Dari "Gelombang
Ketiga" hingga Tesis Anti Perang
Ninok Leksono ;
Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS, 03 Juli 2016
"Kita harus mencari cara yang sama sekali baru untuk
berpegangan mengingat semua akar tua-agama, bangsa, komunitas, keluarga, dan
atau profesi-sekarang ini guncang akibat dorongan akseleratif yang dampaknya
serupa badai."
"Yang paling buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang
tidak bisa membaca dan menulis, tetapi yang tidak dapat belajar, melepaskan
(unlearn), dan belajar ulang (relearn)."
(Alvin Toffler, seperti dikutip kantor berita Associated
Press/USA Today, 29/6)
Alvin Toffler bukan
nama yang asing di Indonesia. Pengamat dan peminat kajian perubahan sosial,
ekonomi, dan teknologi di sini familier dengan sosok yang dikenal sebagai
futuris ini dan karya-karyanya.
Jika sebelumnya
masyarakat Indonesia hanya mendengar tentang Toffler dari karya-karyanya,
khususnya Future Shock (1970) yang terjual 5 jutaan buku, juga Third Wave
(1980), pada September 1988 pengagumnya bisa bertatap muka langsung dengan
sosok yang berbicara santun ini, bersama dengan istri dan kolaboratornya,
Heidi Toffler.
Toffler lahir di New
York, 4 Oktober 1928, dan besar di Brooklyn. Ia anak laki-laki satu-satunya
dan yang tertua dari dua anak pasangan Sam dan Rose Toffler, yang merupakan
imigran dari Polandia. Bakat menulisnya sudah ia asah sejak usia dini: ia
mulai menulis puisi dan cerita tidak lama setelah belajar membaca dan
bercita-cita ingin jadi penulis sejak usia 7 tahun.
Diawali "Future Shock"
Dengan buku Future
Shock yang dengan gamblang menggambarkan bagaimana manusia dan lembaga pada
akhir abad ke-20 harus menghadapi ketegangan yang sangat kuat namun juga
peluang besar akibat munculnya perubahan cepat, Toffler mendapat kemasyhuran.
Buku ini yang
merupakan hasil pengkajiannya selama lima tahun atas kekalutan kultural yang
melanda AS dan negara-negara maju diterjemahkan dalam puluhan bahasa.
Ramalannya tentang konsekuensi perubahan cepat terhadap peradaban, keluarga,
pemerintahan, dan ekonomi sangat akurat. Di buku itu ia menerawang
perkembangan kloning dan berpengaruhnya komputer pribadi, juga penemuan
internet, dan TV kabel.
Setelah Future Shock masih muncul Third Wave (1980) yang menjadi wacana
hangat di Indonesia. Buku ini menjelaskan tiga Gelombang Peradaban, yakni
Gelombang Pertama (8000 SM-1700), yakni dari era manusia nomaden hingga
manusia menetap dan membuka lahan pertanian, lalu Gelombang Kedua (1700-1970)
dari Revolusi Industri ke era komputer besar, dan Gelombang Ketiga (1750-2000-an)
dari era komputer mainframe ke
komputer pribadi.
Saat Toffler
berkunjung ke Jakarta, September 1988, penulis sempat menanyakan, bagaimana
dengan tumpang tindih Gelombang di sebuah negara seperti Indonesia, di mana
satu wilayah baru memulai era pertanian setelah nomaden, sementara wilayah
lain sudah menanyakan ramalan bintang ke kota maju di AS? Toffler menegaskan
bahwa di AS yang sudah menikmati Gelombang Ketiga juga tetap ada pertanian,
tetapi pertanian yang berciri Gelombang Ketiga. Di AS petani sudah
memanfaatkan teknologi informasi untuk mengetahui pola cuaca, atau mengikuti
perkembangan harga komoditas.
Dalam berbagai seminar
pada masa itu Prof Iskandar Alisjahbana meringkaskan Gelombang Ketiga Toffler
dengan menyebut ciri utamanya bahwa peradaban di Gelombang ini ditandai
dengan dominannya sejumlah teknologi: penerbangan dan eksplorasi angkasa
luar, telekomunikasi dan pengolahan data, bioteknologi dan rekayasa genetika,
serta nuklir dan energi terbarukan. Keempatnya ditopang oleh teknologi mikroelektronika.
Setelah Third Wave masih muncul Powershift (1990), ada juga Adaptive Corporation, tetapi sekadar
menarik ke dimensi keamanan dunia, mendiang Toffler juga menulis War and Antiwar (1993). Dalam buku ini
dikupas prospek perang di masa kini, yang antara lain ditandai dengan
pergeseran dari geopolitik ke geoekonomi, yang dicirikan oleh makin eratnya
temali dalam hubungan antarbangsa. AS dan Tiongkok bisa saja makin tegang
menyangkut Laut Tiongkok Selatan, tetapi Tiongkok adalah mitra dagang utama
AS. Mengingat ketergantungan ekonomi ini, muncul pertanyaan penting, apa iya
kedua bangsa masih akan memikirkan perang?
Sementara itu, untuk
informasi, baik juga kita ingat frase masyhur yang ia lontarkan, yakni
"information overload". Ini karena selain kebanjiran informasi,
macam informasi yang berlimpah itu juga-menurut guru jurnalistik Bill
Kovach-bersifat "kabur" (blur, 2013). Bisa dibayangkan betapa berat
beban masyarakat modern yang harus memikul beban informasi melimpah-ruah
namun membingungkan tadi.
Toffler bukannya tak
punya kritikus, tetapi ia diterima luas di berbagai negara. Perdana Menteri
Tiongkok Zhao Ziyang menyelenggarakan konferensi untuk membahas Third Wave
dan tahun 1985 buku ini best seller di Tiongkok, hanya kalah oleh kumpulan
pidato Deng Xiaoping.
Futuris yang menulis
13 buku ini tutup usia dalam usia 87 tahun di rumahnya di kawasan Bel Air,
Los Angeles, Senin (27/6).
Selain dikenang
sebagai guru futurologi, Toffler telah mengilhami pemusik, seperti Curtis
Mayfield dan Herbie Hancock yang menulis lagu berjudul "Future Shock".
Ramalannya tentang
adanya kota artifisial di bawah ombak atau koloni antariksa belum jadi
kenyataan, tetapi tentang Gelombang Ketiga, banyak yang sudah kita alami.
Seperti dikatakan Steve Casse, pendiri AOL, kepergian Toffler adalah satu
kehilangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar