Isu THR dan Perburuhan
Triyono ;
Peneliti pada Bidang Ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan
LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juni 2016
IDUL Fitri akan segera
tiba dan dirayakan berbagai kalangan, termasuk kaum buruh. Perayaan Idul
Fitri merupakan momen yang sangat penting, sebagai sarana silaturahim,
termasuk tradisi mudik sebagai bagian yang tak terpisahkan. Yang pasti,
dengan tingginya pengeluaran akibat harga naik dan banyaknya keperluan,
tunjangan hari raya akan sangat membantu buruh untuk merayakan hari
kemenangan ini. Ibaratnya, ini merupakan kado dari perusahaan kepada buruh
yang harus dibayarkan setiap satu tahun sekali.
Tunjangan hari raya
(THR) yang ditunggu-tunggu buruh pun setiap tahun selalu saja menyisakan
permasalahan, seperti masih adanya perusahaan yang telat membayarkannya dan
bahkan ada perusahaan yang tidak membayarkan THR. Dapat dikatakan masalah THR
merupakan persoalan abadi tanpa ada penyelesaian.
Data Kementerian
Ketenagakerjaan 2015, tepatnya 10 Juli (data sementara), yang merupakan H-7,
tercatat bahwa laporan pengaduan THR kurang lebih ada 150 baik melalui
e-mail, telepon, maupun yang datang langsung ke posko pengaduan THR.
Permasalahan yang terjadi di 2015 juga terjadi setahun sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah pelaksanaan THR tahun ini juga akan mengalami
permasalahan seperti sebelumnya? Permasalahan 2015 seharusnya menjadi cermin
untuk mengatasi masalah THR di 2016. Jika itu diabaikan, kemungkinan tingkat
pelanggaran terhadap pembayaran THR akan meningkat.
Jika permasalahan di
atas dilihat, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, di antaranya
mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan untuk
menggantikan Permenaker No PER 04/MEN/1994 serta membentuk posko pengaduan
THR.
Harus diwaspadai
Perubahan peraturan
ini merupakan angin segar bagi buruh karena di dalam peraturan sebelumnya,
yaitu PER 04/MEN/1994 Pasal 2 Ayat 1, disebutkan bahwa pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara
terus-menerus. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Permen
Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan 'pengusaha wajib
memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja
1 (satu) bulan secara terus-menerus atau lebih.' Permen Ketenagakerjaan No 6
Tahun 2016 merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No 78
Tahun 2015. Untuk mendukung terbitnya permen tersebut, diperlukan pengawasan
yang intensif sehingga buruh mendapatkan THR sesuai dengan haknya.
Pembayaran THR dengan
masa tenggat dibayarkan tujuh hari sebelum pelaksanaan hari raya.
Namun, penulis melihat
peraturan baru tersebut akan menguntungkan buruh karena perlindungan akan
lebih terjamin, tapi justru di sisi tidak menguntungkan perusahaan.
Perusahaan harus membayar buruh yang hanya bekerja dalam kurun waktu satu bulan
secara terus-menerus. Hal inilah yang perlu dicermati jangan sampai adanya
peraturan baru tentang THR tersebut justru menyuburkan pelanggaran pembayaran
THR yang dilakukan perusahaan. Bisa saja perusahaan berdalih seperti tidak
adanya dana dan kontribusi buruh yang belum sesuai dengan target perusahaan.
Dalam menghadapi
permasalahan ini, seyogianya perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa
selamanya THR merupakan hak buruh, baik buruh tetap, kontrak, maupun outsourcing. Jika THR ini tidak mampu
dibayar perusahaan, hubungan industrial bisa terganggu. Dalam beberapa kasus
bahkan permasalahan THR hingga pada tahap persidangan di pengadilan hubungan
industrial.
Di sisi lain, jika
dikaji lebih dalam, pemberian THR ini justru menguntungkan perusahaan karena
pemberian THR akan meningkatkan trust antara buruh dan perusahaan. Akibatnya
produktivitas akan meningkat karena buruh merasa memiliki perusahaan.
Kerekatan sosial
antara buruh dan perusahaan menjadi modal sosial bagi perusahaan untuk
meningkatkan keuntungan. Oleh sebab itu, sangat naif jika masih ada pengusaha
yang menolak memberikan THR. Padahal, pemberian THR hanya 1 tahun sekali.
Jika dilihat secara sosial maupun ekonomi, pemberian THR kepada buruh akan
meningkatkan citra/brand sebuah perusahaan.
Peningkatan
citra/brand perusahaan tersebut terjadi karena adanya pembentukan opini yang
terjadi di masyarakat bahwa perusahaan yang memberikan THR merupakan
perusahaan yang bertanggung jawab terhadap buruh.
Apalagi saat ini di
tengah arus informasi yang cepat melalui media sosial, bila ada perusahaan
yang tidak membayar THR akan cepat tersebar di masyarakat. Hal ini tentunya
akan merugikan perusahaan itu sendiri karena akan mendapatkan opini negatif
dari masyarakat sebagai perusahaan yang melanggar peraturan.
Jaminan sosial
Di sisi lain
perusahaan juga harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah terhadap
kemungkinan organisasi massa yang meminta jatah THR. Hal tersebut tentunya
akan berakibat terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar THR bagi buruh.
Di sisi lain, itu juga membuat para investor berpikir ulang untuk
berinvestasi karena faktor jaminan keamanan merupakan salah satu pertimbangan
investor.
THR bisa dikatakan
sebagai jaminan sosial dan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap buruh.
Jika memang ditemukan permasalahan dalam pembayaran THR, langkah elegan yang
dilakukan ialah dengan berdialog, antara buruh dan pengusaha. Dalam dialog
tersebut diharapkan timbul saling pemahaman dan pengertian yang sama di
antara kedua belah pihak. Apalagi, kedua belah pihak merupakan mitra, bahkan
memiliki hubungan simbiosis mutualisme.
Adanya pemahaman akan
hak buruh dan hak perusahaan akan meningkatkan produktivitas. Bahkan jika
perusahaan tersebut berada dalam masa sulit, buruh pun akan mengerti akan
kondisi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi jika ada trust di antara buruh
dan perusahaan. Akhir dari tulisan ini semoga permasalahan THR akan
berkurang, bahkan hilang sehingga akan menjaga kondusivitas nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar