Memaafkan Itu Sehat
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 01 Juli
2016
Agama selalu memberi
pujian kepada orang yang saling memaafkan. Jika berbuat salah jangan
segansegan mengakui kesalahannya serta meminta maaf dan pihak yang dimintai
jangan pelit untuk memaafkan.
Semuanya hendaknya
dilakukan dengan tulus. Bahkan sekalipun terhadap musuh, memaafkan itu
tindakan yang terpuji. Namun ihwal maaf-memaafkan ini pada praktiknya tidak
semudah membicarakannya. Baik meminta maupun memberi maaf itu berat. Jika itu
terjadi antarnegara, praktiknya semakin berat karena ada unsur gengsi dan
harga diri sebuah negara.
Kebenaran ajaran agama
tentang maaf-memaafkan ini tidak sulit dibuktikan secara empiris dengan
bantuan ilmu jiwa. Orang yang hatinya dipenuhi rasa marah, dendam, dan kecewa
kepada orang lain pasti terasa berat membawanya. Bayangkan, orang membawa
beban fisik saja meskipun ringan jika terus-menerus dibawa pasti akan letih,
capai. Lama-lama akan terasa semakin berat.
Begitu juga halnya
orang yang menyimpan kejengkelan dan kebencian di hati, lamalama akan semakin
terasa berat jika tidak dilepaskan. Ada orang yang melepaskan kebencian
dengan cara menumpahkannya kepada orang yang dibenci. Apa yang terjadi? Bisa
jadi akan lepas sementara, tapi setelahnya justru akan membesar jika terjadi
perlawanan balik.
Perhatikan saja,
sering terjadi perkelahian fisik yang bermula dari adu mulut. Akibatnya luka
di hati kian menganga. Makanya cara terbaik mengurangi beban yang menjadi
penyakit hati adalah saling memaafkan. Ketika orang memaafkan dengan tulus,
yang pertama diuntungkan adalah pihak yang memaafkan karena dengan begitu dia
telah menaruh dan membuang beban di hatinya.
Ada sebuah eksperimentasi
yang dilakukan seorang guru kepada murid-muridnya. Mereka disuruh membawa
kentang masingmasing lima biji. Lalu anak-anak diminta menuliskan nama lima
orangyangmerekabenci. Setelah itu dimasukkan di kantong plastik dan dibiarkan
terbuka, tidak bolehdiikat rapat.
Kantongberisi kentang
itu mesti dibawa ke mana pun mereka berada, bahkan juga ketika mau tidur agar
diletakkan di sampingnya atau ke kamar kecil, selama seminggu. Sebelum hari
kelima, anakanak mulai mencium bau kentang busuk. Muncul rasa risi. Mereka
menanti tibanya hari pembebasan, hari ketujuh.
Tiba harinya anak-anak
pergi ke sekolah dengan semangat karena sudah tak tahan lagi dengan bau busuk
itu. Lalu bu guru menyuruh membuang kentang busuk itu. Namun sebelumnya bu
guru bertanya kepada muridmuridnya, ”Bagaimana pengalamanmu dengan
kentang-kentang yang kamu bawa itu?” Murid menjawab, ”Bau Bu, kami tidak
tahan. Seminggu serasa lama sekali ke mana-mana diikuti bau busuk.”
Bu guru pun meneruskan
nasihatnya. Begitulah contoh nyata yang sudah mereka rasakan dan alami
sendiri bahwa jika anak-anak itu menyimpan hati busuk berupa kebencian, iri,
dan dengki, mereka sendiri yang akan tersiksa dan merugi. Tapi begitu kentang
busuk itu dibuang, legalah hati anak-anak semua.
Merasa terbebaskan
dari penderitaan bau busuk. Begitu juga halnya jika anak-anak menjaga hatinya
selalu bersih, saling memaafkan, pasti hati serasa lapang dan hidup nyaman
dijalani. Demikianlah, di balik perintah agama agar kita saling menolong dan
maaf-memaafkan, secara empiris ternyata kebaikannya kembali kepada manusia.
Allah tidak mengambil
keuntungan dari kebaikan hamba- Nya, tidak juga dirugikan atas kejahatan
hamba-Nya. Allah tetap Maha Agung, terlepas manusia akan menyembah- Nya
ataukah tidak. Allah tetap Maha Kaya dan mandiri, apakah hamba-Nya mau
bersyukur atau mengingkari anugerah rezeki- Nya. Maaf-memaafkan ini tidak
saja ketika datang hari Lebaran, tetapi jika ingin hidup sehat, setiap saat
sebaiknya hal itu kita lakukan jika kita merasa terjadi gesekan dengan keluarga
atau teman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar