Dilema Raksasa Teknologi Digital
Agus Sudibyo ;
Kaprodi Komunikasi Massa
Akademi Televisi Indonesia
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Lanskap komunikasi dan
informasi yang mengalami perubahan drastis dewasa ini menghasilkan sejumlah
dilema terkait dengan keberadaan raksasa teknologi digital seperti Google,
Facebook, dan Yahoo. Google, misalnya, telah dianggap anugerah bagi banyak
orang. Jaringan mesin pencari dengan jumlah pengguna terbesar di dunia ini
memberi banyak kemudahan komunikasi-informasi dengan kemampuan menyajikan
lautan data dan informasi dengan lingkup nyaris tak terbatas. Googling jadi
modus baru masyarakat modern mencari informasi, mendapat hiburan, memenuhi
kebutuhan hidup, menjalankan profesi, dan seterusnya. Lebih dari itu, Google menginspirasi
banyak orang merintis berbagai jenis usaha berbasis pemasaran dan penjualan
secara daring.
Namun, di sisi lain,
Google juga menimbulkan masalah pelik terkait kedaulatan negara dalam
menerapkan pajak. Mendominasi belanja iklan digital global dengan pangsa
pasar 33,24 persen, Google meraih pendapatan terutama dari layanan iklan google adwords. Sebuah metode beriklan
secara daring yang menjanjikan efektivitas, keterukuran, interaktivitas, dan
adaptasi terhadap tren perubahan perilaku komunikasi masyarakat.
Persoalannya, bagaimana negara menerapkan pajak atas google adwords? Siapa yang berhak menarik pajak, negara asal
pengiklan atau negara asal pemilik aplikasi iklan?
Inilah muasal konflik
antara Google dan otoritas pajak di Eropa belakangan. Kecanggihan inovasi
teknologi di sini bertemu kelihaian dalam menghindari pajak. Transaksi google
adwords di London, misalnya, tak dapat dikenai pajak korporasi Inggris (20
persen) karena hak paten atas aplikasi ini dimiliki perusahaan X di Irlandia.
Pajak korporasi Irlandia (12,5 persen) juga tak dapat diterapkan karena
perusahaan X harus membayar royalti kepada perusahaan Y di Belanda.
Perusahaan Y sebagian kepemilikannya dimiliki perusahaan Z di Irlandia.
Perusahaan Z terbebas dari pajak karena secara legal dimiliki warga negara
Segitiga Bermuda.
Praktik ulang-alik
pajak yang dikenal dengan istilah double
Irish with a Dutch sandwich memicu kemarahan otoritas pajak di Eropa.
Tahun lalu, otoritas pajak Inggris menggugat Google atas tuduhan penggelapan
pajak. Google kemudian bersedia membayar 130 juta poundsterling untuk
pengganti pajak selama 2005-2014. Dana yang mesti dibayarkan Google
seharusnya jauh lebih besar karena penghasilan Google di Inggris periode itu
mencapai 6,8 miliar poundsterling dengan ketentuan pajak korporasi 20 persen.
Dengan latar belakang yang sama, Pemerintah Perancis juga menuntut Google
membayar 1,6 miliar euro untuk pembayaran pajak transaksi Google periode
2011-2015.
Bagaimana Indonesia?
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, Google dan Facebook
menguasai 80 persen belanja iklan digital Indonesia tahun 2015. Dengan total
belanja iklan digital tahun itu mencapai 800 juta dollar AS, dua korporasi
global itu berarti menikmati 640 juta dolar, setara Rp 8,45 triliun.
Pendapatan iklan ini seluruhnya terbebas dari pajak!
Urusan pajak ini tentu
sangat fundamental. Kita berbicara tentang kedaulatan fiskal suatu negara,
serta potensi pendapatan negara yang fantastis besarannya. Kita juga
berbicara tentang iklim berusaha yang timpang di bidang media dan informasi.
Ketidakjelasan skema
pajak iklan digital hampir pasti memengaruhi daya hidup media cetak, radio,
televisi, tanpa terkecuali media daring. Bagaimana mereka dapat bersaing
dengan Google dan Facebook jika yang terjadi adalah perlakuan asimetris
terhadap entitas bisnis yang sama? Mereka menjadi wajib pajak, sementara raksasa-raksasa
global itu terbebas dari pajak sehingga dapat menerapkan tarif iklan yang
ekonomis dan meraih porsi keuntungan lebih besar.
Masalah berikutnya,
tidak ada ketentuan tentang royalti untuk konten jurnalistik yang diagregasi
mesin pencari data. Google dan Yahoo notabene tidak memproduksi informasi
sendiri. Yang mereka lakukan, kurang-lebih, mengagregasi dan mengategorisasi
sumber-sumber informasi digital, termasuk media massa, lalu menyajikan
aksesnya kepada semua orang.
Beberapa upaya
melembagakan royalti atas konten jurnalistik yang diagregasi jaringan mesin
pencari itu sudah dilakukan di Jerman dan Spanyol. Nama regulasinya: hak
cipta untuk media pers. Namun, tak sedikit pihak menentang regulasi ini,
katakanlah pengelola portal berita yang justru merasa dibesarkan oleh
jaringan ini dengan meraih traffic dan indeks darinya. Di sini kita menemukan
dilema lain dalam menghadapi Google. Mau dilawan dia berguna untuk media
konvensional. Tak dilawan dia akan melibas media konvensional.
Dilema berikutnya
terkait dengan dampak negatif revolusi digital. Bahwa Google, Facebook,
Yahoo, dan lain-lain memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan peradaban
masyarakat, tak diragukan lagi. Namun, di saat yang sama, masalah serius
sedang mengancam. Unconscious sindrom, yakni sindrom lupa waktu, lupa
kegunaan dan lupa konteks sehingga senantiasa secara refleks terdorong untuk
memelototi telepon pintar sudah menggejala luas dalam masyarakat. Generasi
muda selalu menjadi target utama. Namun, mereka umumnya belum mendapatkan
pendidikan tentang bagaimana menggunakan telepon pintar secara pintar,
bagaimana menghindari dampak-dampak buruk teknologi internet.
"Generasi muda
perlu mendapatkan pelajaran tentang sejarah, efek sosial, dan bias-bias
teknologi agar mereka tumbuh jadi generasi yang mengetahui bagaimana
menggunakan teknologi, bukan sebaliknya, diperbudak teknologi."
Peringatan Neil Postman tahun 1992 ini sangat relevan untuk konteks teknologi
digital di Indonesia hari ini.
Singkat kata, literasi
media digital mutlak diperlukan, bahkan sudah saatnya dimasukkan dalam
kurikulum pendidikan dasar. Mendidik masyarakat akan kebaikan dan keburukan
teknologi digital bukan hanya kewajiban negara, melainkan juga kewajiban
perusahaan-perusahaan distributor telepon pintar dan produk sampingannya.
Terintegrasi dalam lanskap komunikasi dan informasi global memang tak
terelakkan. Namun, kita perlu menghadapinya dengan bijak agar tidak
semata-mata diperlakukan sebagai pasar bahkan sebagai objek eksploitasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar