Brexit dan Indonesia
Muhamad Chatib Basri ;
Guru Besar Tamu Australian
National University
|
KOMPAS, 01 Juli 2016
“Tidak tepat rasanya jika saya tetap mencoba untuk menjadi
nakhoda yang akan membawa negeri ini ke tujuan berikutnya." Dengan kalimat
dramatis itu, Perdana Menteri Inggris David Cameron menyatakan pengunduran
dirinya. Dan Jumat, 24 Juni 2016, dicatat sebagai hari kelabu dalam sejarah
integrasi Eropa. Hari itu, referendum rakyat Inggris memutuskan bahwa Inggris
keluar dari Uni Eropa.
Fenomena ini dikenal
dengan istilah Brexit. Seketika ketidakpastian terjadi, dunia seperti
kehilangan arah, dan jam berikutnya kita melihat pasar uang bergejolak,
poundsterling ambruk. Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati
mengirim pesan pendek kepada saya: "UK
memutuskan untuk keluar dari EU. Ini mengejutkan. Ini akan mengubah tatanan
politik dan ekonomi dunia".
Saya kira Sri Mulyani
benar.
Dampak perdagangan
Bagaimana dampak
Brexit terhadap Indonesia? Jujur, terlalu pagi untuk membuat sebuah
kesimpulan akhir atas sebuah isu yang masih cair dan terus bergerak. Terlalu
pagi untuk menyimpulkan. Meski demikian, mungkin ada beberapa indikasi awal
yang bisa dicatat dan dijadikan rujukan.
Pertama, dampak
perdagangan (trade channel). Dapat diduga, Brexit akan mengurangi akses
perdagangan Inggris ke Uni Eropa. Ini tidak berarti bahwa Inggris akan
berhenti berdagang dengan Uni Eropa. Namun, dengan Inggris yang berada di
luar Uni Eropa, tentu intensitas perdagangan Inggris dan Uni Eropa menurun.
Penurunan intensitas perdagangan ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Inggris
melemah.
Peraih Nobel Ekonomi
Paul Krugman memperkirakan bahwa Brexit akan menurunkan pendapatan riil
Inggris sebesar 2 persen. Perlambatan ekonomi Inggris akan menurunkan
permintaannya terhadap produk ekspor dari negara lain, termasuk Indonesia.
Seberapa besar dampaknya? Saya kira, terbatas. Mengapa? Karena pangsa dari
ekspor negara-negara Asia, termasuk Indonesia, ke Inggris relatif kecil.
Ekspor Indonesia ke Inggris kurang dari 2 persen.
Yang lebih perlu
diperhatikan bukanlah dampak perdagangan dari Inggris terhadap Indonesia,
melainkan justru dari Uni Eropa. Suka atau tidak suka, Inggris adalah salah
satu mitra dagang Uni Eropa yang amat penting. Karena itu, Brexit akan
membuat pertumbuhan ekonomi Uni Eropa melambat walaupun mungkin tak sedrastis
penurunan pertumbuhan ekonomi Inggris. Implikasinya: ekspor ke Uni Eropa juga
melambat, termasuk ekspor dari negara Asia seperti Indonesia. Seberapa besar
dampaknya?
Saya kira kita harus
melihat lebih cermat. Pangsa pasar ekspor negara Asia ke Uni Eropa relatif
besar. Tengok saja data berikut: Tiongkok (16 persen), India (12 persen),
Indonesia (8 persen). Selain itu, perlambatan ekspor Tiongkok akan membawa
dampak tak langsung lagi bagi Indonesia. Karena itu, analisis yang lebih
dalam perlu dibuat untuk melihat dampak perlambatan Uni Eropa terhadap Asia
dan Indonesia. Kita juga perlu memperhitungkan dampak tak langsung dari
perlambatan ekspor Tiongkok ke Uni Eropa.
Perlambatan ekspor
Tiongkok akan membuat ekspor Indonesia ke Tiongkok juga melambat. Dampak Uni
Eropa inilah yang harus diperhatikan dengan lebih dalam. Walaupun saya
menduga dampaknya juga akan terbatas, mengingat perlambatan ekonomi Uni Eropa
mungkin tidak akan sedrastis penurunan pertumbuhan ekonomi Inggris.
Dampak harga komoditas
Kedua, dampak terhadap
harga energi dan komoditas. Perlambatan ekonomi Inggris, Uni Eropa, Tiongkok,
dan India akan membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat. Implikasinya,
permintaan terhadap energi dan komoditas akan tetap lemah. Dan kita tahu,
karena sekitar 60 persen dari ekspor kita terkait dengan energi dan
komoditas, maka akan ada tekanan pada ekspor kita. Selain itu, kita juga
mencatat bahwa pembayar pajak kita banyak berasal dari perusahaan yang
terkait dengan sumber daya alam.
Dalam kondisi seperti
ini, ditambah perlambatan ekonomi yang kita alami, penerimaan pajak
pemerintah juga bisa tertekan. Seberapa besar dampaknya? Tentu akan
tergantung seberapa jauh harga energi dan komoditas mengalami penurunan.
Implikasinya, kemampuan untuk memberikan stimulus fiskal menjadi terbatas.
Dampak keuangan
Ketiga, dampak
keuangan (financial channel).
Dampak yang lebih besar saya kira akan muncul melalui pasar keuangan. Brexit
akan mendorong investor untuk mencari investasi yang lebih aman (flight to quality). Opsinya adalah
Amerika Serikat (AS) dan Jepang atau emas. Kita bisa melihat bagaimana dollar
AS, yen Jepang, atau harga emas melonjak. Penguatan dollar AS ini membuat
nilai tukar mata uang sejumlah negara, termasuk rupiah, melemah. Dampak lain
adalah gejolak di pasar modal dan pasar obligasi.
Namun, saya melihat
bahwa gejolak ini bagi Indonesia mungkin akan bersifat sementara. Mengapa?
Karena dampak dari penerapan suku bunga negatif di Eropa dan Jepang masih
terjadi. Suku bunga negatif ini masih akan mendorong investor untuk mencari
imbal yang relatif tinggi, dan saat ini, Indonesia menjanjikan imbal yang
tinggi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5 persen-walaupun kita
tak menyukainya-relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain. Itu sebabnya,
dalam artikel saya terdahulu di Kompas, saya menyebut Indonesia sebagai one of the least unattractive countries in
the world (negara yang tidak seburuk negara lain di dunia).
Dengan gambaran itu,
kita bisa melihat bahwa dampak Brexit terhadap Indonesia mungkin akan relatif
terbatas dan bersifat jangka pendek. Sayangnya, realitas tak selalu
sesederhana analisis ekonomi atau perhitungan kuantitatif di atas.
"Animal spirits"
Ada beberapa faktor
yang menurut saya harus diperhatikan baik-baik di luar analisis di atas. Dan
inilah kuncinya. Dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak bisa
sepenuhnya dikendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional.
Saya teringat kepada
sebuah buku yang sangat menarik ditulis oleh dua peraih Nobel Ekonomi, George
Akerlof dari University of California Berkeley, dan Robert Shiller dari Yale
University. Judulnya: Animal Spirits:
How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global
Capitalism. Mereka berdua merujuk kepada sebuah terminologi yang
diperkenalkan ekonom besar John Maynard Keynes: animal spirits. Konsepnya
kurang lebih begini: dalam situasi yang tidak pasti, individu akan mencoba
mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya.
Contoh yang paling
sederhana adalah jika dalam satu kerumunan yang padat, ketika seseorang
berteriak, "Awas api!" lalu berlari meninggalkan kelompoknya, maka
kerap kali orang akan ikut berlari tanpa sebenarnya tahu apakah benar ada api
atau tidak. Inilah yang disebut herd behaviour. Ingat bagaimana rombongan
binatang berlari bersama-sama mengikuti kepala kelompoknya? Tindakan ini
dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordinasi. Kita bisa melihat pola ini
di pasar keuangan. Dalam situasi panik-seperti Brexit-ketika semua orang
menghindari risiko, maka produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh.
Sekali ini dimulai, berduyun-duyun orang akan menjual produk tersebut-sering
tanpa sepenuhnya memiliki informasi lengkap.
Dalam kondisi seperti
ini, tidak banyak ruang bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan
eksperimen dengan kebijakan. Kebijakan pemerintah atau Bank Indonesia yang
dianggap menimbulkan ketidakpastian dapat direspons negatif oleh pasar dengan
melepas portofolio mereka. Oleh karena itu, menurut saya, penting sekali
menjaga stabilitas ekonomi makro. Misalnya, menjaga kehati-hatian agar
defisit anggaran dapat terjaga merupakan faktor penting. Kalau tidak, ini
dapat memicu ketidakpastian di pasar keuangan, dan jika itu terjadi, dampak
dari Brexit bisa jauh lebih buruk dari analisis di atas. Dalam situasi pasar
yang sensitif dan gamang, sikap konservatif menjadi penting, dan itu perlu
diwujudkan dengan kebijakan dan informasi yang jernih dan rasional untuk
mencegah agar animal spirits tak mengalahkan perilaku rasional. Di sini,
pesan Akerlof dan Shiller menjadi penting.
Hal lain yang saya
kira harus diperhatikan adalah dampak dominonya terhadap Uni Eropa. Kita
mulai mendengar suara-suara lain yang muncul untuk keluar dari Uni Eropa.
Terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun, dampak domino seperti ini perlu terus
dicermati. Kita memang hidup dalam dunia yang tidak pasti. Dalam
ketidakpastian, pelaku pasar akan menghindari risiko, bahkan untuk hal yang
kecil sekalipun. Pasar keuangan memang ruang yang luas, sayangnya di
hari-hari ini ia tak memberikan ruang bagi kita untuk membuat kesalahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar