Toleransi terhadap Intoleransi
Geger Riyanto ;
Esais; Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan
Konstruktivisme di UI
|
KOMPAS, 02 Juli 2016
Dalam tulisannya di
harian ini (4/6/2016), Mun'im Sirry sempat menyinggung bahwa intoleransi
tengah bersemi sebagai gejala global. Tren di Indonesia, saya curiga, tak
berbeda.
Beberapa kota di
Indonesia, dalam indeks-indeks yang disusun Setara Institute-dan belakangan
Maarif Institute-memang berkembang menjadi kota yang mengakomodasi hak
pusparagam kelompok keyakinan. Studi Abdurrahman Wahid Center-UI juga
menyuguhkan optimisme serupa. Otonomi daerah telah menyemai sejumlah pemimpin
yang kebijakannya merangkul kelompok warganya yang rentan terpinggirkan.
Meski demikian, pada
saat yang sama, tanda-tanda berdeburnya gelombang intoleransi pun tak bisa
ditampik. Ekspresi-ekspresi religiositas yang mengintimidasi menampakkan diri
secara gamblang dan di mana-mana. Dan, yang lebih mengkhawatirkan, ia seakan
dibiarkan atau bahkan didorong aparatus negara.
Meski kita sulit
memperoleh data yang memungkinkan kita secara obyektif membandingkan
frekuensi kasus intoleransi dari waktu ke waktu, intoleransi bukanlah sebuah
norma publik di masa lalu. Peristiwa satu kelompok religius mengancam
kelompok religius lainnya bukannya tak terjadi. Tetapi, setidaknya, ia tak
dipertunjukkan secara telanjang sebagaimana yang tampak menjadi kelumrahan
saat ini.
Hidup dari intoleransi
Mengapa ia
merebak? Di Indonesia, paling tidak,
saya menerka, intoleransi berkembang bukan karena kelompok-kelompok yang
melakoninya ingin melumat kemajemukan sebagaimana yang tampaknya terjadi di
permukaan. Ia tumbuh subur karena ia mempunyai daya untuk menciptakan
alih-alih menghilangkan. Positif alih-alih negatif.
Tentu saja para
aktornya sendiri boleh jadi mempunyai antipati yang tak dapat dikompromikan
terhadap keberadaan kelompok liyan. Namun, dalam keterpautannya dengan
lingkungan sosial yang lebih luas, sentimen kebencian dan ketakutan terhadap
yang lain terbukti merupakan penggerak, penggugah, dan penggalang massa yang
efektif.
Bagi sejumlah pihak,
kita tahu, ini menjadikannya sangat berarti. Ini berarti jalan pintas bagi
politisi untuk memikat massa dan menyabet popularitas. Terlebih, dengan tidak
terbangunnya pelembagaan riil antara basis konstituen dan representasi yang
dipilihnya, retorika-retorika yang dapat menghubungkan secara instan antara
elite dan kelompok pemilih yang paling luas pun menjadi modus mencitrakan
diri yang paling rasional.
Akibatnya, kendati
harus menerabas aturan dan membiarkan hak sosial ekonomi warganya terlanggar,
tak sedikit elite yang memperkenankan intoleransi berkecamuk atau bahkan
turut menyulutnya. Dengan cara ini, ia dapat mempertontonkan keberpihakannya
kepada massa mengambang yang menjadi basis kekuasaannya sejak awal.
Kesempatannya menjadi pahlawan di antara sekelompok warga diperolehnya dengan
mengeksklusi kelompok warga yang lain.
Namun, saya kira,
kecenderungan ini tak terbatas di ranah politik saja. Mengapa organisasi
massa yang mendominasi ruang publik pasca Reformasi bercorak agamis? Sebagian
mengatakan, agama merupakan jubah yang aman untuk membalut kekerasan bermotif
pragmatis. Kenyataannya, ia tak sesederhana itu. Kisah-kisah mereka yang
tergugah bergabung karena organisasi semacam menyediakan wadah perjuangan
memberantas kemungkaran bukanlah hal yang sulit kita temukan.
Artinya, seperti poin
yang telah saya tandaskan sebelumnya, tak banyak perasaan yang keampuhannya
menyamai sentimen religius menisbikan pihak liyan dalam memberikan bingkai
kokoh membangun satu kesatuan sosial yang langgeng. Apabila kita lanjut menelisiknya, di
pelbagai ruang lain pun eksploitasi terhadap intoleransi ini telah menganyam
satu gugus yang dinamakan Scot Lash sebagai ekonomi penanda.
Kebutuhan sosial untuk
merasa lebih dari yang lain memicu seabrek teks, ajaran, serta produk
informasi dan simbolik lainnya, dengan muatan mengecam atau menistakan liyan,
menyerbu konsumen dari kelompok religius. Kecenderungan ini pun tak pandang
apakah kelompok bersangkutan merupakan mayoritas atau bukan. Ia ada pada
komunitas spiritual yang jumlah penganutnya tak lebih dari puluhan kepala
sekalipun, kita tahu.
Masyarakat majemuk
Kemajemukan Indonesia,
selain itu, bukanlah hal yang dengan sendirinya akan menginsyafkan bahwa
sentimen negatif satu komunitas terhadap yang asing tak lebih dari sebuah
pikiran picik. Bagi para advokat pluralisme, pikiran intoleran mungkin tak
masuk akal karena bebal dengan kenyataan keragaman tak terperi negeri ini.
Akan tetapi, bila kita mau mengambil sudut pandang komunitas yang
melakoninya, fakta kemajemukan tidak dengan sendirinya membatalkan wawasan
ideologis mereka.
Kemajemukan justru
dapat ditafsirkan sebagai penanda mereka berada di tengah-tengah medan
perang. Kemurnian agamanya diintai oleh ancaman dari berbagai arah.
Tindakan-tindakan menegakkan hukum mereka sendiri dan dengan tangan mereka
sendiri dianggap sebagai satu bentuk perjuangan. Lebih tepat lagi, dark
justice.
Artinya, intoleransi
di tengah-tengah masyarakat majemuk tak semata merupakan kekerasan yang tak
bermakna. Ia justru sangat bermakna bagi komunitas pelakunya. Ia membersitkan
perasaan heroisme dapat membela agama di tengah karut-marutnya moralitas
masyarakat. Dan, ketakutan keterintimidasian pihak liyan, kendati kita
melihatnya lain, akan dianggap sebagai rekognisi keberhasilan perjuangannya.
Ini berarti para musuh gentar. Perjuangan suci mereka meninggalkan dampak.
Meski demikian,
kenyataannya kemajemukan tak akan hilang dengan tindakan intoleransi seperti
apa pun. Kemajemukan rampung berkat proses sosial yang sangat
kompleks-melibatkan perguliran sejarah, ekonomi, serta politik yang tak
mungkin diputar balik. Namun, hal ini justru berarti kelompok-kelompok
religius tertentu terus-menerus mendapatkan obyek untuk dikonstruksi selaku
liyan-nya-ancaman kemurniannya.
Perjuangan memberangus
kebatilan pun dapat terus-menerus dilakoni dan ini akan menguntungkan
kelompok bersangkutan. Keuntungan yang diperoleh, tentu saja, tak harus
keuntungan yang sifatnya pragmatis. Yang tampaknya lebih banyak terjadi,
perasaan berjuang ini memantapkan keteguhan serta keutuhan kelompok-kelompok
religius tertentu di masyarakat.
Karena itulah, saat
ini tatanan sosial di berbagai daerah Indonesia tengah mengembangkan semacam
toleransi terhadap intoleransi. Kita berada dalam satu situasi di mana
intoleransi dimamah dan diisap untuk keberlangsungan geliat-geliat sosial di
negeri ini, yang merentang dari mobilisasi politik hingga menyemai
wadah-wadah yang memiliki anggota militan.
Apa yang mewujud di
hadapan kita ini memang sebuah tatanan sosial yang aneh, tetapi demikianlah
kenyataannya. Kendati kita bisa memahami alasan kemunculannya, kita tak bisa
menampik bahwa ada kenestapaan yang diakibatkan perlakuan-perlakuan
intoleran. Para korbannya nestapa dan, hal yang sudah jelas, hak mereka
terenggut.
Pada akhirnya,
kasus-kasus intoleransi tak dapat dibenarkan. Semua pihak, bila mereka mau,
bisa merajut narasi perjuangan religius mereka sendiri mengadvokasi
nilai-nilainya di tengah-tengah kepungan kelompok pengancam. Namun, tentu
saja, dengan risiko hal ini menyemai benih-benih konflik terbuka ataupun
sistemik. Dan, hal tersebut, saya kira, bukanlah hal yang bijak bila ia
sengaja diperkenankan di tengah-tengah masyarakat dengan kemajemukan tak terpermanai-Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar