Bencana Alam dan Ekoteologi
Tom Saptaatmaja ;
Teolog
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2016
INDONESIA kembali
berduka atas bencana banjir dan longsor yang melanda 16 kabupaten/kota di
Jawa Tengah. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, banjir dan longsor ini dipicu
hujan lebat yang turun sejak Sabtu (18/6) siang hingga malam hari. Bencana
ini menyebabkan 24 orang meninggal dunia, 26 orang hilang dan masih dalam
pencarian, puluhan rumah rusak tertimbun longsor, dan ribuan rumah terendam
banjir. Menurut Sutopo, korban jiwa terbanyak terjadi di Kabupaten Purworejo,
korban jiwa sebanyak 11 orang dan 26 orang hilang. Banjir dan longsor di
Kabupaten Purworejo terjadi di 30 desa dari 16 kecamatan. Tentu jumlah korban
baik yang meninggal maupun terluka masih bisa bertambah.
Bencana alam tersebut
kian menguatkan bukti bahwa status lingkungan hidup kita berada pada posisi
sangat gawat. Apalagi, kalau kita bicara perubahan iklim, dampaknya benar-benar
menyengsarakan banyak orang, seperti tampak pada dampak dari rob atau naiknya
permukaan air laut di berbagai kawasan di Tanah Air. Nelayan tak bisa melaut,
tambak bandeng rusak, hingga padi gagal panen.
Terkait dengan kondisi
kritis lingkungan kita, Ayu Utami, dalam novelnya Bilangan Fu (KPG, Jakarta,
2008, 500 halaman) pernah mengkritisi pandangan agama atau teologi monoteisme
yang justru menjerumuskan dunia dalam bencana karena lingkungan hidup dijadikan
objek untuk dieksploitasi. Monoteisme ditengarai hanya mengajarkan manusia
memperbaiki akhirat, tetapi dengan merusak bumi atau lingkungan hidup.
Novel itu lebih
mengapresiasi ajaran agama-agama tradisional yang animistis yang terbukti
mampu menjaga dan melestarikan alam atau bumi ini. Ini terlihat pada ajaran
'sakralisasi alam' bahwa setiap unsur di dalam alam atau lingkungan hidup,
seperti gunung, hutan, pohon, atau danau memiliki penghuni yang harus
dihormati. Tanpa disadari, ajaran itu justru melestarikan gunung, sungai, dan
hutan yang masih tersisa.
Ajaran sakralisasi itu
bertolak belakangan dengan ajaran teologi tradisional atau agama bahwa
manusia ialah pusat. Manusia seolah mendapatkan mandat penuh dari Sang
Pencipta guna menjaga ciptaan lain atau menjaga dan memelihara keutuhan
ciptaan (integrity of creation). Apalagi,
juga ada ajaran yang lebih menitikberatkan atau memberi aksentuasi pada
eskatologi (hal-hal yang akan datang, seperti kehidupan sesudah mati dan hari
kiamat) sehingga membuat lingkungan hidup kita di dunia saat ini dipandang
sebelah mata.
Teologi seperti itu
makin disalahpahami dalam masyarakat kita yang patriarkis. Rosemary Radford
Ruether mengecam budaya patriarki karena budaya ini memberikan kontribusi
negatif tidak hanya terhadap kemanusiaan perempuan, tetapi juga terhadap
perusakan ibu pertiwi atau lingkungan hidup sepanjang sejarah umat manusia.
Ibu pertiwi atau lingkungan hidup mengalami penderitaan seperti perempuan
dalam sejarah Rosemary Radford Ruether, New Woman/New Earth (1975).
Ekoteologi
Syukurlah agama atau
teologi monoteisme mau mengevaluasi diri dengan merespons aneka kritik
seperti dilontarkan Ayu Utami atau Rosemary Radford Ruether lewat apa yang
disebut dengan ekoteologi. Ekoteologi mencoba menata ulang posisi manusia
sehingga ekoteologi memberi harapan baru bagi penyelamatan lingkungan.
Manusia, dalam ekoteologi tidak dianggap sebagai pusat lagi di alam semesta.
Citra palsu manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lain harus dilepas atau
ditanggalkan. Manusia ialah mitra Tuhan atau sahabat Sang Pencipta guna
menyelamatkan alam atau lingkungan hidup dari kerusakan ekologi yang lebih
parah. Dosa-dosa ekologis manusia modern yang mengeksploitasi bumi dan merasa
memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan ciptaan lain, telah dikoreksi.
Ekoteologi menawarkan
ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganut agama monoteis kini hanya
menjadi pendatang belakangan. Jika pernah ada ajaran yang merusak bumi atau
lingkungan, sebagaimana dilontarkan dalam kritik Ayu, itu terjadi karena
komunitas umat beragama memang sedang menjalani masa transisi dari teologi
terdahulu (tradisional) yang merusak menuju ekoteologi yang menyelamatkan dan
merawat lingkungan (David G Hallman, Beyond
'North/South Dialogue' dalam David G Hallman, Ed, Ecotheology: Voices from South and North (Maryknoll, New York:
Orbis Books, 1994, p 6).
Salah satu pemikiran
ekoteologis paling baru dan layak kita pikirkan tertuang dalam ensiklik
Laudato Si', yang dikeluarkan Paus Fransiskus. Ensiklik berarti surat edaran.
Tradisi menulis ensiklik sudah dimulai Paus Benediktus XIV 1740.
Dalam Laudato Si' (LS)
yang dirilis 18 Juni 2015, Paus Fransiskus menyerukan kepada siapa saja warga
bumi ini untuk mengambil sikap dan aksi nyata demi menyelamatkan ekologi,
rumah bersama umat manusia, dan segenap ciptaan. Subjudul ensklik LS ialah
Merawat Rumah Bersama.
Seperti hendak
merespons kritik Ayu Utami tersebut, Laudato Si' juga mengkritik
antroposentrisme, pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari segalanya.
Seluruh alam dilihat sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Ini
pandangan yang salah dan merusak.
Di dalam tulisannya,
Paus Fransiskus menekankan arti penting dari hewan dan tumbuhan sebagai
bagian dari semesta. Laudato Si' memang bersandar pada spiritualitas Santo
Fransiskus Asisi (1182-1226). Judul ensiklik (Laudato Si') berasal dari
syair-doa Fransiskus Asisi, orang kudus yang memilih hidup sederhana dan
sangat peduli dengan lingkungnn hidup. Ia ialah teladan nyata bagi
pelestarian lingkungan. Di dalam pandangannya, seluruh alam ini ialah
saudara. Binatang ialah saudara. Tumbuhan ialah saudara. Tidak ada perbedaan
dan pertentangan antara manusia dan alam semesta.
Hanya dengan cara
seperti ditunjukkan oleh Fransiskus Asisi, kita bisa hidup dalam ekosistem
bersama yang lestari. Di dalam ekosistem semacam ini, kelestarian lingkungan
hidup bisa terjaga, dan lingkungan coba diselamatkan. Laudato Si' menegaskan
bahwa kepedulian dan tanggung jawab memelihara 'Ibu Bumi' ialah panggilan
kemanusiaan sepanjang masa. Pengelolaan lingkungan mesti memperhitungkan
keadilan antargenerasi. Generasi yang akan datang berhak hidup dari sumber
alam yang sama, anugerah Sang Pencipta.
Maka seiring bencana
alam di Jateng, para pemangku kepentingan di sektor lingkungan hidup di
negeri kita perlu mengakui bahwa selama ini persoalan lingkungan hidup kerap
disepelekan. Di tengah ingar bingar perpolitikan nasional sering kali
komitmen kita pada lingkungan masih tambal sulam. Ekoteologi mengajak kita
untuk lebih serius sekaligus melakukan aksi nyata menyelamatkan lingkungan
hidup kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar