Silang Sengkarut Peta di Laut Tiongkok Selatan
Sobar Sutisna ;
Tim Pakar Utusan Khusus
Presiden untuk Delimitasi Batas Maritim RI-Malaysia; Dosen Universitas Pertahanan
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Kolom Rene L
Pattiradjawane di harian ini, Kamis (16/6), mengangkat persoalan Laut
Tiongkok Selatan dikaitkan dengan peta. Dari sudut pandang pemetaan tulisan
Rene menarik terkait persoalan: (i) sikap dan posisi Indonesia terhadap kasus
LTS, dan (ii) misteri peta.
Persoalan pertama
terkait dengan persoalan kedua. Artikel ini mengangkat persoalan kedua yang
menyimpan misteri dan silang sengkarut peta.
Misteri "Sembilan Garis Putus"
Awal misteri, tahun
1947 ada ketidakkonsistenan peta yang dikeluarkan oleh Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). Ada nine dashed line (NDL, sembilan garis putus-putus), ada
pula 11-DL dan 10-DL. Analisis kartografi menyimpulkan, NDL bukan bagian dari
10-DL atau 11-DL. Demikian pula di era Pemerintahan RRT sejak 1949 yang menerbitkan peta NDL. Tahun 2009, RRT resmi
menyampaikan peta NDL ke PBB, tetapi pada 2013 mengeluarkan peta 10-DL. Apa
maksud RRT mengubah-ubah dashed line di peta LTS?
Misteri peta NDL
terletak pada koordinat dan definisi garis hubung satu titik dengan titik
lainnya. Apakah garis geodesics
atau loxodrome? Dalam ilmu
pemetaan, kedua garis itu beda arti. Misteri lainnya, peta NDL yang
disampaikan ke PBB ternyata mengandung banyak kesalahan.
Juga soal peta 1947
berjudul Map of South China Sea Islands
dan peta 1935 berjudul Map of Chinese
Islands in the South China Sea. Peta 1935 yang dipublikasikan oleh the RoC's Land and Water Maps Inspection
Committee itu mengindikasikan bahwa pulau-pulau di LTS yang tergambar di
dalam peta NDL adalah milik RRT. Sementara pada peta 1947 bisa diartikan
lain.
Apa aturan hukum di
RRT pada waktu itu tentang tanah dan perairannya? Contoh, di Indonesia tahun
1947 lebar laut wilayah setiap pulau didefinisikan tiga mil laut (NM) dari
garis pantai. Hal seperti ini juga dianut di Singapura dan banyak negara di
dunia.
Silang sengkarut peta
dan koordinat NDL terjadi ketika Rene mengekstraksi koordinat NDL dari peta
NDL. Cara itu tak semestinya dilakukan karena penelitian terhadap peta NDL
RRT menunjukkan bahwa peta tersebut banyak mengandung kesalahan geodetik,
geometrik, dan kartografik.
Tentang Atlas Kawasan
Penangkapan Ikan Spratly, benarkah setiap "dash" NDL itu merupakan
sumbu tengah dari setiap area TFG? Dalam hal ini penulis menyinyalir bahwa
penggambaran "blok-blok" di atlas tersebut ada rekayasa oleh non-authorized person.
Makna temuan Rene, menurut penulis, mungkin
RRT tengah memainkan kekuatan peta, the
power of maps. Peta dijadikan alat kekuatan politik dan diplomasi. Peta
dijadikan alat untuk membuat dan mengacaukan persoalan. Indonesia hendaknya
berhati-hati dalam menghadapi RRT dengan the
power of maps-nya.
Selain peta RRT, masih
ada peta-peta yang diterbitkan oleh Malaysia dan Vietnam, serta oleh para
analis geografi politik internasional yang menambah silang sengkarut
persoalan. Perlu dicatat bahwa cara-cara Malaysia dan Vietnam dalam membuat
proyeksi batas maritimnya tidak menghormati Indonesia sebagai negara
kepulauan.
Peta Malaysia 1979,
begitu terbit langsung diprotes oleh banyak negara. Peta tersebut
mengindikasikan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) berimpit dengan batas
landas kontinen. Padahal, menurut UNCLOS, landas kontinen dan ZEE dua rezim
yang berbeda.
Peta Vietnam lebih
eksesif lagi. Vietnam membuat proyeksi batas terluar ZEE-nya hingga di atas
200 mil laut, tanpa menghiraukan keberadaan garis pangkal Kepulauan
Indonesia. Akibatnya, ada satu titik yang hanya berjarak kurang 60 mil laut
dari Pulau Natuna, tetapi lebih 240 mil laut dari Vietnam. Di bagian timur,
Vietnam malah memblok hak maksimal ZEE Indonesia pada jarak 160 mil laut dari
garis pangkal Indonesia.
Kemudian, peta submisi
landas kontinen di atas 200 mil laut di LTS yang diajukan Malaysia dan
Vietnam ke UN-CLCS tahun 2009. Submisi tersebut diprotes RRT karena berada di
wilayah sovereignty RRT. Protes RRT dilampiri peta NDL, tanpa merinci koordinatnya.
Dalam kasus ini Indonesia meminta klarifikasi RRT tentang koordinat NDL.
Peta NKRI dan peta WPP-RI
Peta NKRI memuat garis
batas terluar zona-zona maritim Indonesia sesuai UNCLOS. Khusus di LTS,
proyeksi batas terluar ZEE Indonesia ada yang tumpang tindih dengan tetangga
dan ada yang bisa maksimal. Atas dasar proyeksi tersebut, Indonesia melakukan
penegakan hukum hingga batas terluar. Di LTS, Indonesia tidak pernah mengakui
eksistensi peta NDL.
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia
dilampiri peta dan daftar koordinat titik-titik terluar ZEE Indonesia yang
merujuk peta NKRI. Peta dan daftar koordinat itu jadi acuan penegakan hukum
di ZEE Indonesia.
Lalu, akankah RRT
mengklarifikasi koordinat NDL? Adakah pelajaran dari persoalan silang
sengkarut peta di LTS ini?
Dalam pandangan
penulis, setidaknya ada tiga hal strategis yang perlu perhatian. Pertama,
kepada otoritas negara di bidang polhukam agar memantapkan posisi RI secara
konsisten dalam menghadapi "permainan the power of maps" RRT.
Kedua, kepada otoritas
penegak hukum di laut, perlu memadukan berbagai kekuatan yang ada dengan
menggunakan satu pegangan peta, sesuai dengan kebijakan Satu Peta Kabinet
Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ketiga, kepada
otoritas pemetaan nasional, perlu melakukan kajian tentang peta-peta terbitan
RRT, serta kajian perkembangan hukum lautnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar