Polri, Profesionalitas & Teknokrasi
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD masa bakti
2014-2019;
Guru Besar pada PTIK dan UI
Jakarta
|
KORAN SINDO, 01 Juli
2016
Pertengahan Mei lalu
media massa sempat memberitakan pendapat pribadi seorang anggota kepolisian
RI di media sosial yang menyatakan bahwa polisi Indonesia memiliki kemampuan
lebih baik daripada polisi Amerika karena sudah mampu menangkap banyak
penjahat walaupun tidak secara optimal menggunakan teknologi.
Pendapat tersebut
menyiratkan bahwa masih ada anggapan di tubuh Polri yang melihat penggunaan
teknologi sebagai hal sekunder dalam penyusunan pembuktian apabila dibanding
dengan pengakuan yang didapat dari tersangka. Justru sebaliknya, kondisi
dewasa ini sebetulnya menuntut Polri untuk secara cepat dan masif mengadopsi
berbagai perkembangan teknologi untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Kebangkitan kesadaran
penggunaan teknologi dalam jajaran Polri, khususnya reserse, sebetulnya sudah
menemukan momentumnya melalui keberhasilan pengungkapan kasus bom Bali satu
setengah dekade lalu. Dihadapkan pada berbagai spekulasi pada saat itu, Polri
di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar berhasil mengungkap
kasus yang menewaskan lebih dari 200 jiwa dengan menggunakan pendekatan
teknologi.
Penulis, selaku
gubernur PTIK kala itu, segera menuangkan proses penyidikan yang modern dan
canggih ke dalam buku berjudul Langkah-Langkah Penyidikan Ilmiah Kasus Bom
Bali. Buku tersebut sampai saat ini masih menjadi referensi bagi penyidikan
ilmiah di institusi kepolisian.
Kejahatan adalah
bayangbayang peradaban (Ismail 2009)
sehingga dengan perkembangan “masyarakat informasi” yang pesat dewasa ini
sudah sepatutnya aparat kepolisian cepat beradaptasi dengan perubahan
teknologi dan memperluas kapasitas digital (digital capacity) yang melembaga. Penggunaan teknologi di
institusi kepolisian tidak saja terkait pada penyelesaian kasus kejahatan,
namun juga terkait dua aspek yang lebih luas: masalah internal kelembagaan
dan masalah eksternal kemasyarakatan.
Internal: Memunculkan Polisi Modern Berbasis Pengetahuan
Manning (2001)
menjelaskan bahwa adopsi teknologi di institusi kepolisian akan membawa
perubahan rutinitas dan struktur. Ia menemukan bahwa di Amerika Serikat,
standar prosedur operasi selalu berubah sesuai kehadiran teknologi baru.
Rutinitas lama seperti konstruksi kasus berdasarkan pengakuan tersangka bisa
diganti dengan menyediakan barang bukti secara ilmiah (scientific).
Reformasi Polri
berbasis pengetahuan dan keilmuan dengan demikian menjadi sangat krusial. Hal
ini berdampak pada pendidikan kepolisian sebab mereka menjadi wajib
mengembangkan diri dengan beragam keterampilan analisis dan penggunaan beragam
alat uji bukti. Hal ini sebetulnya sudah mulai terlihat dari pengembangan
lima bidang Labfor yang canggih (advanced),
yakni Bidang Kimia dan Biologi Forensik (Bidkimbiofor), Bidang Fisika dan
Komputer Forensik (Bidfiskomfor), Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik
(Biddokupalfor), Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor), dan
Bidang Narkotika dan Obat Berbahaya Forensik (Bidnarkobafor).
Meski demikian,
kecanggihan penyidikan ilmiah berbasis teknologi tersebut belumlah merata
terlembagakan di seluruh jajaran kepolisian. Rohansyah (2012) dalam
penelitiannya bahkan menemukan bahwa banyak anggota polisi masih melihat
komputer hanya sebagai alat ketik.
Sebab itu, peningkatan
keahlian anggota polisi melalui beragam analisis berbasis teknologi tidak
saja terkait dengan pengadaan alat, tapi juga terkait dan berdampak pada
pengembangan keahlian seorang anggota polisi untuk secara rutin lebih
kompleks dalam berpikir (Manning 2008).
Kompleksitas teknologi sebagai alat kerja ilmiah akan melatih pola pikir para
aparat penegak hukum untuk menjadi lebih ilmiah dan akuntabel.
Artinya, pendidikan
semacam itu akan mendorong tumbuhnya polisi-polisi profesional yang
mengedepankan akal daripada otot. Seorang polisi yang terlatih untuk
menggunakan akal akan memiliki kontrol diri yang lebih baik dan menjadi lebih
beradab (Farouk Muhammad 2008).
Dalam jangka panjang, pengaruh adopsi teknologi terhadap profesionalitas
polisi juga akan memengaruhi transformasi struktur di tubuh kepolisian RI
secara menyeluruh.
Secara organisasional
terdapat dua dampak adopsi teknologi di tubuh kepolisian. Pertama, teknologi
komunikasi dan monitoring digital dapat mengubah rasio rentang kontrol (span of control) antara komandan dan
bawahan sehingga prosedur pengawasan dan manajemen staf dapat dibuat lebih
efektif.
Rentang kontrol yang
dahulu menggunakan rasio satu komandan berbanding tujuh b a wahan (Mackenzie
1978) dapat diperluas dengan kontrol tidak-langsung (indirect control). Hal
tersebut menjadi niscaya karena teknologi digital saat ini mampu menawarkan
sistem koordinasi yang cepat, berjaringan luas, berwaktu nyata (realtime) dan
melibatkan integrasi dengan lebih banyak jajaran.
Kedua, pengawasan
kinerja akan tersimpan dengan lebih detil sehingga dapat memunculkan penilaian
kinerja yang lebih objektif. Pembinaan karier selama ini praktis masih nyaman
menggunakan sistem manual sehingga rawan bagi penilaian yang subjektif bahkan
cenderung tertutup sehingga berisiko atas munculnya manipulasi hasil
penilaian.
Ruang gerak patroli
seorang anggota polisi misalnya, akan tersimpan melalui data pergerakan GPS.
Melalui rekam jejak mobilitas (heatmap) tersebut, akan terlihat anggota
polisi mana yang berpatroli secara efektif pada wilayah yang dianggap rawan
kejahatan dan berhak mendapat penilaian positif dari atasannya.
Eksternal: Penanganan Kasus dan Partisipasi Masyarakat
Pengawasan kinerja
berbasis teknologi juga akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik.
Penggunaan teknologi akan membantu pengawasan kinerja aparat sehingga
mengurangi celah KKN atas layanan kepolisian kepada masyarakat yang dapat
membuat transparansi dan akuntabilitas pelayanan kepolisian menjadi lebih
terjamin.
Pengaruh tersebut
sudah mulai terlihat di beberapa bidang seperti pada pelayanan SIM online
yang dianggap telah berhasil menghilangkan pungutan liar. Sampai saat ini
kehadiran teknologi komunikasi massa juga terbukti telah mendorong budaya
lembaga kepolisian untuk menjadi lebih proaktif dan responsif. Pihak
kepolisian telah terinspirasi untuk melakukan pendekatan proaktif dalam
pencegahan tindak kejahatan melalui layanan edukasi masyarakat melalui
beragam media.
Masyarakat sipil
sendiri dewasa ini dapat cepat beradaptasi dengan ragam teknologi komunikasi.
Hal ini harus dilihat oleh pihak kepolisian sebagai sebuah peluang untuk
menguatkan koordinasi dan kerja sama dengan masyarakat. Patut diapresiasi
bahwa kerja sama semacam itu sebetulnya sudah mulai terjalin dengan baik
dalam manajemen lalu lintas di mana pelaporan dari masyarakat dan informasi
dari kepolisian dapat saling mengisi.
Kerja sama antara
polisi dan masyarakat sipil dalam pencegahan tindak kejahatan dan penjagaan
kondisi yang kondusif juga mengalami pelembagaan yang positif sebagai hasil
program kota pintar (smart city). Berbagai pemerintah daerah, seperti DKI
Jakarta dan Bandung, telah merintis program smart city sebagai kerja sama
tiga pihak antara masyarakat, kepolisian,
dan pemda setempat
untuk menguatkan perpolisian masyarakat dan mekanisme sosial dalam
menciptakan lingkungan yang ramah dan aman. Harapannya, penggunaan teknologi
keamanan secara masif dan terstruktur sebagai sebuah sistem pengawasan,
pelaporan, dan koordinasi yang terintegrasi akan dapat mencegah kejahatan.
Tantangan
Dewasa ini kejahatan
yang terfasilitasi oleh teknologi telah berkembang pesat dan beragam, mulai
dari peredaran narkoba di sosial media, penipuan, fitnah atau penghasutan
politik, sampai kejahatan terorisme dan keuangan transnasional. Peningkatan
kejahatan cyber juga terjadi karena kemunculan teknologi pembayaran
elektronik yang telah membuat peredaran uang menjadi tidak lagi melulu tunai,
namun juga elektronik seperti e-money dan e-banking.
Pada 2015 kejahatan
cyber telah meningkat 33% dibandingkan tahun sebelumnya dengan 54,5% kasus
terjadi pada sektor bisnis e-dagang. Kondisi-kondisi terkini tersebut menjadi
tantangan bagi Polri untuk segera lebih cepat memajukan dirinya. Sebab itu,
adopsi teknologi di tubuh Polri jangan sampai berhenti pada pengadaan barang
saja sebab teknologi tidak bisa hanya dipandang sebagai sebuah alat,
melainkan sebagai sebuah medium dan lingkungan yang mengubah praktik dan
perilaku cara kerja.
Dengan demikian, reformasi
pendidikan dan kinerja polisi berbasis teknologi perlu segera dilakukan agar
aparat penegak hukum mampu menjadi lebih ahli ketimbang penjahatnya.
Peningkatan keahlian anggota polisi berstandar internasional tersertifikasi
melalui beragam pelatihan harus lebih banyak dan lebih sering dilakukan demi
mengejar pesatnya perkembangan kejahatan berbasis teknologi.
Adopsi teknologi juga
harus menjadi fenomena kemajuan profesionalitas Polri secara nasional di
seluruh wilayah Indonesia. Kepolisian berteknologi maju saat ini masih
menjadi fenomena perkotaan dan provinsi- provinsi kaya. Ke depan penerapan
teknologi dalam kinerja polisi malah harus lebih banyak berkembang di wilayah
pedesaan, pedalaman, dan terluar Indonesia yang selama ini sulit dilayani
oleh aparat keamanan melalui metode-metode penanganan tradisional.
Pada saat bersamaan,
perlu digarisbawahi bahwa walaupun harapan akan manfaat teknologi terhadap
kinerja polisi memang besar, penggunaan teknologi semata tidak akan bisa
langsung memperbaiki pandangan masyarakat terhadap kinerja polisi secara
keseluruhan.
Meski sampai saat ini
adopsi teknologi terbukti bermanfaat dalam bidang reserse, manajemen sumber
daya umum dan pelayanan, ia hanya bisa digunakan untuk mengurangi celah-celah
“permainan” oknum polisi dan menambal kelemahan kinerja. Perbaikan moral
anggota polisi membutuhkan upaya lebih besar dan tidak dapat bertumpu pada
adopsi teknologi belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar