Pasca Brexit
Anton Hendranata ;
Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia, Tbk
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Keluarnya Inggris dari
Uni Eropa (Brexit), Jumat (23/6/2016), adalah kado spesial yang menyengat dan
mengguncang perekonomian global. Beragam reaksi, imajinasi, dan letupan emosi
muncul atas peristiwa ini. Inggris dianggap terlalu cepat meninggalkan Uni
Eropa (UE). Beberapa hari sebelumnya, kebanyakan orang masih yakin, Inggris
akan bertahan di UE untuk sementara waktu karena kondisi ekonomi global yang
masih belum kondusif. Lembaga survei terkenal, seperti YouGov, yang teruji
akurasinya, dibuat gigit jari dan tidak berkutik karena hasil prediksinya
meleset dari perkiraan.
YouGov memperkirakan
52 persen penduduk Inggris memilih bertahan di UE. Faktanya, justru
kebalikannya, 52 persen memilih keluar dari UE, unggul tipis (hampir 4
persen) dibandingkan dengan yang ingin bertahan di UE. Ini menyiratkan,
rakyat Inggris mulai bosan dengan keterpurukan UE setelah krisis ekonomi
dunia 2008, yang sulit untuk bangkit. Keluarnya Inggris dari UE agak terasa
aneh. Rumor Inggris akan meninggalkan UE hanya terdengar senyap dan sayup di
awal tahun. Tak seheboh dan sebising rencana kenaikan suku bunga acuan AS
yang selalu membuat panas dingin pasar finansial global.
Kejadian tak terduga
ini tak pelak langsung mengguncang pasar finansial global. Pasar saham dunia
rontok. Dalam sehari, saham di Eropa anjlok 8,6 persen, diikuti Jepang 7,9
persen, AS 3,4 persen, dan Tiongkok 1,3 persen. Indonesia hanya turun 1,1
persen. Demikian pula pasar surat berharga. Imbal hasil naik signifikan
karena harganya turun. Aset finansial secara kolektif pindah ke aset dollar
AS yang risikonya rendah (safe haven) dan logam mulia.
Brexit bukan tak
mungkin akan memaksa dunia merancang dan menata ulang perekonomian global.
Memang ironis, rasa kebersamaan dan kesatuan di UE yang sudah terjalin lebih
dari 43 tahun dinodai perpecahan.
Tak terbayangkan,
bagaimana ke depannya? Dengan bersatu saja, pemulihan ekonomi UE sangat
lambat dan tersendat, apalagi jika akhirnya bercerai, mungkin situasinya
lebih rumit dan buruk lagi. Reposisi aset finansial global kemungkinan akan
segera terjadi, yang bisa menjalar ke dalam perekonomian nasional.
Setidaknya ada empat
pekerjaan besar yang akan dihadapi UE pasca keluarnya Inggris: (1)
penyelesaian finansial antara UE dan Inggris sebagai eks anggota, (2) ancaman
kian melemahnya pemulihan ekonomi UE, (3) potensi kian melambatnya pemulihan
ekonomi global, terutama mitra dagang utama UE, seperti AS, Tiongkok, India,
dan tentu saja dengan UE sendiri (new UE), dan (4) spirit mengikuti keluarnya
Inggris bisa menjalar ke anggota UE lain yang berpotensi memicu bubarnya UE.
Kelihatannya,
solusinya tidak akan mudah dan cenderung menambah kompleksitas masalah perekonomian
UE. Masa depan ekonomi UE terancam makin buruk dan ini akan kian memperberat
pemulihan perekonomian global. Kondisi ini tentunya akan memaksa Bank Sentral
AS (The Fed) harus berpikir ulang dan super hati-hati untuk menaikkan suku
bunga acuannya. Akan sangat logis kenaikan suku bunga AS ditunda dulu dengan
besarannya yang lebih rendah. Tanpa kenaikan suku bunga saja, dollar AS
cenderung dalam posisi menguat, yang makin mempersulit kinerja ekspor AS.
Dampak ke Indonesia
Bagi Indonesia, hal
ini bisa menjadi kesempatan yang baik karena Bank Indonesia akan makin
leluasa menurunkan suku bunganya-yang sudah turun empat kali berturut-turut
sejak awal tahun ini-lebih dalam lagi. Itu pun tidak mudah dan ekstra
hati-hati karena sangat tergantung dengan kondisi fluktuasi rupiah dan
likuiditas di pasar.
Khawatir wajar, tetapi
jangan sampai overdosis, dalam
menghadapi keluarnya Inggris dari UE. Ketergantungan perekonomian Indonesia
secara langsung relatif kecil dengan Inggris, baik dari sisi skala maupun besarannya.
Nilai transaksi ekspor
nonmigas Indonesia relatif sangat kecil, sekitar 1,2 persen, begitu juga
dengan investasi langsung (FDI) hanya sekitar 1,7 persen tahun 2015. Dari
sisi pariwisata, turis Inggris hanya sekitar 2,6 persen dari total turis yang
berkunjung ke Indonesia 2014.
Atas dasar ini,
seharusnya Indonesia lebih mampu mengantisipasi dan memitigasi dampak
negatifnya ke perekonomian nasional dibandingkan Thailand, India, dan Korea
Selatan yang eksposurnya besar ke Inggris. Yang harus diwaspadai guncangan
jangka pendeknya, ketika fluktuasi/gejolak pasar finansial global meningkat,
yang akan merembet pada pasar finansial domestik, yang terlanjur didominasi
oleh investor asing.
Penting untuk
dipahami, walaupun pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 hanya tumbuh 4,92
persen, sebenarnya tidaklah buruk-buruk amat, apalagi kondisi ekonomi global
tidak sesuai seperti yang diharapkan. Peluang perekonomian nasional makin
membaik masih terbuka, dari konsumsi rumah tangga yang sekarang agak lemah.
Ditambah lagi, guyuran pengeluaran pemerintah yang masih menjanjikan melalui
stimulus fiskalnya.
Namun, dari sumber
pertumbuhan yang lain, kelihatannya kita perlu realistis dan tidak berharap
banyak. Investasi masih jauh panggang dari api, begitu juga dengan ekspor
yang masih lemah karena terbatas, dan buruknya permintaan global.
Terobosan jangka pendek
Oleh karena itu, obat
jangka pendek perekonomian Indonesia tampaknya sangat mendesak dan tak bisa
ditawar lagi. Sinyal permintaan masyarakat yang sudah terasa lemah denyutnya
harus diobati segera dengan obat paten, bukan obat generik. Tanpa dukungan
konsumsi yang naik signifikan, tentu akan sulit menggerakkan investasi. Kalau
konsumsi masyarakat berangsur membaik, ada harapan pebisnis/pengusaha akan
meningkatkan produksi dan mendorong investasinya sehingga pendapatan
masyarakat makin membaik.
Apa yang dilakukan BI
dengan menurunkan suku bunga acuan secara agresif memang sangat dibutuhkan
perekonomian nasional. Begitu juga pendekatan makroprudensial dengan menurunkan
giro wajib minimum (GWM) bank, menaikkan batas bawah LFR (loan to funding ratio), dan menaikkan
LTV (loan to value) untuk kredit
perumahan.
Namun, kita juga harus
mewaspadai beberapa statistik berikut: (1) pertumbuhan kredit yang cenderung
turun ke 7,8 persen pada April 2016 dibandingkan akhir 2015 yang 10,4 persen,
(2) naiknya kredit macet dengan rasio kredit bermasalah (NPL) meningkat ke
2,9 persen dari 2,5 persen pada Desember 2015, (3) kredit yang tidak
dicairkan nasabah meningkat 3,6 persen di kuartal I-2016 (Rp 1.236 triliun),
dibandingkan tahun lalu (Rp 1.193 triliun).
Indikator-indikator
ini sangat jelas mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa masalah utama
ekonomi domestik saat ini adalah sisi permintaan. Kebijakan penurunan suku
bunga, GWM, dan LFR lebih erat kaitannya dengan investasi, yang pada dasarnya
adalah penawaran. Hanya LTV kredit perumahan yang dapat mendorong permintaan
masyarakat secara langsung.
Dari pemerintah, 12
paket kebijakan yang sudah diterbitkan juga cenderung berkaitan dengan
investasi dan pembangunan infrastruktur. Ini pun sangat kental berhubungan
dengan sisi penawaran perekonomian, yang baru berdampak pada jangka menengah
dan panjang. Belum lagi, ada banyak pihak menggugat efektivitas dan
implementasi paket kebijakan pemerintah yang terkesan mengawang-awang. Tidak
heran akhir-akhir ini ada desakan untuk mengevaluasi dan menyempurnakan
paket-paket ini.
Stimulus fiskal yang
sifatnya jangka pendek dan bisa mendorong konsumsi baru dari gaji ke-13 dan
14 untuk PNS dan pensiunan. Daya dorong konsumsinya mungkin terbatas ke
perekonomian domestik, karena penerimanya tak banyak, diperkirakan hanya 5-6
juta orang dari 255 juta penduduk.
Terobosan berani
pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong konsumsi masyarakat sesegera
mungkin sambil membangun rasa optimisme buat pelaku usaha. Dulu kita pernah
melakukan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kemudian diganti namanya Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Dengan program ini,
jumlah penduduk miskin yang sekitar 27,7 juta orang (11 persen dari total
penduduk) bisa mendapat uang kontan (cash) dari pemerintah. Biaya yang
dikeluarkan pemerintah mungkin tak lebih dari Rp 20 triliun, tak besar dan
tak terlalu berat buat APBN. Namun, dugaan saya, dampak penggandanya (multiplier) cukup besar dan instan ke
perekonomian nasional melalui peningkatan konsumsi rumah tangga.
Solusi jangka pendek
dengan mendorong permintaan domestik menjadi syarat mutlak untuk bangsa ini
bertahan. Jika gagal memberikan solusi jangka pendek, program jangka menengah
dan panjang yang didengungkan oleh Nawacita akan sirna begitu saja.
Perekonomian kita sudah teruji menghadapi gejolak krisis ekonomi global 2008
karena struktur perekonomian bertumpu pada permintaan domestik. Brexit pasti
mengganggu dan kita harus siap menghadapi risiko terburuknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar