatakan secara tegas
bahwa klaim ini invalid atau hanya menyatakannya secara tak langsung.
Dampak bagi Indonesia
Kelima, dampak bagi
Indonesia. Indonesia bukan pihak dalam arbitrase ini dan juga bukan pihak
dalam sengketa kedaulatan di LTS. Keputusan arbitrase hanya akan mengikat
para pihak. Namun, keputusan ini akan memberikan dampak terhadap Indonesia
dari sisi interpretasi UNCLOS baik yang terkait dengan kawasan LTS maupun di
luar LTS.
Keputusan ini akan
memberikan dimensi baru dalam pengelolaan sengketa di LTS. Sementara itu,
interpretasi arbitrase tentang Pasal 121.3 akan berdampak luas bagi Indonesia
sebagai negara kepulauan yang masih memiliki sejumlah batas maritim yang
harus diselesaikan melalui perundingan. Palau, misalnya, masih menggunakan
Helen Reef, suatu gugusan karang di Samudra Pasifik sebagai basis menarik
klaim sejauh 200 mil laut. Apabila arbitrase menyatakan bahwa fitur seperti
ini hanya mendapatkan laut wilayah 12 mil laut, klaim wilayah ZEE Indonesia
di Pasifik mendapatkan konfirmasi hukum yang akan menguntungkan Indonesia.
Interpretasi Pasal 121.3 ini diperkirakan akan dirujuk sejumlah negara dalam
perundingan batas maritim mereka dan pada akhirnya dapat menjadi suatu
yurisprudensi.
Keenam, dampak bagi
lingkungan strategis Indonesia. Arbitrase ini dapat mengarah kepada
polarisasi sikap yang semakin tajam dan apabila tidak dikelola dengan baik
akan menghilangkan kesatuan ASEAN dan sentralitas ASEAN di kawasan. Fakta
bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) bukan sekadar impian dan
diskusi akademik belaka, tidak menutup kemungkinan replikasi hal ini di ASEAN.
Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dan negara ASEAN terbesar yang
selama ini memberikan kepemimpinan gaya tut wuri handayani dan bukan gaya
dominasi di kawasan perlu memainkan peran kepemimpinan guna menjaga kesatuan
dan sentralitas ASEAN.
Terlepas dari prediksi
di atas yang bisa benar semua, salah semua, benar sebagian, atau salah
sebagian, bagi kita yang terpenting adalah sebagai negara pihak UNCLOS,
Indonesia harus patuh pada UNCLOS dan tidak memberikan versi alternatif
UNCLOS dengan mengajukan klaim-klaim maritim yang tak masuk akal. Kekuatan
sebenarnya Indonesia di laut tidak hanya TNI AL, tetapi juga kepatuhan
terhadap hukum internasional karena memang sejak awal negara kepulauan lahir
bukan dari ekspedisi dan ekspansi kekuatan militer, tetapi pada kekuatan
argumen dan pena para diplomat RI.
Arbitrase ini juga
akan sangat baik bagi pendidikan hukum internasional bangsa Indonesia dan
perlu dijadikan suatu materi wajib bagi di kalangan universitas terkait dan
juga pelatihan para penegak hukum di laut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar