Teman Ahok & Ilusi Kebangkitan Masyarakat Sipil
Hurriyah ;
Dosen Departemen Ilmu Politik
FISIP UI
|
KORAN SINDO, 29 Juni
2016
Sepak terjang Teman
Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk mendukung pencalonan
Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 memunculkan
kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia.
Fenomenalnya sepak
terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi terhadap
Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan,
partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi
Y terhadap oligarki parpol.
Ada juga yang
menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi partai di
Indonesia. Klaim sebagai gerakan relawan (civic
voluntarism) juga beberapa kali disampaikan oleh para pengurus Teman
Ahok, yang kemudian juga diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai kekuatan
masyarakat sipil.
Kebangkitan Masyarakat Sipil?
Jika ditelisik ke
belakang, wacana mengenai kebangkitan sipil mulai banyak disuarakan sejak
beberapa tahun lalu. Momen Pilgub DKI 2012 yang berlanjut dengan Pilpres 2014
diyakini sebagai momentum kebangkitan masyarakat sipil. Saat itu kekuatan
masyarakat sipil muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari koalisi organisasi
masyarakat sipil sampai pada relawan politik— yang juga dianggap menjadi
fenomena baru dalam politik Indonesia.
Aktivisme politik
masyarakat sipil saat itu juga terlihat sangat beragam: ada yang tetap
menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang menjaga integritas pemilu, ada
yang memosisikan diri sebagai kelompok oposisi terhadap kandidat tertentu,
ada juga yang memilih bersikap netral, dan ada juga yang justru melibatkan
diri sebagai pendukung atau bahkan tim pemenangan kandidat.
Menurut Agus Sudibyo,
aktivisme semacam ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pola lama di
mana masyarakat sipil umumnya mengambil jarak dari pertarungan politik
memperebutkan kursi, dan lebih memosisikan diri sebagai “pendamping”
masyarakat (2014).
Boleh jadi, konteks
politik saat itu menjadi salah satu alasan yang menjelaskan mengapa aktivisme
politik masyarakat sipil menguat dan bahkan menjadi partisan. Laporan riset
Puskapol pada Desember 2014 menyebutkan bahwa polarisasi dua kandidat dalam
pilpres mendorong masyarakat sipil mengekspresikan pilihan politik secara
terbuka dan lebih “politis”.
Kemenangan Jokowi
dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 juga tak lepas dari peran aktif masyarakat
sipil. Mereka mewujud sebagai kekuatan politik riil yang tidak hanya
memosisikan dirinya di luar dan berhadapan secara vis a vis dengan kekuatan
besar oligarki parpol, tetapi juga menjadi basis pendukung, pemilih dan
sekaligus menjadi juru kampanye (spoke
person) bagi pasangan Jokowi.
Sekilas, keyakinan
tentang bangkitnya masyarakat sipil tidak terbantahkan. Sefsani &
Ziegenhain (2015) menyebutnya sebagai faktor penentu kemenangan. Pujian yang
agak bombastis bahkan menyebut masyarakat sipil sebagai the political celebrity of the election (bintang pemilu) dan savior of Indonesia’s democracy
(penyelamat demokrasi).
Singkat kata,
keberhasilan masyarakat sipil sebagai mesin yang menumbuhkan semangat
voluntarisme politik, aktivisme individual, monitoring publik, dan aksi
kolektif yang memengaruhi proses pemilu merupakan wujud kebangkitan
masyarakat sipil. Fenomena Teman Ahok pada akhirnya memperkuat kembali
keyakinan soal kebangkitan masyarakat sipil sebagai pivotal player dalam
politik pemilu di Indonesia.
Glorifikasi
Glorifikasi terhadap
masyarakat sipil bukan hal baru dalam diskursus akademik. Mereka sering
dipuja-puji sebagai mesin pendorong demokratisasi, dan diasumsikan memiliki
kon-tribusi positif terhadap demokratisasi. Masyarakat sipil bahkan diyakini
merupakan prasyarat bagi tercapainya konsolidasi demokrasi (Putnam 1993, Gellner 1994, Fukuyama 1996,
Diamond 1999).
Putnam misalnya meyakini
masyarakat sipil yang aktif sebagai obat mujarab (panacea) untuk berbagai penyakit dalam demokrasi, terutama untuk
mengatasi apatisme, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap
institusi pemerintah. Glorifikasi ini belakangan banyak digugat. Omar
Encarnacion (2003) dalam bukunya, The
Myth of Civil Society, mengkritisi pandangan tentang “kesempurnaan”
masyarakat sipil sebagai agen demokrasi sebagai keyakinan bersifat
problematis bahkan nyaris mendekati mitos.
Sebaliknya, keberadaan
masyarakat sipil yang aktif justru bisa menjadi penghambat demokratisasi,
terutama jika demokrasinya masih dikarakterisasi dengan inefisiensi dan
lemahnya institusi-institusi politik. Dalam konteks Indonesia, glorifikasi
masyarakat sipil juga menyisakan banyak persoalan serius.
Politik “partisan”
masyarakat sipil dalam pemilu ternyata membawa dampak pada melemahnya fungsi
pembangunan demokrasi yang semestinya melekat dalam dirinya. Narasi mengenai
keterlibatan masyarakat sipil yang awalnya bicara soal penolakan terhadap
cengkeraman oligarki parpol serta upaya menyelamatkan demokrasi Indonesia
pada akhirnya justru terdegradasi menjadi real partisan: menjadi buzzer dan pembela mati-matian
politisi yang didukungnya.
Bahkan, tak jarang
pembungkaman kritik terhadap pemerintah justru dilakukan oleh sesama kelompok
masyarakat sipil sendiri. Dalam banyak kasus di mana kebebasan bersuara
semakin ditekan dan pelanggaran HAM terus terjadi, sikap masyarakat sipil
terbelah dan cenderung berstandar ganda.
Isu reklamasi dan penggusuran
daerah kumuh di Jakarta misalnya menjadi contoh sempurna yang memperlihatkan
keterbelahan dan standar ganda sikap masyarakat sipil. Agaknya, sikap
partisan saat pemilu menjadi harga mati untuk terus mendukung figur
pilihannya ketika dihadapkan pada situasi di mana kelompok nonpendukung masih
saja gencar memosisikan dirinya sebagai pengkritik utama pemerintah.
Dalam kasus Teman
Ahok, glorifikasi terhadap mereka juga sama problematiknya. Terlepas dari
berbagai apresiasi terhadap keberhasilan mereka, atau bahkan tuduhan-tuduhan
yang dialamatkan kepada mereka belakangan ini, tulisan ini ingin mengingatkan
pembaca agar kita tidak terjebak pada glorifikasi yang bisa jadi ternyata
hanya ilusi.
Karena, aktivisme
masyarakat sipil yang sesungguhnya semestinya didasarkan pada dukungan
terhadap gagasan (ideas), bukan
figuritas (persona). Bagaimanapun
Ahok adalah politisi. Rekam jejaknya sebagai politisi jauh lebih mudah
ditelusuri dan menjadi bukti daripada imaji yang dibangun dan dipoles lewat
proses branding dan marketing yang boleh jadi juga
mengandung ilusi.
Praktik trial and error dalam berdemokrasi
selama 17 tahun terakhir semestinya cukup memberi kita pelajaran bahwa
percaya pada Mesias politik tidak akan membawa kita sampai pada cita-cita
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar